x

Iklan

Putri Anggraeni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Selasa, 30 November 2021 14:48 WIB

Sebuah Sudut Pandang dari Merdeka Belajar

Artikel ini ditulis mengenai "Kisah Guru Terapkan Merdeka Belajar"

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

     Pendidikan di Indonesia begitu unik. Ketika bicara pendidikan bukan hanya mutu dan kualitas yang diperhatikan melainkan siswa. Siswa menjadi tolok ukur pertama yang perlu dilihat. Siswa bukan objek dari sebuah proses pendidikan. Siswa merupakan subjek di mana mereka yang perlu menjadi pusat dari sebuah proses pembelajaran. Mereka yang paling penting dalam proses pendidikan tidak hanya tujuan dan ketercapaian kurikulum.

     Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim menjelaskan bahwa merdeka belajar dibuat dengan konsep agar siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Setiap orang memiliki preferensi yang berbeda dengan orang lain. Sebagai guru kita tidak bisa memaksa siswa untuk menyukai semua mata pelajaran atau materi yang diajarkan. Mereka punya sudut pandang akan apa yang mereka hadapi dan jalani. Namun, pada praktiknya banyak guru yang memaksakan siswa harus bisa semuanya harus suka semuanya. Hal ini mengakibatkan kebanyakan siswa cenderung sulit untuk bisa memilih, menentukan, bahkan memutuskan sesuatu di kelas. Mereka terbiasa dipilihkan sesuatu yang mereka mungkin kurang minati. Kita tidak bisa mengatakan bahwa burung tidak pandai karena tidak bisa berenang, begitupun dengan ikan tidak mahir karena tidak bisa terbang. Kita perlu tahu tempat yang cocok untuk mereka mengaktualisasikan diri sesuai dengan minat dan bakat mereka. 

     Siswa pun manusia, mereka punya sudut pandang, pendapat, dan suara yang perlu kita hargai dan pertimbangkan sebagai guru. Dalam merdeka belajar ini yang perlu ditekankan adalah pengaplikasiannya. Proses mendengarkan siswa, memberi mereka waktu bicara, membiarkan mereka menuangkan sudut pandangnya, dan memberikan rasa nyaman saat belajar itu perlu. Jika kita ingin membuat siswa menyukai materi atau pelajaran yang guru ajarkan di kelas, bukan memaksanya, tetapi buatlah materi dan pelajaran kita disukai bagaimana pendekatannya ke siswa. Mungkin bisa dari metodenya, medianya, bahkan bisa dari konten belajarnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

     Bukan hal mudah memang, tetapi bukan berarti mustahil juga. Sebagai guru kita memiliki PR yang banyak untuk menerapkan merdeka belajar di kelas. Kita perlu mengakomodasi sebagian besar minat dan bakat siswa. Saat memulai sesuatu itu yang sulit, saat sudah berjalan akan terbiasa. Saat siswa merasa nyaman dan senang belajar, mereka akan ada pada fase butuh belajar. Ketika mereka tidak nyaman, bahkan takut belajar, mereka akan membenci belajar. Semudah apapun materi yang disampaikan jika siswa sudah membenci materinya, mata pelajarannya, bahkan mungkin gurunya mereka akan menutup diri untuk ilmu yang baru. 

     Pertemuan pertama dengan siswa, biasanya saya gunakan untuk berkenalan secara umum. Lalu, saya ajukan beberapa pertanyaan terkait proses pembelajaran. Saya meminta mereka menuliskan apa yang mereka sukai saat belajar, apa yang tidak disukai, dan apa yang mereka harapkan dari pembelajaran di kelas bersama saya. Mereka menuliskannya pada media kertas kecil atau google slide yang dibagikan secara individu ke setiap siswa. Setelah selesai pertemuan hari itu, biasanya saya merangkum tulisan siswa tersebut di satu kelas. Lalu menyimpulkan secara umum kelas tersebut menyukai cara belajar seperti apa, tidak menyukai cara belajar yang bagaimana, dan apa yang mereka inginkan untuk pembelajaran satu tahun ke depan.

     Saat mengajar di kelas, hal penting yang mungkin juga dilakakukan oleh guru lain adalah menyampaikan tujuan belajar. Tujuan belajar yang disampaikan bukan hanya formalitas, melainkan sampaikan bukti nyata bahwa ilmu yang akan dipelajari hari itu akan mereka butuhkan dalam kehidupan mereka mendatang dengan bahasa sederhana dan mudah dipahami. Berangkat dari kebutuhan tersebut mungkin beberapa di antara mereka akan tertarik untuk belajar. Kemudian, saya akan membawa sebuah isu yang dekat dengan mereka dan berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. Gali seberapa paham mereka dengan tanya jawab di awal. 

     Kondisi pandemi seperti ini membuat durasi pembelajaran di kelas tidak seperti biasanya. Kami memiliki durasi terbatas hanya 20 menit untuk satu jam pelajaran. Keterbatasan waktu ini perlu disesuaikan dengan materi yang dipelajari. Saya memilih materi krusial dari Kurikulum Darurat yang diberikan Kemdikbud. Esensinya adalah bukan seberapa banyak materi yang dipelajari tetapi seberapa paham siswa dengan materi yang dipelajari. 

     Saya mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP. Siswa kami melek teknologi bahkan informasi dari media sosial. Saya menjadikan hal tersebut sebagai modal untuk mengajak siswa mengaitkan informasi yang mereka pahami dengan materi yang dipelajari. Hal ini kadang menjadi bumerang ketika kita tidak selangkah lebih maju dari mereka. Bukan berarti guru harus selalu tahu, melainkan guru perlu menempatkan diri sebagai wadah kosong juga saat bertemu siswa. Saat ini guru bukan lagi sumber informasi, tetapi sebagai fasilitator bagaimana informasi yang mereka sudah miliki bermanfaat. Ketika saya belum mengetahui saya tidak segan bertanya ke siswa, "Wah, Miss belum tahu soal itu, bagaimana? Coba ceritakan, Nak." Bahkan saat saya keliru saya dengan lapang dada, meminta maaf dan menyampaikan revisi penjelasan saya sebelumnya. Keterbukaan ini menjadi salah satu cara untuk memberikan ruang yang cukup nyaman dan aman, mengajarkan mereka bahwa ketidaktahuan bukan masalah, kekeliruan bukan persoalan, tetapi bagaimana kita menghadapinya. 

     Pembejalaran secara daring memberikan kita banyak waktu untuk mencoba sesuatu yang baru. Khususnya pada media pembelajaran yang digunakan di kelas. Kemudahan akses internet juga memberikan kemudahan untuk saya belajar dari berbagai sumber di internet. Trial and Error menjadi hal biasa dalam menerapkan metode dan media belajar di kelas. Saat saya mengajarkan kosakata bahasa Indonesia saya punya persepsi awal bahwa siswa memiliki banyak kosakata. Saya mulai dengan membagi kelas menjadi dua kelompok. Media yang digunakan adalah google slide. Mereka diminta untuk menuliskan kosakata dengan pola agar bisa membuat mereka menggali kosakata yang sudah mereka miliki. Materi saat itu yang sedang dipelajari adalah teks tanggapan, kaidah kebahasaannya salah satunya kata kerja. Saya meminta mereka menyebutkan apa saja contohnya. Setelah itu, saya bantu tuliskan pada google slide, siswa diminta untuk menganalisis awalan yang ada pada kosakata yang mereka sebutkan. Contohnya me-, siswa akan menulis secara bergantian dengan temannya dengan berpola pada huruf akhir sebuah kata merupakan huruf awal kata dasar pada kosakata berikutnya. Contohnya mengambil selanjutnya melempar. Begitu seterusnya mereka berlomba menggali kosakata yang mereka miliki, kosata yang muncul biasanya lebih beragam, tidak hanya terbatas pada kata membaca, menulis, dan mencuci. Siswa tidak menyadari bahwa kegiatan lomba tersebut merupakan proses belajar. 

     Bahasa Indonesia yang biasanya kurang disukai karena siswa harus membaca banyak teks bisa diakali dengan berbagai cara. Salah satunya, saat belajar teks tanggapan saya meminta siswa mengumpulkan jenis komentar dan tanggapan di media sosial yang termasuk ke dalam komentar berupa pujian atau kritik. Siswa akan diminta mengumpulkan tanggapan secara acak. Setelah itu, siswa diminta menunjukkan di dalam kelas ke teman-temannya. Kemudian saya dan siswa bersama-sama menganalisis apakah tanggapan itu merupakan pujian atau kritik. Jika siswa menjawab kritik, siswa diminta untuk memberikan alasannya terhadap pilihannya tersebut, begitupun sebaliknya jika ia memilih pujian. Siswa belajar berpikir kritis dengan mencari alasan yang masuk akal dan logis terhadap komentar tersebut. Saya membuka diskusi bagaimana jika komentar tersebut diberikan ke orang lain? Jika komentar tersebut tidak pantas diberikan ke orang lain, kita bisa mengomentari dengan kalimat seperti apa. 

     Pembalajaran mengenai teks tanggapan tidak melulu harus membicarakan teks yang panjang, tetapi bagaimana kita bisa mencari segala hal yang masih berkaitan dengan materinya. Pada akhir pembelajarannya siswa akan mengetahui mengapa perlu berhati-hati saat berkomentar di media sosial mereka, bagaimana mereka menyikapi suatu informasi, dan bagaimana mereka harus menanggapi sesuatu yang mereka sukai atau mereka tidak sukai. Hal ini berkaitan langsung dengan kehidupan mereka sehari-hari. Harapannya ilmu yang mereka pelajari bisa memberikan pengetahuan bagaimana memecahkan masalah yang mereka hadapi bahkan yang ada di sekitar mereka. Dalam memberikan tugas untuk mereka bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka, mereka bisa membuat komik terkait bagaimana orang memberikan tanggapan, bisa melalui teks terkait sebuah karya sastra, bisa melalui video dengan menyampaikan penilaian terhadap sebuah karya, dan beragam media penilaian yang lainnya. Siswa bebas memilih untuk menggambar melalui komik, menulis melalui teks, mempresentasikan melalui video sesuai dengan bakat dan minat mereka. Penilaian satu materi bisa dilakukan melalui beberapa media tidak harus menyamaratakan medianya dalam satu kelas.

     Merdeka belajar tidak hanya terpaku pada siswa. Guru berperan penting sebagai fasilitator untuk memerdekakan siswa dari belajar yang membosankan, menakutkan, dan membuat mereka tidak nyaman. Guru bisa melihat dari sisi siswa adalah manusia yang punya rasa dan suara, yang sama pentingnya dengan tujuan pemebelajaran kita. Bukan hanya target kurikulum yang tercapai, tetapi bagaimana membuat siswa senang belajar dan butuh belajar. Merdeka belajar membuat guru dan siswa belajar bersama di kelas, saling menemukan dan mempelajari segala hal baru yang bermanfaat untuk pendidikan. 

     Semoga cerita singkat yang saya bagi ini bisa memberikan referensi lain mengenai merdeka belajar. Saya pun sampai saat ini masih terus belajar bagaimana menjadi guru yang bisa menyampaikan ilmu dan bisa memanusiakan manusia. Berbagai sumber di internet dan buku menjadi referensi saya untuk terus berkontribusi positif untuk dunia pendidikan lewat kelas di sekolah kami tentu saja bersama siswa kami yang terus haus akan ilmu dan inovasi baru dalam setiap proses pembelajarannya. Belajar tidak selalu berhasil, gagal dalam menerapkan metode di kelas juga saya temui beberapa kali. Belajar menilai karakter siswa dalam setiap kelas serta minat dan bakat mereka membantu saya bisa menemukan formula yang cocok dalam proses pembelajaran bersama mereka. Terima kasih atas ruang untuk berbagi ini. Semoga pendidikan di seluruh pelosok Indonesia semakin berkembang dan bisa membarikan siswa wadah yang cukup untuk mengaktualisasikan diri mereka.

 

Ikuti tulisan menarik Putri Anggraeni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu