x

Iklan

Melki Deni

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:46 WIB

Kampus Merdeka?

Artikel ini berisi tentang tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi nasional Indonesia dan solusi yang ditawarkan oleh penulis terutama di tengah pandemi covid-19 ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Pandemi covid-19 memorakporandakan semua sektor kehidupan masyarakat dunia, tidak terkecuali sektor pendidikan. Selama pandemi covid-19 ini, pendidikan Indonesia mengalami kemunduran baik pada tingkatan praksis di kampus maupun kebijakan-kebijakan pemerintah. Pada tingkatan praktis di kampus selain rendahnya literasi digital, plagiarisme, distribusi sarana dan prasarana kampus dari pemerintah tidak merata, tetapi juga kasus kekerasan seksual yang sengaja dibungkam—demi nama baik dosen dan kampus. Kasus kekerasan seksual memang sudah terjadi jauh sebelum pandemi covid-19. Selain itu, kebijakan-kebijakan pendidikan nasional pun sering kali dipandang inkosistensi dan kontraproduktif—ada jarak yang lebar antara kebijakan pendidikan dan tantangan krusial yang dihadapi kampus.

Baru-baru ini Sulistyowati Irianto (Kompas, 26/3/2021) mengungkapkan fakta kasus kekerasan seksual di kampus sejak 2019 sampai 2020. Pada 2019 kasus kekerasan seksual di kampus berjumlah 174 kasus dari 79 kampus di 29 provinsi. Kasus kekerasan seksual ini juga bersembunyi dalam kekerasan berbasis gender siber (KBGS), sebab terjadi pada ruang siber. KBGS melaporkan kasus kekerasan seksual kepada Komnas Perempuan mengalami kenaikan dari 241 kasus pada 2019 ke 940 kasus pada 2020. Laporan KBGS dari lembaga layanan naik dari 126 kasus pada 2019 menjadi 510 pada 2020. Komnas Perempuan juga melaporkan kasus kekerasan seksual di kampus terkonfirmasi yaitu 21 persen atau 1.731 kasus.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara umum laporan kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh Komnas Perempuan pada 2020 sebanyak 299.911 kasus, menurun 31,5 persen dari 2019 sebesar 431.471 kasus. Tentu saja laporan ini hanya merupakan hasil catatan yang dilaporkan oleh korban atau keluarga korban kepada Komnas Perempuan. Artinya masih begitu banyak kasus kekerasan seksual di kampus dibungkam atau sengaja ditutup demi nama baik pelaku dan lembaga. Pelaku kekerasan seksual di kampus ialah dosen, mahasiswa, staf dan tokoh agama di kampus. Sulistyowati Irianto mengatakan bahwa penurunan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan tidak dapat dilihat sebagai imbas dari pandemi covid-19, yaitu (1) perubahan jam kerja dan ketidaksiapan teknologi lembaga layanan, (2) selama pembatasan sosial berskala besar korban takut lapor karena serumah (sekampus; dosen, tokoh agama, sesame mahasiswa) dengan pelaku, dan (3) rendahnya literasi teknologi korban.

Pendidikan merupakan instrumen utama negara untuk membentuk dan melahirkan manusia unggul dan integritas. Kebijakan darurat mendadak dibuat agar pendidikan tetap berjalan dengan memanfaatkan teknologi canggih di tengah pandemi covid-19 ini. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Indonesia, Nadiem Makarim menetapkan kebijakan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MB-KM). Kebijakan ini dipandang berguna sebab mahasiswa diberikan kesempatan untuk mendapatkan pengalaman belajar yang lebih luas dan kompetensi baru melalui beberapa kegiatan pembelajaran di luar program studinya dengan memanfaatkan teknologi canggih. Selain itu, kebijakan MB-KM juga berguna agar kampus nasional dapat memenuhi kebutuhan negara yakni sumber inovasi dan solusi bagi pertumbuhan dan pengembangan bangsa.

Kebijakan pendidikan berguna terutama dalam menanggapi persoalan lapangan; tantangan dan peluang yang dihadapi mahasiswa dan dosen. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merespons darurat pendidikan akibat covid-19 ini dengan memberikan kemudahan pembelajaran kepada mahasiswa di perguruan tinggi. Kebijakan itu tertuang dalam Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tanggal 17 Marat 2020 tentang Pembelajaran secara Daring dan Bekerja dari Rumah dalam rangka Pencegahan Covid-19.

Tantangan-tantangan kampus Indonesia selama pandemi covid-19 disebabkan oleh inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidiakan Indonesia. Cecep Darmawan (2021) mengatakan bahwa kebijakan pendidikan Indonesia kerap menimbulkan kontroversi, bahkan kontraproduktif. Menurut Darmawan, mulai dari kontroversi draf peta jalan pendidikan, persoalan asesmen nasional (AN), perdebatan PP No 57 Tahun 2021, wacana penarikan pajak pertambahan nilai (PPN) pada jasa pendidikan, sampai pada pembubaran Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang tidak tertib hukum.

Menurut Amich Alhumami (2021) inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan itu terindikasi dalam lima kesulitan mengurus pendidikan Indonesia yang demikian kompleks di tengah pandemi covid-19 ini: Pertama, merujuk asas desentralisasi, kewenangan pengelolaan, dan penyelenggaraan terbagi ke setiap tingkatan administrasi pemerintahan: pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua, manajemen guru yang pelik (sebaran tidak merata, kompetensi belum memenuhi standar). Ketiga, infrastruktur esensial (gedung, ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, dan peralatan) belum tersedia lengkap dan tidak merata. Keempat, karakteristik wilayah sangat beragam dan sulit akses. Kelima, diskontinuitas dan inkonsistensi pelaksanaan kebijakan. Inkonsistensi regulasi dan kebijakan pendidikan juga berdampak pada semakin meningkatnya tindak kejahatan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang tidak hanya terjadi pada birokrasi negara, tetapi juga pada sektor pendidikan.

Saiful Mahdi (2021) pernah bertanya: “Kenapa KKN masih merajalela? Merasuk hingga ke sekolah dan kampus—dan sektor pendidikan secara umum, yang seharusnya diharapkan membangun karakter mulia?” Mahdi sendiri menjawab, justru karena korupsi, kolusi, dan nepotisme dipertontonkan nyaris telanjang oleh makin banyak oknum pejabat publik atau aparatur negara, tak terkecuali oleh para pendidik di sekolah dan kampus. Hingga tulisan ini dibuat, Mahfud MD mengatakan bahwa dari 1.298 orang koruptor di Indonesia, 86 persen lulusan perguruan tinggi (Kompas, 21/10/2021). Integritas kampus makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik dan honoris kausa diobral kepada mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan politik.

Pada titik inilah kampus sebagai produk/pengembang ilmu pengetahuan, kebudayaan, riset dan teknologi menjadi tidak merdeka. Mestinya kampus menginternalisasi otonomi keilmuannya pada para pengembang ilmu itu dikendalikan oleh para pemangku kepentingan dengan menerapkan kebijakan-kebijakan pendidikan yang kontraproduktif.

Skandal-skandal pendidikan nasional dapat diatasi dengan menghentikan relasi berwatak patrimonialistik dan patronase-klien (rektor-dosen; dosen-mahasiswa), lambang/simbol dan atribut-atribut feodalisme di kampus. Kampus mestinya memproduksi manusia-manusia yang unggul dan berintegritas, pendidikan yang berpegang teguh pada tugas mulianya, yakni memanusiakan manusia yang berbudi luhur, dan akhirnya juga dapat menimbang kembali nilai-nilai kemanusiaan dan keutamaan hidup di tengah krisis kemanusiaan. Mestinya tata kelola kampus diarahkan pada taraf pendidikan kemanusiaan universal demi perbaikan mutu pendidikan dan kualitas ekonomi-politik nasional. Pendidikan nasional mestinya juga memiliki dampak bagi pembangunan kapabilitas manusia, perluasan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, pencegahan penyakit, dan pengentasan kemiskinan.

Kampus dapat menghentikan relasi berwatak patrimonialistik dan patronase-klien, lambang/simbol dan atribut-atribut feodalisme, dan intervensi negara yang berlebihan di dalamnya, apabila ada konsolidasi intelektual dan konsolidasi gerakan revolusioner kampus berdasarkan pendidikan kritis dan progresif-produktif untuk mengkritisi dan menimbang kembali kebijakan-kebijakan pendidikan kontrapoduktif demi kebebasan akademik, penelitian, publikasi/penelitian dan pengabdian kepada masyarakat luas. Dengan demikian kampus dapat menyusun tatanan baru dunia pendidikan yang berperikemanusiaan, berkebudayaan, bermelek teknologi, dan memerdekakan.

*Melki Deni, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere-Flores-NTT sering menulis artikel seputar politik, sosial, filsafat dan karya-karya sastra.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Melki Deni lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler