x

Foto oleh Emre Can Acer\xd Sumber: https://www.pexels.com/photo/round-leaning-mirror-with-white-frame-2418435/

Iklan

Joan Oktavianie

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 1 Desember 2021

Rabu, 1 Desember 2021 21:44 WIB

Menculik Bayangan

Semenjak makin banyak orang yang terjebak di dalam cermin, meningkat pula jumlah kasus pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi di dunia nyata. Kejahatan itu dilakukan oleh para bayangan yang telah menguasai hari-hari mereka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada malam kedua belas sejak Mayang terjebak di dalam cermin, ia memutuskan untuk menculik bayangannya. Mula-mula ia ingin membunuhnya. Tetapi, setelah mengetahui akibatnya, ia pun mengurungkan niat. Malam itu, jemarinya telah nyaris menyentuh permukaan cermin di meja rias, ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya sembari berteriak, “Ada pembunuhan! Cepat keluar!” Sejenak Mayang kebingungan. Bukankah di sini pembunuhan memang sudah sering terjadi?

Di dunia yang tak masuk akal itu, semua orang terpaksa bertahan hidup dengan menjadi bejat. Tak terhitung banyaknya perempuan yang mendadak berubah menjadi binal. Sesama lelaki saling adu tinju. Pelajar sibuk membuat sontekan untuk ujian akhir. Politikus berlomba-lomba korupsi. Semenjak makin banyak orang yang terjebak di dalam cermin, meningkat pula jumlah kasus pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, dan korupsi di dunia nyata. Kejahatan itu dilakukan oleh para bayangan yang telah menguasai hari-hari mereka. Mayang pun demikian. Ia dan bayangan telah saling bertukar tempat. Kehidupannya dicuri. Bayangan yang biasa selalu menyimpan sisi terburuknya, kini memanifestasikan pikiran buruk itu lewat perilakunya. Mayang dan orang-orang itu tak punya pilihan lagi, selain mengikuti perilaku si bayangan meski ingin berontak.

Sialnya lagi, tiap-tiap kali perbuatan bejat para bayangan itu ketahuan, bayangan kabur ke dunia cermin. Menukar posisi, mengembalikannya ke kondisi semula. Dalam keadaan terdesak, orang-orang tak berdosa yang baru saja kembali ke dunia nyata itu akan bersaksi, “Bukan aku yang melakukan itu, tetapi bayanganku!” Sebuah pernyataan yang akan terdengar konyol bagi sebagian orang, sekaligus memilukan bagi sebagian lainnya. Namun apa daya, selama mereka tak bisa membuktikan kata-kata, mereka tetap akan masuk penjara. Meski semua orang yang pernah terjebak di dunia cermin itu sama-sama tahu, bahwa cermin adalah gerbang dari kedua dunia paralel, tetapi tiap kali mereka ingin memberi bukti, gerbang itu mendadak terkunci, tanpa tahu bagaimana cara membukanya kembali. Begitulah yang menyulitkan mereka untuk membuktikan kebenarannya di hadapan hukum.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Perbuatan bayangan Mayang memang belum sekeji pendahulunya. Namun, dia mulai lelah jika tiap malam mesti mondar-mandir ke dunia nyata lewat cermin. Malam hari, atau tiap kali ketika bayangannya tengah terlelap, adalah saat-saat kebebasan bagi orang-orang yang terjebak di dunia cermin. Saat itulah Mayang menyusup ke dunia nyata. Membereskan kekacauan yang diperbuat si bayangan di siang hari; mengirimkan penjelasan singkat pada kekasihnya perihal kondisinya, berharap dia akan mengerti; sekaligus memusnahkan benda-benda yang sekiranya akan menimbulkan bencana. Tetapi, bayangannya selalu menemukan cara untuk membuat kekacauan yang lebih lagi di hari berikutnya. Diterjang kesulitan yang tiada habis, tak heran jika tubuh Mayang mulai menderita sakit-sakit. Ditambah lagi, ia mulai tak sanggup membendung perasaan bersalahnya pada sang kekasih. Sebab bayangan keparat itu telah dengan kurang ajar memanfaatkan kemolekan tubuhnya untuk menggoda banyak lelaki lain, dan malah meninggalkan sang kekasih yang amat dicintainya. Padahal sebelum semua malapetaka ini terjadi, ia dan sang kekasih telah menyinggung soal rencana pernikahan mereka.

Mayang sudah nyaris pergi membunuh bayangannya, ketika malam itu, ia memutuskan untuk sejenak memeriksa keadaan. Sebab pembunuhan yang sampai membuat orang-orang histeris itu, pastilah tidak biasa. Di tengah kegelapan malam dia merayap ke luar rumah. Bergerak perlahan mendekati kerumunan di taman. Menyadari kerumunan itu tengah mengelilingi sebuah cermin besar di sana, ia pun mulai bertanya-tanya demi mendapat jawaban demikian, “Seseorang pergi dan mencelakai bayangannya sendiri di dunia nyata. Dia melewati cermin ini.” Seorang laki-laki berkumis lebat menjelaskan pada Mayang. Pria paruh baya yang berjaket biru ikut bersaksi, ia telah mengikuti orang itu ke dunia nyata, bermaksud mencegah perbuatannya, tapi terlambat.

“Apakah dia orang baru?” tanya seseorang pada yang lain.

“Tampaknya demikian. Kasihan. Dia turut mati karena ketidaktahuannya.”

Itulah saat di mana Mayang tahu akibatnya, jika ia membunuh bayangannya sendiri, ia pun akan mati. Sembari mendengarkan percakapan orang-orang, Mayang melihat sekeliling. Wajah-wajah yang terlihat bejat di siang hari itu kini kelihatan khawatir dan redup. Nyaris tak percaya ketika menyaksikan beberapa wajah yang ia tahu pernah berselisih itu, kini tengah saling berdiskusi satu sama lain. Laki-laki muda yang bercelana pendek di sana, beberapa hari yang lalu telah berkelahi dengan laki-laki berwajah malang di sebelahnya. Perempuan berambut merah itu, pagi ini baru dilecehkan oleh laki-laki paruh baya yang bersaksi tadi. Mayang takjub. Entah bagaimana cara mereka bisa berdamai begitu cepat, setelah apa yang terjadi di antara mereka ketika siang memperlihatkan sisi terburuk mereka yang terpendam. Mungkin remangnya malam yang membantu mereka saling memaafkan.

Tak lama Mayang berada di tengah kerumunan itu. Ia takut, jika terlalu lama mengulur waktu, bisa-bisa ia menjadi ragu karena terpengaruh dengan pemikiran orang-orang sekitar. Seseorang dari kerumunan itu sempat berkata, mengomentari perbuatan orang baru yang mencelakai bayangannya itu, “Untuk apa repot-repot mengejar yang tidak pasti, lebih baik tinggal dan mencari cara untuk bertahan hidup saja.” Banyak orang yang setuju. Mereka seiman untuk tetap bertahan dengan menjadi bejat di siang hari, dan membereskannya di malam hari, serupa dengan yang Mayang lakukan selama ini. Lebih dari itu, mereka terlalu takut dengan risiko-risiko yang akan didapat nanti.

Mayang yang tadinya ingin ajak kanan-kiri untuk merebut kehidupan mereka kembali, jadi menahan diri. Bagaimanapun, dia tetap mesti bergerak sendiri. Sebab dalam menghadapi masalah, tiap orang punya caranya masing-masing. Mereka memilih bertahan, sedangkan Mayang memilih bergegas. Sambil berjalan pulang, Mayang mulai menyusun ulang rencana. Jika memang tak bisa dibunuh, dia akan mencoba untuk menculik bayangannya saja. Melemparkan si bayangan ke dunia cermin, lalu memecahkan semua cermin yang ia punya di rumahnya. Memang masih ada kemungkinan si bayangan akan datang dari cermin lain di sekitarnya, tapi tentu itu membutuhkan waktu untuk berhasil menemukannya kembali. Perihal itu, biar kupikirkan lagi nanti, kata Mayang meyakinkan diri.

Tetapi kemudian, apa yang dilihatnya begitu tiba di dunia nyata malam itu, benar-benar di luar dugaan. Bukan semrawutnya kamar yang melebihi kandang babi yang membuatnya terkejut, melainkan sesosok tubuh lain yang tengah berdiri di samping tempat tidur. Tubuh itu membelakangi cermin, matanya tengah memandang najis pada si bayangan yang tertidur lelap. Dengan menguarkan aroma dendam yang pekat, ia mencekik leher si bayangan. Di tangan kanannya yang teracung, sebilah pisau berkilat-kilat. Semua terjadi dengan cepat. Tanpa perlawanan yang dapat memperlambat laju peristiwa. Begitu pisau menancap di dada kiri si bayangan, Mayang ambruk. Suara jatuhnya membuat tubuh itu terlompat dan memperlihatkan wajahnya. Dia kekasihnya, yang seketika terbelalak tidak percaya. Menyaksikan keberadaan Mayang yang menjadi ganda.

“Itu bukan aku, tapi bayanganku,” kata Mayang di sela-sela napasnya yang tersengal. Kekasihnya tak percaya suatu hari ia akan mendengar Mayang mengatakan kalimat fenomenal yang sering dikatakan oleh para “orang bejat” itu. Karena selama ini, hal-hal demikian terasa begitu jauh dari kehidupan mereka. Mayang sendiri tak percaya bibirnya pun akhirnya mengeluarkan kata-kata semacam itu saat kembali ke dunia nyata.

Sang kekasih menjatuhkan sebilah pisau di tangannya itu ke lantai. Bunyinya yang nyaring menyuarakan isi hatinya. Sambil memeluk tubuh Mayang dengan tangannya yang bau darah, ia berlutut. Dahinya berkerut-kerut. Air matanya menggenangkan penyesalan. Memohon supaya Mayang bertahan. Hendak membopongnya demi mencari pertolongan. Tetapi kemudian, Mayang mengerahkan sebagian tenaganya untuk berkata, “Jangan.” Seketika, udara berubah lembab. Menatap kedua bola mata Mayang yang berlinang, tubuh kekasihnya yang kokoh itu mulai menjelma seperti kayu lapuk. Di atas tempat tidur, bayangan telah meregang nyawa mendahului Mayang. Bunyi azan subuh yang sayup-sayup terdengar mengantarkan kepergian sang bayangan.

Detik-detik menjelang kematiannya, Mayang ingin mengatakan betapa bodoh kekasihnya itu. Meragukan dirinya yang telah demikian sering memberi tanda-tanda tiap malam. Juga terlalu terburu-buru melampiaskan amarahnya. Namun karena cintanya, ia berusaha mengerti. Barangkali kekasihnya itu merasa sudah dipermainkan oleh kenyataan yang begitu kejam. Maka alih-alih memaki, ia cuma bisa tersenyum menatap kekasihnya, yang sejak tadi masih terus memeluknya erat-erat, sambil tak henti-hentinya membanjiri pipinya dengan air mata. Dengan sisa tenaga yang ia punya, perempuan itu membelai lembut pipi kekasihnya, menyapu air matanya, sembari membisikkan kata, “Aku mencintaimu.” Cuma itu yang bisa Mayang katakan, tetapi hatinya terasa hangat. Dia tahu, cintanya tak akan mati meski raganya kelak tiada. Kemudian, beberapa detik ketika azan subuh sudah habis berkumandang, nyawanya pergi. Terbang bersama angin. Meninggalkan tubuh dan kekasihnya, tanpa bisa ditahan lagi.

 

Bandung, Januari 2021

Ikuti tulisan menarik Joan Oktavianie lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

13 jam lalu

Terpopuler