x

Parfum (pixabay.com)

Iklan

meli ia

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 November 2021

Selasa, 30 November 2021 22:30 WIB

Aroma yang Kurindukan

Namak Anin, menyesal atas apa yang ku lakukan 12 tahun silam. Kini aku hanya dapat mengenangnya hanya dari sebuah aroma.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

12 tahun. Tanpa kusadari aku telah meninggalkan begitu banyak kenangan setelah 12 tahun lamannya di tempat yang sekarang kusinggahi. Tempat yang menciptakan banyak sekali kenangan. Kenangan yang selalu silih datang dan pergi dalam pikiranku, kenangan yang selalu membuatku rindu akan sosok lembutnya, kenangan lama yang terkadang membuat hatiku menghangat dan terenyuh, hingga sebuah kenangan lama yang membuatku selalu merasa bersalah hingga akhir hayatku.

Kutatap bangunan tua didepanku yang masih berdiri dengan kokohnya diumur lebih dari setengah abad. Kulangkahkan kaki jenjangku melewati anak tangga kayu yang terhubung antara beranda dengan halaman rumah menciptakan suara decitan karena kayu yang tak lagi berumur muda. Aku terdiam beberapa saat, menatap sebuah pintu rumah bewarna coklat tua dengan aksen ukiran rumit di setiap sisinya berdiri tepat dihadapanku saat ini. Tanganku terulur, dengan sedikit ragu mengetuk pintu itu.

Tok tok tok                                                                                                 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bola mataku bergerak kekanan dan kekiri ketika ketukanku tak mendapat respon sama sekali. Perasaan gelisah serta pikiran buruk mulai hinggap di hatiku. Sekali lagi aku mencoba mengetuk pintu itu dengan agak keras dan tiada henti, mencoba menyadarkan para penghuni rumah akan kedatangan seseorang. Ketukanku lalu terhenti ketika mendengar suara berat disertai batuk menyuruhku menunggu sebentar. Tak lama pintu itu terbuka dari dalam, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan kriput dan uban yang mendominasi wajahnya di umur yang tak lagi muda.

“A-anin?”

“A-ayah”

“ANIN!” Ia refleks memelukku, menangis tersedu-tersedu ketika melihat putri bungsunya berdiri tepat dihadapannnya setelah sekian lama tak berjumpa. Bahunya bergetar, tangan keriputnya memelukku dengan sangat erat, seperti takut kehilanganku lagi.

“Kamu di mana nak? Sudah 12 tahun ini ayah mencarimu. Kamu jangan pergi meninggalkan ayah lagi”

Air mataku mengalir ketika mendengar ucapan pria paruh baya di hadapanku. Rasa penyesalan lagi-lagi menerjangku, membuatku tak bisa berkata-kata. Ku balas pelukannya dengan erat, mencoba menyalurkan rasa rindu yang telah ku tampung setelah 12 tahun lamannya. Hanya kata maaf yang dapat keluar dari mulutku.

“Maafin Anin ayah. Maafin Anin karena pergi dari rumah”

-------

Aku termenung di atas ranjang masa kecilku. Menatap sebuah kain lusuh yang tak lagi bewarna cerah karena dimakan usia tepat berada di genggamanku. Kupeluk kain itu dengan sangat erat, menghirup dengan rakus aroma khas yang menguar dari kain tersebut meskipun samar-samar tercium karena telah dimakan waktu. Aroma cengkeh bercampur kayu manis yang sangat kurindukan. Membuatku lagi-lagi menangis karena teringat perbuatan durhaka yang aku lakukan kepada pemilik aroma ini.

Suara ketukan dari arah pintu kamar memaksaku untuk menghentikan tangisan. Dengan tubuh yang sedikit lelah karena terus-menerus menangis aku mencoba berdiri dan membukakan pintu, melihat siapa gerangan yang menjadi pelaku pengetukan pintu.

“Anin”

“Mbak Ika”

Senyum lembut terpantri di wajahnya, tak berbeda jauh dengan senyuman yang terakhir kali kulihat setelah 12 tahun lamannya. Senyuman dari seorang kakak kepada adiknya.

“Ayo keluar, kita makan bersama. Mbak udah masakin makanan kesukaanmu”

Tangannya menarik lembut pergelangan tanganku tanpa menunggu tanggapanku terlebih dahulu. Menarik kursi dan mendudukkanku tepat berhadapan dengan sang ayah yang sedang tersenyum lembut menatapku. Di sebelah ayahku menampilkan sesosok pria dewasa dengan anak kecil duduk di pangkuannya yang kuyakini sebagai suami dan anak dari mbak Ika.

“Anin mau makan apa? Mbak ambilin ya”

“Nggak usah mbak, aku bisa sendiri”

Aku mengambil makananku sendiri setelah menjawab pertanyaan mbak Ika. Mencoba memakan dalam diam tanpa ingin merusak suasana tenang yang telah tercipta.

 

-----

Kini kami berkumpul di ruang keluarga, memperlihatkan anak mbak Ika yang kuketahui bernama Ishan dengan gembira bermain mobil-mobilan bewarna biru tua. Mulutnya tak berhenti mengoceh. Meracaukan kata-kata yang tak kuketahui sedikitpun. Semua orang diruangan ini tertawa melihat tingkah anak itu. Sangat berbeda dengan kondisiku saat ini. Bukannya tak terhibur, hatiku malah semakin risau sangat ingin mengucapkan suatu kata.

“Ayah”

Semua orang dewasa di ruangan ini menatapku setelah perkataan yang aku keluarkan dengan sangat lirih. Kepalaku menunduk tak berani menatap kedepan dengan jari-jari tangan saling bertautan di atas pangkuanku. Dengan samar aku mendengar mas Bayu suami dari mbak Ika mengajak anak mereka untuk bermain diluar rumah, meninggalkan kami bertiga.

“Anin, lihat ayah nak”

Mendengar suara lembut penuh kerinduan itu sontak saja membuatku dengan berani menatap ayahku sendiri. Mataku berkaca-kaca, membendung air mata yang lagi dan lagi akan turun.

“Kamu udah besar ya nak, udah dewasa. Pasti diluar sana kamu bahagia”

“A-ayah maafin Anin, Anin salah ayah. Maafin Anin yang udah berani sama ayah, Maafin Anin yang udah bikin ibu pergi, maafin Anin yang udah bikin keluarga ini kacau ayah, maafin Anin”

Air mataku turun dengan deras setelah mengatakan hal tersebut. Tubuhku kurendahkan berlutut di depan sang ayah dengan kepala di pangkuannya. Tanganku memeluk kedua kakinya yang tak sekuat 12 tahun lalu, terus menerus mengucapkan maaf atas apa yang aku perbuat selama ini.

“Nggak Anin kamu nggak salah, ini semua udah takdir”

“Nggak ayah, ini salah Anin. Kalo aja Anin nggak egois dengan keputusan Anin, kalo aja Anin dengerin ayah lebih dahulu ini semua nggak akan terjadi. Maafin Anin ayah, maaf. Anin udah bertindak ceroboh”

Aku menangis tersedu-sedu, tak mencoba menghentikan laju air mataku yang semakin deras. Hatiku tersayat ketika mendengar suara tangisan lirih orang-orang yang sangat aku sayangi.

Tanganku semakin erat memeluk kaki ayahku, bahkan sesekali mencoba mencium kakinya untuk meminta pengampunan atas kesalahan yang telah aku perbuat meskipun beberapa kali mendapat penolakan.

13 tahun silam. Waktu dimana semua kehancuran keluargaku di mulai.

13 tahun yang lalu aku berumur 17 tahun. Umur di mana perasan labil dan egois mendominasi sisi remajaku kala itu. Saat itu pesta kelulusan telah usai, aku yang mendapat peringkat pertama di angkatanku sontak saja membuat keluargaku bangga atas prestasi yang telah aku dapatkan. Mereka tanpa henti memuji dan membanggakanku di depan sanak saudara lainnya. Bahkan mereka berjanji akan mengabulkan permintaanku jika itu tak terlalu sulit.

Beberapa hari kemudian aku mengatakan keinginan yang selama ini kupendam kepada keluargaku. Aku ingin sekali kuliah kedokteran, menjadi dokter dan menyembuhkan pasien. Tetapi ayah menentangku dengan alasan biaya yang sangat mahal dan jauh dari tempat tinggal. Aku akui keluargaku saat itu bukanlah keluarga terpandang atau mempunyai harta melimpah. Kami hanya hidup sederhana dengan ladang dan sawah warisan sebagai penghidupan kami.

Sontak saja penolakan dari ayah memuatku sangat marah. Aku yang kala itu berumur 17 tahun dengan berani berdiri melawan ayah kandungku, menantangnya. Ibuku, wanita berhati lembut dengan cepat mencoba menghentikan dan menyadarkan atas aksi durhaka yang telah kuperbuat.  Saat itu emosi mendominasi diriku, tanpa sengaja mendorong ibu dengan sangat keras hingga kepala ibu membentur ujung meja mengakibatkan darah merembes dari sela-sela helaian rambut hitamnya. Mbak Ika terkaget melihat itu, ia dengan cepat menelfon ambulan dan mengambil kain untuk diikankan ke kepala ibuku, mencoba menghentikan pendarahan yang tak kunjung berhenti. Aku hanya berdiri terpaku melihat ulah yang telah kuperbuat, tak bisa melangkah ataupun berkata seolah terkunci oleh gembok kuat.

Selama beberapa hari ibuku di rumah sakit, aku tak berani menjenguknya. Rasa keinginanku menjadi dokter masih melekat di hatiku. Siang itu rumah sedang sepi dan dengan aksi nekatku aku menyelinap ke dalam kamar kedua orang tuaku mengambil salah satu surat tanah dan segepok uang di lemari pakaian. Aku bergegas mengemas pakaian, memasukkan surat berharga itu ke dalam ranselku. Meninggalkan rumah dalam keadaan sepi dengan surat perpisahan di atas meja.

1 tahun berlalu. Aku telah menjual surat tanah itu tanpa pikir panjang dan mendaftarkan namaku di salah satu kampus impian di tengan kota dengan jurusan kedokeraan sesuai cita-citaku. Untuk menghidupi kebutuhanku sehari-hari, aku bekerja sebagai kasir minimarket ataupun penjaga toko, tak begantung pada uang hasil menjual tanah.

Perasaan rindu dan bersalah terhadap keluargaku menyerangku di setiap harinya. Kemudian suatu hari di bulan Agustus, dengan tekat yang kuat aku memberanikan diri untuk pulang ke rumah, ke kampung halamanku. Tetapi, hal yang sangat mengejutkan terjadi. Aku mendengar kabar bahwa ibuku telah meninggal 6 bulan setelah aku pergi meninggalkan rumah. Aku menangis histeris mendengar kabar itu, berlari dengan cepat ke arah rumahku tanpa peduli bahwa alas kakiku telah hilang entah kemana.

Ayah menjelaskan kepadaku penyebab kematian ibu. Ibu telah divonis menderita gagal jantung sejak lama dan harus segera mendapatkan pendonor yang cepat. Sebenarnya, beberapa minggu setelah aku pergi, ibu mendapatkan pendonor jantung yang cocok tetapi, terkendala karena kahabisan uang. Sontak saja aku merasa bersalah dan menagis meraung-raung atas tindakan ceroboh yang aku lalukan. Ternyata alasan ayah melarangku kuliah kedokteran karena kondisi ibu. Jika saja aku mendengarkan sejak pertama pasti aku tak akan bersikap egois dan ibu dapat hidup hingga sekarang.

Aku kembali berkuliah dengan rasa penyesalan menumpuk di hatiku. Mencoba melupakan semua yang telah aku perbuat dengan fokus terhadap kuliahku. Hingga 12 tahun lamannya aku tak berani lagi kembali ke kampung halamanku  karena perbuatan bodoh yang telah kuperbuat.

Sekarang aku berumur 30 tahun dengan gelar Doktor tersampir di nama depanku. Aku sangat sukses dengan karir yang sekarang aku miliki. Menjadi doktor dengan penghasilan yang sangat mencukupi di usia muda menjadi impian banyak orang. Seharusnya dengan bangga aku memamerkan gelar ini kepada keluargaku mengingat gelar ini sangat susah dimiliki. Tetapi apa untungnya aku membanggakan diri jika dibalik gelar ini aku harus mengorbankan nyawa ibuku, sosok yang sangat kusayangi.

-------

“Anin, kamu kangen ibu?”

Kurasakan usapan lembut di atas kepalaku. Kepalaku masih tetap tegeletak diatas pangkuan ayahku dengan tubuh yang terduduk di atas karpet. Setelah kejadian permintaan maafku tadi, hatiku sekarang menjadi lebih lega. Seperti ada beban yang terangkat meskipun masih ada beberapa perasaan kecewa terhadap diriku sendiri.

“Anin selalu kangen ibu yah. Anin ingin ketemu ibu, ingin minta maaf tapi Anin tau Anin nggak bisa”

“Nak,kamu harus tau. Ibumu sudah memaafkanmu sebelum kamu meminta maaf kepadanya. Ia sudah melupakan dan memaklumi apa yang telah kamu buat di waktu muda. Ia juga menitipkan sesuatu untukmu”

Sebuah botol bening dengan cairan bewarna didalamnya diberikan kepadaku. Mataku menatap sang ayah, mencoba mencari jawaban atas apa yang ia berikan kepadaku. Seakan mengerti akan kebingunganku ia tersenyum lembut dan menjawab.

“Ini pesan terakhir dari ibumu nak. Ibumu bilang ia tak sanggup memberikan uang ataupun perhiasan sebagai ucapan perpisahan. Ia hanya mampu memberikan barang ini dengan maksud agar kamu selalu mengingatnya meskipun hanya dari aromanya saja”

Kuambil botol itu dengan bergetar. Membuka tutupnya dan mencium aroma lembut yang keluar dari sana. Aroma yang sangat kuhafal diluar kepala,  perpaduan antara cengkeh dan kayu manis pun menusuk indra penciumanku, mengingatkanku akan sosok lembutnya. Kini meskipun aku tak akan pernah bertemu wujud ibuku secara nyata, aku dapat merasakan dan mengingatnya meskipun hanya dari aromanya saja. Aku berjanji akan selalu menjaga dan menyayangi benda peninggalan terakhirnya hingga akhir hayatku.

 

 

Ikuti tulisan menarik meli ia lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan