x

Iklan

Perpus As Syifa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 18 November 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:33 WIB

Harap di Ujung Pena


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Matahari mulai menebarkan sinarnya ke seluruh penjuru dunia. Namun, Salwa baru saja sampai di gerbang sekolahnya. Terburu-buru ia melangkahkan kakinya, mencari ruang kelas barunya.

Hari ini hari pertama Salwa memulai kembali rutinitasnya sebagai pelajar SMA. Tapi, kebiasaan buruknya yang sering terlambat datang ke sekolah rupanya masih sulit dia hilangkan.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

'Akhirnya sampe juga' gumamnya dalam hati. Matanya memandangi satu-satu wajah teman- teman sekelasnya yang baru.

'Salwa!' terdengar suara yang tidak asing lagi di telinga Salwa, memanggil dari salah satu

bangku di sudut kelas. Itu suara Nida, teman sebangku Salwa sejak kelas 10. 'Telat mulu sih, Wa. Baru juga hari pertama sekolah.'

'Iya nih, aku kesiangan, Da, terus juga tadi jalanan macet banget' Salwa beralasan sambil meletakkan tasnya di bangku sebelah Nida. Lalu Salwa duduk di bangkunya. Dan selanjutnya memandangi mejanya heran. 'Ini punya siapa, Da?'

'Nih kan ada tulisannya, 'Buat Salwa'' jawab Nida menunjuk kertas kecil 'yang biasa disebut 'post it'- di atas setangkai mawar merah dan sebatang cokelat.

Pelan-pelan Salwa mengangkat mawar itu dengan tangan kanannya dan si cokelat dengan tangan kirinya.

'Dari siapa, Da?' tanyanya lagi.

 

'Aku nggak tau, Wa. Tadi Aku emang dateng pertama di kelas, tapi abis naruh tas, Aku ke kamar mandi bentar, eh pas balik ke kelas udah ada bunga sama cokelat itu, tapi nggak ada siapa- siapa' tutur Nida menjelaskan.

'Terus siapa dong yang iseng gini? aku kan ulang tahunnya masih bulan dep…'

 

'Cieee Salwaaa, baru hari pertama masuk sekolah aja udah dapet bunga sama cokelat, cieee Salwa cie cie cieee' tiba-tiba Dol dan Vino muncul memotong kalimat Salwa.

'Apaan sih Dol' wajah Salwa memerah.

 

'Cie muka Lo merah tuh, Wa. Gue tau, Gue tau, itu pasti dari seseorang yang memendam rasa ke Elo, Wa. Hahaha' goda Dol.

'Iya tuh, Wa. Bener kata si Dol, jangan jangan itu dari 'secret admirer' Kamu. Cie Salwaaa' Nida tiba-tiba ikut ketularan isengnya Dol.

'Apaan sih Kalian, nggak mungkinlah ada yang sampe segitunya ke Gue. Paling ini cuma salah alamat' Salwa membantah tuduhan teman-temannya tentang bunga dan cokelat itu.

'Eh bisa aja, Wa. Kenapa enggak, Lo kan alim dan pendiem. Ya nggak, Vin?' tanya Dol meminta

 

dukungan kepada teman sebangkunya. Vino yang memang tipe cowok cool cuma manggut- manggut sambil senyum-senyum mendengar banyolan Dol.

Guru mereka datang dan spontan menghentikan perbincangan muda-mudi itu.

 

 

Hari kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya, setangkai bunga dan sebatang cokelat terus menghantui hari-hari Salwa. Nida dan Dol yang setiap pagi melihat wajah kebingungan Salwa pun tidak pernah berhenti meledeknya dan selalu meminta cokelat milik Salwa dari si penggemar rahasia yang jumlahnya hari ini genap 18. Tapi Salwa juga selalu menolak untuk memberikan cokelatnya kepada teman-temannya atau memakannya satu pun. Semua cokelat disimpannya dalam satu kotak makan ukuran besar. Begitupun dengan 17 tangkai bunga mawar yang ditaruhnya dalam satu vas di kamarnya.

'Heh Wa, bengong aja dari tadi' Nida menyenggol sahabatnya yang termenung sejak tadi di atas sajadah masjid sekolahnya dengan mukena merah muda yang belum dilepasnya.

'Eh… Astaghfirullah' Istighfar Salwa terdengar menggantung. Ia dan Nida terdiam sejenak. 'Aku bingung, Da' sejenak Salwa menghela napas. 'Aku bingung, sampe kapan bunga dan cokelat itu bakal mendarat di mejaku? Sampe kapan Aku harus dibuat bingung sama orang iseng yang sampe sekarang Aku pun nggak tau siapa Dia? Dan sampe kapan orang yang kamu sama Dol bilang 'penggemar rahasia'Ku itu harus buang-buang uangnya buat setangkai bunga dan sebatang cokelat? Sampe kapan, Da?' suara Salwa bergetar.

'Ya… mungkin sampe Dia bosen ngisengin Kamu. Atau mungkin sampe ada yang tau siapa Dia dan ngaduin Dia ke Kamu. Atau… mungkin juga sampe Kamu mau cari tau siapa Dia dan suruh Dia berenti neror Kamu' kalimat Nida membuat keadaan hening lagi.

'Iya sih Kamu bener. Tapi gimana caranya? Dia aja nggak pernah ngasih petunjuk atau ninggalin jejak tentang identitas dirinya' Salwa mulai kesal.

 

 

3 minggu sudah Salwa dibuat bingung oleh penggemar rahasianya itu. Mungkin jika gadis lain yang ada di posisinya, Sang Gadis akan tetap setia menunggu sampai si Penggemar muncul dan menyatakan cintanya. Toh, nggak ada ruginya, malah untung tiap hari dapet bunga sama cokelat. Tapi, Salwa justru merasa bersalah dan kebingungan.

 

 

Salwa terbiasa untuk selalu menutup malam-malamnya dengan muhasabah (evaluasi diri). Dan 3 minggu ini sebagian besar muhasabahnya dihabiskan Salwa untuk mengevaluasi apa saja yang telah dilakukannya selama ini sampai membuat seseorang jatuh hati padanya. 'Kenapa bisa sampe ada orang yang rela membuang uang, waktu dan tenaganya hanya demi merutinkan

 

mawar dan cokelat untukku? Dosa apa Ya Allah yang hamba buat hingga ada orang yang sebagian perhatiannya tersita untuk hamba? Ampunilah dosa hamba dan dosanya, Ya Rabb'. Itulah isi renungan Salwa selama 3 minggu terakhir.

 

 

'Em… Gimana kalo Kamu coba tanya sama petugas kebersihan yang biasa bersihin kelas Kita atau sama satpam sekolah? Mereka kan pasti ada di sekolah dari pagi' ujar Nida mencoba memberi saran kepada sahabatnya yang terlihat stress.

'Aku udah coba Da minggu lalu, tapi hasilnya nihil. Pak satpam nggak tau. Soalnya tiap pagi Dia nggak pernah merhatiin siapa aja yang dateng pagi. Kalo kata Pak Mimin yang tiap pagi bersihin kelas Kita, bunga sama cokelat itu selalu ada lebih pagi sebelum si Bapak bersihin kelas Kita, kebetulan juga kelas Kita yang terakhir dibersihin sama Pak Mimin dari seluruh kelas di lantai 2, Da. Gimana dong, Da? Cokelat sama bunganya udah ada tujuh belas nih di rumah, sama yang hari ini jadi delapan belas' Salwa semakin putus asa.

'Ya udah Kamu selidikin aja sendiri. Tapi, ya Kamu harus rela dateng pagi. Kalo perlu abis subuh Kamu langsung jalan, Wa' Nida kembali mengajukan saran yang dipikirnya sulit dijalani Salwa yang suka kesiangan datang ke sekolah.

'Masya Allah Nida Kamu pinter banget' Salwa spontan memeluk tubuh sahabatnya itu. 'Aku bakal usaha bangun pagi. Kamu doain ya Da supaya aku berhasil nangkep basah si 'Tukang Teror' itu'

'Iya insyaa Allah' Nida merasa lega melihat senyum Salwa yang mengembang.

 

'Menurut Kamu apa yang bikin orang iseng itu rajin naruh mawar sama cokelat tiap pagi buat Aku, Da?' Salwa kembali berujar sambil melipat mukenahnya.

'Ya pasti ada perasaan suka yang ngedorong Dia buat ngasih cokelat sama bunga ke Kamu tiap hari, Wa. Mungkin dia pengen bikin Kamu terkesan sama cara Dia nunjukin perhatianya.

Salahnya, Dia nggak tau siapa Kamu dan prinsip Kamu buat nggak ngurusin hal-hal yang berhubungan sama suka-sukaan kaya gitu' jawab Nida.

'Tapi, Da Aku kan nggak pernah ngelakuin hal-hal yang narik perhatian lawan jenis. Temen cowok yang paling deket sama Aku pun cuma Dol, itu juga masih dalam batasan-batasan tertentu. Dan Aku tau Dol nggak bakal tertarik sama Aku, begitupun Aku' Salwa masih tidak bisa menerima bahwa seseorang di sekolah itu sedang jatuh hati padanya.

'Salwa, Kamu harus inget suka sama lawan jenis itu nggak dosa. Dan bikin lawan jenis suka sama Kita juga nggak dosa kalo nggak disengaja. Aku tau Kamu, Wa. Kamu itu cewek tersolehah sesatu sekolah. Nggak pernah kamu berinteraksi sama lawan jenis diluar batas atau ngelakuin hal-hal yang dilarang Islam yang bisa bikin mereka ngelirik kamu' Salwa berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. 'Tapi Kamu cantik, Wa. Kamu sopan, alim, pinter,

 

nggak banyak gaya, pendiem, siapapun bisa aja suka sama kamu. Dan bagiku itu wajar apalagi buat anak seusia Kita yang masih labil'

'…' Salwa terdiam, memaknai kata-kata Nida. Dia tidak menyangka kata-kata bijak seperti itu bisa keluar dari mulut Nida, sahabatnya yang periang itu.

 

 

19 Agustus 2012, pukul 03:30.

 

Salwa baru saja selesai menunaikan salat Qiyamul Lail-nya. Dia sudah bertekad untuk memergoki penggemar rahasianya pagi ini. 'Ya Allah lancarkanlah urusanku hari ini, luruskanlah niatku agar semua kegiatanku hari ini dapat kulakukan hanya karena mengharap ridho-Mu, aamiin'.

 

 

Salwa pun bersiap-siap menuju sekolahnya usai salat shubuh. Dia menembus gelapnya pagi bersama Abang Ojek karena kalau menunggu di antar Ayahnya bisa-bisa dia baru sampai di sekolah begitu bel berbunyi. Maklum Ayah Salwa harus mengantar Adik Salwa dulu setiap pagi, yang arah sekolahnya berlawanan dengan arah sekolah Salwa, sehingga setiap pagi Salwa harus mengalah hingga terlambat sampai di sekolah. Tak lupa dibawanya 18 tangkai bunga dan 18 batang cokelatnya dalam paper bag yang ditentengnya menyusuri jalanan yang masih sepi.

 

 

Salwa melangkahkan kakinya menaiki satu per satu anak tangga menuju lantai 2 sekolahnya. Salwa memberanikan dirinya melewati kelas demi kelas dalam keadaan gelap dan sepi. Begitu sampai di depan pintu kelasnya jantung Salwa mulai berdegup lebih cepat dari biasanya.

Sesudah melafadzkan Basmallah, ia mendorong pelan salah satu daun pintu kelasnya. Dilihatnya sesosok laki-laki sedang meletakkan sesuatu di atas mejanya. Lebih seksama Salwa memperhatikan gerak-gerik orang itu. Samar-samar dilihatnya wajah seseorang yang sedang asyik dengan rutinitasnya, meletakkan mawar dan cokelat untuk Salwa. Salwa membatin, ia mengenal jelas wajah itu.

'Tapi, masa iya sih?' Salwa justru meragu saat mengetahui siapa sosok yang menerornya dengan 18 tangkai mawar dan 18 batang cokelat itu. Detak jantung Salwa semakin tak beraturan. Kepalanya penuh dengan fakta tentang penggemar rahasianya yang tidak bisa dia percaya. Sudah beberapa detik Salwa berkutat dengan rasa tidak percayanya, hingga akhirnya ia ingat kata-kata Nida '…siapapun bisa aja suka sama kamu dan bagiku itu wajar…'.

'Vino…' panggilnya lirih. Salwa melangkah ragu-ragu memasuki kelasnya. Menatap wajah yang selama ini dicarinya. Misinya berhasil, menangkap basah Vino, si penggemar rahasianya.

'Eh…' sebentar wajah tampan Vino memerah dan terlihat salah tingkah. 'Akhirnya ketauan juga'

 

senyum Vino yang terlihat aneh membuat suasana canggung mulai memasuki sudut demi sudut kelas mereka.

'Jadi… Elo yang selama ini naruh ini di meja Gue?' tanya Salwa memastikan, mengangkat paper bag-nya lalu menyodorkannya ke arah Vino.

'Iya. Hehe. Maaf ya jadi bikin Lo bingung tiap hari' tawa Vino terasa garing, ia melanjutkan kalimatnya, memecah keheningan. 'Sebenernya tanpa Lo pergokin, Gue juga bakal berenti neror Lo kok mulai besok. Soalnya kan bunga sama cokelatnya udah pas sembilan belas. Sembilan belas tangkai bunga mawar buat huruf ke-sembilan belas atau huruf S. Yang buat Gue artinya Salwa. Em… soalnya Gue suka sama Lo, Wa sejak akhir semester kelas sepuluh kemaren' Vino berhenti sebentar, mengatur nada bicaranya. 'Dan sembilan belas cokelat buat kado ulang tahun Lo. Happy Birthday ya' Vino menyodorkan cokelat dan mawar ke 19 yang belum sempat diletakkannya tadi karena keburu dipergoki Salwa. Salwa memang berulang tahun ke-16 hari ini.

'Maaf, Gue nggak bisa nerima ini semua' Salwa kembali mengangkat peper bag-nya. Logikanya masih belum menemukan alasan untuk percaya dengan semua ini. 'Mana mungkin Vino suka sama Aku' pikirnya.

Vino terkenal seantero SMA-nya sebagai cowok terkeren dan terganteng. Dari awal masuk ke SMA tersebut Vino sudah menjadi incaran banyak kakak kelas dan teman seangkatannya.

Walaupun di kelas 10 Vino dan Salwa tidak sekelas, tapi, yang Salwa tau Vino belum pernah pacaran selama di SMA ini. Karena setiap ada cewek yang nembak Dia satu sekolah bakal heboh membicarakan akhir cerita Vino yang menolak si cewek. Otomatis kalau Vino punya pacar bakal lebih heboh lagi. Tapi belum pernah terdengar kabar tentang Vino yang punya pacar baru. Karena itu bagi Salwa agak sulit menerima kenyataan kalau sekarang Vino sedang di hadapannya, menyatakan cinta padanya. Kalau diingat-ingat semua cewek yang gosipnya pernah nembak Vino itu lebih cantik dan gaul darinya, sehingga membuat Salwa semakin tidak percaya dengan kondisi yang dihadapinya sekarang.

'Tapi itu semua Gue beli buat Lo, Wa' Vino tidak menyambut paper bag Salwa. Dibiarkannya tangan Salwa menggantung 1 meter di hadapannya.

'Kenapa? Gue kan nggak pernah minta' Salwa tidak juga menurunkan tangannya.

 

'Ya soalnya Gue suka sama Lo. Gue suka sama Lo soalnya Lo beda sama cewek-cewek lain. Lo anggun dan… cantik. Bukan cantik karena bedak atau rambut bagus, tapi cantik karena sikap Lo yang nggak macem-macem dan karena jilbab Lo yang rapih' Vino menuturkan alasannya menyukai Salwa.

Salwa merasa sesuatu mulai menyusup ke dalam hatinya, entah perasaan apa tapi yang jelas ia ingin cepat pergi dari hadapan Vino.

'Sorry Vin, Gue tetep nggak bisa nerima semua ini dengan alasan sesederhana itu' Salwa menjatuhkan paper bag-nya yang berisi bunga dan cokelat, spontan kelopak-kelopak bunga

 

yang menyembul keluar paper bag berjatuhan karena hentakan yang cukup keras. Salwa berbalik, melangkah mendekati pintu kelasnya, dibawa serta tas sekolah yang masih menggantung di pundaknya. Sejenak Salwa berhenti di depan pintu kelasnya, di sana ada Nida yang tanpa Salwa dan Vino sadari mendengar beberapa bagian pembicaraan mereka. Kelopak mata Salwa tidak kuat lagi menahan air mata yang akhirnya menetes, membasahi pipi Salwa yang memerah. Salwa berlari kecil, menjauh dari Nida, dia malu, entah karena apa.

'Wa!' panggil Nida yang segera mengejar Salwa.

 

 

Satu-satunya tempat yang terbayang di pikiran Salwa hanya Masjid. Dia tidak tau lagi harus kemana, mengadu pada siapa. Sekolah masih sepi, yang terdengar hanya suara cicitan burung dan sedikit suara mesin kendaraan dari jalan raya yang jaraknya kira-kira hanya 50 meter dari sekolah Salwa.

 

 

Salwa terduduk lemas, sesenggukan ia menangis. 'Ya Allah, ternyata orang yang selama ini kucari ada di depan mataku. Terus setelah ini hamba harus apa Ya Allah, hamba takkan sanggup berbuat apapun tanpa-Mu Ya Rabb'. Penyesalan itu datang lagi. Penyesalan terdalam karena ada cinta di atas cinta di hati Vino yang tertuju pada Salwa.

'Wa, maaf ya, tadi Aku ngupingin Kamu sama Vino' Nida datang, memeluk Salwa dari belakang. 'Bukannya harusnya sekarang Kamu lega, kan Kamu udah ketemu langsung sama si Tukang Teror yang selama ini Kamu cari-cari'.

'Tapi Da, kenapa Vino?' Salwa menyeka air mata di pipinya. Mengatur napasnya. 'Apa yang bikin orang kayak Dia tertarik sama orang kayak Aku?'

'Ini kan bukan soal siapa yang suka sama Kamu, Wa. Tapi ini tentang gimana cara Kamu ngakhirin semuanya dan ngasih pengertian ke Vino, Wa. Vino atau siapapun sama aja kan?' Nida menghapus air mata Salwa yang belum berhenti mengalir.

'Aku cuma ngerasa oon aja, jauh-jauh Aku nyari siapa yang tiap pagi ngisengin Aku, ternyata orangnya tiap hari duduk di belakang Kita' Salwa memandang langit-langit Masjid yang selalu terasa nyaman dan sejuk. 'Terus cara ngakhirinnya gimana, Da? Aku pasti jadi canggung deh sama Dia'.

'Aku rasa Kita harus minta bantuan Dol. Dia kan temennya Vino dari SMP, mungkin Dia bisa bantuin ngomong baik-baik ke Vino' kata Nida memberi jalan keluar. 'Gimana?'

Saran Nida disambut anggukan Salwa tanda setuju.

 

Salwa ditemani Nida mulai bercerita tentang kejadian pagi tadi kepada Dol pada jam istirahat di kantin sekolah mereka.

'Serius Lo?!' tanya Dol kaget mendengar cerita Salwa. 'Jadi si Vino? Yaampun, kenapa bisa Gue nggak nyadar kalo Dia yang ngelakuin kegilaan ini? Huft' Dol mulai lebay seperti biasanya.

'Lo beneran nggak tau apa-apa, Dol?' tanya Nida memastikan, karena Dol adalah orang terdekat Vino selama ini.

'Yaelah sumpah deh Gue nggak tau apa-apa'. Dol mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya berusaha meyakinkan Salwa dan Nida kalau dia sama sekali tidak terlibat masalah ini.

'Ya udah, kan nanya doang, Dol. Nggak usah pake sumpah-sumpah kali' Nida protes.

 

'Iya iya maap' Dol menurunkan tangannya. 'Tapi sih, Wa, semenjak kelas sebelas ini si Vino tuh jadi rada pendiem. Tobat deh Dia kayanya' ujar Dol sambil mengunyah somay yang dipesannya beberapa menit lalu.

'Maksudnya? Tobat?' Salwa bingung.

 

'Iya, Dia tuh sekarang kalo Gue ajak ke kantin pasti nggak mau, alesannya salat. Salat Dhuha kek Shalat Zuhur kek, pokoknya salat mulu deh. Pas Gue tanya kenapa Dia tiba-tiba jadi rajin salat Dia jawabnya gini, 'Gue mau belajar jadi imam yang baik Dol kalo nggak mulai dari sekarang, kapan lagi? Kalo nggak mulai dari jadi imam salat jadi imam apalagi, Dol' Gue sih nggak ngerti maksudnya, tapi kedengerannya keren kata-kata kayak gitu bisa keluar dari mulut Vino yang sebelumnya buta agama, sama kayak Gue' tutur Dol panjang lebar.

Hati kecil Salwa bergetar. 'Lo mau kan, Dol bantuin Gue ngomong ke Vino?' 'Ngomong apa?' Dol yang sedang konsen melahap somaynya malah balik bertanya.

'Tolong bilangin ke Dia, buat berenti usaha deketin Gue. Gue nggak mau diganggu sama hal-hal yang berhubungan sama cinta yang nggak seharusnya bersemayam di hati Gue. Gue mau konsen belajar, Gue mau serius memperbaiki diri Gue dalam banyak hal. Bisa kan Dol bilang gitu ke Vino? Soalnya kayaknya Gue belum bisa ngomong langsung ke Dianya' pinta Salwa.

'Maksudnya gimana sih, Wa? Ada kata-kata yang lebih simple nggak? Lo nolak Dia gitu?' ujar Dol tak mengerti.

'Intinya gimanapun caranya Dia harus berenti ngasih perhatian ke Salwa mulai hari ini, Dol. Kalo Dia mau suka-sukaan cari cewek lain aja, Salwa nggak minat sama hal-hal kayak gitu, ngerti?' Nida mulai geregetan sama Dol yang pentium otaknya nggak nambah-nambah.

'Oh, iya iya, ngerti kok sekarang'.

 

Kalimat Dol menutup pembicaraan mereka karena pada detik berikutnya bel tanda istirahat berakhir berdering.

 

 

 

Salwa dan Nida menunggu, tak ada satu pun kata yang keluar dari bibir Vino. Sepulang sekolah Vino mengajak Salwa untuk berbicara di kantin dengan ditemani Nida dan Dol.

'Lo mau ngomong apasih, Vin? Gue sama Salwa ada rapat Rohis nih' Nida mulai nggak sabar. 'Tau Vin, buruan ah, Gue mau pulang nih, laper' Dol ikut mendesak Vino.

'Iya iya' Vino mengatur napasnya sejenak. Memandang wajah Salwa yang menunduk dari tadi. Wajah yang selalu meneduhkan hatinya. 'Em… gini, Wa. Sebelumnya Gue mau minta maaf atas semua hal yang Gue lakuin yang udah bikin Lo keganggu. Gue nggak maksud bikin Lo nggak nyaman kok. Gue cuma mau kenal sama Lo lebih jauh aja. Dol udah nyampein semua pesen Lo ke Gue. Eng… Sorry ya… Gue nggak tau kalo Lo punya pemikiran sejauh itu soal… soal cinta- cintaan'.

Suasana hening menyelimuti mereka berempat. Dol dan Nida yang hanya bisa menjadi saksi bisu perbincangan ini pun terlihat serius memperhatikan wajah Salwa dan mendengarkan seksama kata-kata Vino.

'Tapi, bunga sama cokelat ini… diterima ya, Wa' Vino meletakkan paper bag Salwa di atas meja kantin, mendorongnya ke arah Salwa.

'Tapi…'

 

'Plis, Wa. Anggep aja ini kado ulang tahun dari Gue' Vino memotong Salwa yang hendak mengelak. 'Ya, Wa?'

'Ya udah, tapi nggak papa kan kalo cokelatnya Gue bagi ke Nida, Dol dan temen-temen Gue yang lain?' tanya Salwa menatap Vino sekilas.

'Oh, iya nggak papa kok' Vino lega, tersungging senyum di bibirnya.

 

'Yess' jerit Dol dan Nida berbarengan karena akhirnya mereka bisa mendapat cokelat yang selama ini mereka inginkan.

'Kalo temenan boleh kan, Wa?' Vino kembali bertanya.

 

'Iya boleh kok' Salwa tersenyum kecil, dia senang karena Vino bisa mengerti prinsipnya.

 

19 bunga itu disimpan Salwa dalam satu vas sedangkan 19 cokelat dibagikannya pada teman- teman Rohisnya, teman-teman sekelasnya serta ibu dan adiknya. Beberapa bulan kemudian, Vino dan Dol yang mulai tertarik dengan Rohis akhirnya resmi bergabung dalam organisasi itu. Mereka pun semakin soleh dari hari ke hari.

 

7 tahun kemudian,

 

19 Agustus 2019,

 

Salwa sudah lulus kuliah dan mengajar di salah satu TK Islam di Jakarta. Hari itu sepulang mengajar ia terburu-buru menuju suatu Masjid, tempatnya janjian dengan guru ngajinya. Tadi pagi ia ditelepon guru ngajinya, dia bilang ada seseorang yang mau mengajak Salwa ber-ta'aruf. Karena sudah mendapat izin orang tuanya untuk mulai mencari pendamping hidup, akhirnya Salwa berniat mencoba memulai ber-ta'aruf dengan calon yang diajukan guru ngajinya itu. 'Orangnya soleh kok De insyaa Allah, ibadahnya bagus dan udah kerja sebagai penulis buku- buku Islami'. Kata-kata Kak Aini, guru ngajinya di telepon tadi pagi terbayang-bayang di benak Salwa. Dengan mantap ia memasuki pintu masjid yang terbuka, terlihat Kak Aini sudah menunggunya. Disalaminya Kak Aini seperti biasa saat mengawali pertemuan dengan Kak Aini.

'Orangnya udah nunggu De dibalik hijab sama guru ngajinya' bisik Kak Aini.

 

Hati Salwa berdegup. Proses perkenalan dimulai. Dibuka oleh guru ngaji si laki-laki. Dan dilanjut dengan perkenalan dari sang pria yang mengajak Salwa ber-ta'aruf. Betapa terkejutnya Salwa saat mengetahui siapa yang berada di balik hijab Masjid siang itu. Vino! Dialah yang sekarang sedang ber-ta'aruf dengan Salwa. Vino yang setelah lulus SMA tak pernah terdengar kabarnya oleh Salwa. Air mata Salwa tumpah, ia tidak percaya takdir kembali mempertemukan mereka. Getar itu masih ada, getar yang selama ini disimpannya jauh di dalam lubuk hatinya. Kini getar itu kembali muncul ke permukaan hatinya.

 

 

Tahap perkenalan mereka pun berlanjut hingga lamaran. Tak lama setelahnya, cinta mereka dikukuhkan dalam ikatan pernikahan.

'Saya terima nikah dan kawinnya Salwa Mutmainnah binti Ridwan Muhammad dengan mas kawin dan seperangkat alat salat dibayar tunai' suara Vino terdengar lantang mengucap ijab qobul dalam akad nikahnya dan Salwa.

Ikuti tulisan menarik Perpus As Syifa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB