x

Aku rasa, muslihatmu berhasil. Sepertinya, mereka tidak memerhatikan caramu menyiapkan minuman.

Iklan

Asep Wijaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Senin, 6 Desember 2021 20:20 WIB

Dua Skenario Balas Dendam

Setiap kali kau mengajakku keluar, kudengar para lelaki yang melihatmu sering menggodaimu dan mengomentari tubuhmu. Bahkan, aku pernah mendengar seorang bapak yang mengajakmu kawin. Kalau siulan lelaki di tongkrongan, aku sudah lupa jumlahnya, mungkin hampir setiap hari, termasuk saat kau yang hanya menjulurkan kepala keluar pagar rumah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Butiran air yang menetes ke tiap cangkir berisi kopi itu begitu jelas kudengar. Kau melakukannya dengan penuh keyakinan bahwa tak seorang pun yang mengetahui aksimu itu. Untuk mengalihkan perhatian orang, kau memintaku terus menggambar pada kertas yang membentang di ubin dekat meja, tidak jauh dari kakimu berpijak.

"Teruslah begitu, Nak! Biar Ibu tuntaskan semuanya malam ini," ucapmu dengan suara yang lirih.

Memang benar, para ibu yang lalu-lalang di selasar rumah Pak RT lebih tertarik kepadaku. Mereka lebih senang menyapaku, baik dengan cara membungkuk maupun bercangkung, bertelekan lutut. Mereka bahkan mengajakku berbincang meski tengah sibuk menyiapkan konsumsi untuk acara buka puasa bersama. Malah tak sedikit juga yang kemudian takjub terhadap gambarku dan melempar pujian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku rasa, muslihatmu berhasil. Sepertinya, mereka tidak memerhatikan caramu menyiapkan minuman.

Dengan siasat seperti itu, tentu tak seorang pun yang mengetahui kelakuanmu. Mereka pasti yakin, cangkir kopi yang meruapkan aroma nikmat itu takkan mungkin kemasukan zat jahat. Apalagi perubahan perilakumu yang menjadi santun dalam beberapa waktu terakhir begitu berhasil mengundang empati mereka. Padahal, sebelum ini, polahmu tak ubahnya seperti penyihir dengan muslihat yang mampu menjerumuskan ayahku ke lembah kegelapan.

======

Tiga tahun sebelum kematian Ayah, kau selalu mengomel tak karuan. Hampir tiap sore, sepulang Ayah kerja, tampangmu selalu merengut menyambutnya. Kebanyakan malah disertai dengan mulut yang bersungut. Kau selalu begitu seolah lelaki di hadapanmu itu begitu hina. Padahal, persoalan yang melatarbelakangi kelakuanmu itu begitu klasiknya: seputar uang, uang, dan uang! Setidaknya itu yang selalu kudengar saat kalian beradu mulut.

Ayah memang bukan pekerja bergaji tinggi. Namun, sesungguhnya, profesi Ayah tidak buruk. Ia bekerja di sebuah instansi negara. Tugasnya memeriksa laporan pengaduan warga ibu kota. Ia juga punya kuasa. Jika diperlukan, ia bisa mengajukan surat kepada atasannya untuk memanggil dan memeriksa pejabat pemerintah. Namun sayang, pekerjaan yang begitu mulia itu tidak dibarengi penghasilan yang layak, setidaknya menurut ukuranmu.

Jadilah kau mulai berani menggerutu soal gaji karena merasa tidak ada perubahan selama lima tahun usia perkawinan. Ukuran perubahan yang stagnan itu pun terbilang standar: tinggal yang masih di rumah kontrakan dan motor yang jadi kendaraan semata wayang. Kau juga memperkuat alasan sikap kesalmu dengan membuat perbandingan yang canggung dengan para tetangga.

Namun, secara perlahan, sikap janggalmu itu beroleh perhatian Ayah. Dua tahun sebelum kematiannya, Ayah mempertimbangkan usulmu untuk menjalani "usaha sampingan". Usaha semacam itu tentu tidak sulit dicari. Sebab, kau pernah mendengar cerita Ayah tentang beberapa rekannya di kantor yang meraup banyak rupiah dari usaha itu.

Meski awalnya ragu, Ayah, akhirnya, terpaksa menggeluti “usaha sambilan” itu. Setidaknya itu yang aku dengar dari mulut Ayah saat berbisik lirih di telingaku yang baru saja menjalani operasi di bagian kepala.

Ya, di usia yang kesebelas, aku harus kehilangan penglihatan karena ada saraf di kepalaku yang putus akibat mengalami benturan keras. Yang kuingat waktu akhir pekan itu, kau meluapkan sumpah serapah sepulang dari pasar. Saat kutanyakan di mana seragamku untuk upacara hari Senin, kau menoyor kepalaku hingga badanku terdorong dari tepi pijakan anak tangga di lantai dua rumah. Aku yang kehilangan keseimbangan kemudian terjungkal. Kepalaku terbentur anak tangga hingga aku lupa hitungan pasti jumlah anak tangga yang melantak tengkorakku.

Pascaoperasi itu, Ayah berjanji akan mengembalikan penglihatanku dengan mencarikan dokter dan rumah sakit terbaik. Ia akan mencari uang lebih banyak lagi agar aku bisa menjalani pengobatan dan kembali bisa melanjutkan hobiku menggambar dan membaca komik detektif Jepang. Namun, bayangan yang terlintas di kepalaku saat itu adalah wajahmu yang pasti sedang semringah. Kau bakal punya banyak duit. Namun, mungkin, kau tidak sadar bahwa kau sudah menggali kuburan Ayah.

Setahun berlalu, Ayah sudah mampu membeli rumah baru milik tetangga sebelah, tak jauh dari rumah kontrakan yang kami huni sebelumnya. Kau tentu lebih banyak terkekeh melihat perkembangan yang begitu gangsar itu. Adapun aku, dengan duit ayah yang mulai melimpah, menjalani beberapa kali terapi di rumah sakit untuk mengembalikan penglihatan.

Aku tidak tahu pasti “usaha sambilan” yang ayah tekuni. Hanya saja, dengan kondisi serba gelap ini, indra lain dalam diriku terasa lebih sensitif. Dari kamarku, aku bisa menyimak obrolan di sekitar rumah secara jelas, termasuk merasakan nada suara ayah yang terdengar begitu tertekan saat berbicara via ponsel. Kepada lawan bicaranya, Ayah seperti menjanjikan sesuatu yang tak kupahami. Hingga beberapa bulan kemudian semuanya terungkap.

Di malam Sabtu yang hening itu, kecupan rutin Ayah belum juga mendarat di keningku seperti yang biasa dilakukannya sepulang kerja. Padahal waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam atau sudah molor tiga jam dari jadwal pulang biasanya. Adapun kau, seperti malam-malam lain, sibuk bercengkerama secara virtual dengan ponsel barumu sambil menyaksikan tayangan iklan perabot rumah tangga yang penjualnya selalu menawarkan harga terjangkau dalam beberapa hari saja.

Hingga sebelum malam berganti hari, kau berteriak histeris. Kau memekik tak karuan pada seseorang di ponsel yang memintamu segera ke rumah sakit. Kepalaku kalut mendengar kata rumah sakit. Aku tahu, tempat itu pasti menyimpan kengerian sekaligus kejutan tak menyenangkan seperti yang pernah kualami. Memang benar, setiba di sana, aku mendengar lamat-lamat suara dokter yang mengarahkan kami ke kamar jenazah. Di sana, kau menjerit lagi sambil memekikkan nama ayah.

Sehari setelah kematian Ayah, dari tayangan berita di teve, aku mendengar penyiarnya menyebut nama Ayah yang katanya terlibat perkara makelar kasus. Ia dianggap menerima suap untuk janji penyelesaian beberapa laporan. Salah satu yang terbesar adalah soal sengketa tanah yang melibatkan nama besar. Ayah yang katanya tak mampu memenuhi janjinya, dibunuh salah satu pihak yang terlibat dalam suap dan laporan itu.

Tak ayal, kau mulai menjadi objek pergunjingan para tetangga. Kau dibilang haus harta dan menuntut Ayah terlalu berlebihan hingga memaksanya berbuat korupsi. Para tetangga juga menyebar kabar soal kau yang dulu hobi pelesiran hampir saban bulan menggunakan uang haram. Kau pun digosipkan sering abai kepadaku hingga ketidakbecusanmu membuatku harus menjalani hidup tanpa penglihatan. Meski itu seharusnya kubantah karena kau bukan lagi tidak becus melainkan sudah melakukan tindak kekerasan.

Tidak hanya itu, setiap kali kau mengajakku keluar, kudengar para lelaki yang melihatmu sering menggodaimu dan mengomentari tubuhmu. Bahkan, aku pernah mendengar seorang bapak yang mengajakmu kawin. Kalau siulan lelaki di tongkrongan, aku sudah lupa jumlahnya, mungkin hampir setiap hari, termasuk saat kau yang hanya menjulurkan kepala keluar pagar rumah.

Gosip itu makin bergulir liar. Kelakuan para lelaki terhadapmu pun kian menjadi-jadi hingga sering kau mendengar siulan dan godaan sesaat menempati rumah kontrakan lama, tersebab rumah baru sudah disita pengadilan. Perlahan kau mulai bersiasat untuk berdamai dengan keadaan. Kau salin penampilanmu menjadi lebih agamis, setidaknya kudengar pendapat itu dari ibu-ibu sekitar rumah. Kau mengubah tutur katamu menjadi terdengar lebih lembut. Perubahan sikapmu itu kian hari makin mengundang empati para tetangga yang menganggapmu sudah insaf.

Hingga di suatu sore, aku mendengar kau tergelak sendirian di ruang teve. Kudengar kau berbicara di ponsel dengan penjual cairan kimia yang pasti kau dapatkan informasinya dari toko daring. Kau memesan beberapa gram cairan dengan sisa uang tabungan Ayah yang masih cukup untuk membiayai hidup selama beberapa bulan lagi tanpa bekerja.

Saat itu, rumahku serasa diliputi aura jahat yang cepat atau lambat bakal menghisap banyak nyawa. Hingga kemudian, kekhawatiranku itu mulai mewujud saat, keesokan harinya, ibu-ibu tetangga rumah mengajakmu ikut membantu seksi konsumsi acara buka puasa bersama.

"Kali ini, aku bakal menuntut balas!" gumammu tak lama setelah menerima kedatangan mereka.

======

Tak seorang pun sadar, di balik aroma kopi yang menyengat begitu nikmat itu telah tercampur zat jahanam yang siap mengirim penyesapnya ke liang kubur.

Tampangmu yang mungkin terlihat saleh sudah pasti berhasil mengelabui bapak-bapak yang duduk lesehan di atas alas terpal yang terhampar di sepanjang gang. Tanpa curiga, mereka justru terdengar seru mengusik dan menggodaimu yang katanya makin cantik dengan busana agamis yang kau kenakan. Bahkan, kudengar ada seorang bapak yang mengajakmu kawin. Namun, tentu, kau sudah pintar mengatur emosi agar rencanamu berjalan gangsar.

Detik-detik kumandang azan magrib itu begitu kau tunggu-tunggu. Tentu bukan karena kau mau cepat-cepat menyantap hidangan berbuka puasa, tetapi karena kau ingin menyaksikan momen yang kau tunggu-tunggu sejak kematian Ayah.

Bersamaan dengan suara azan, momen buka puasa itu mendadak ricuh. Bunyi pecahan cangkir bersahutan. Riuh tangis dan bunyi erangan menguar seketika. Saat itu, di kepalaku terbayang bapak-bapak yang menggelepar menahan nyeri di leher sambil meregang nyawa.

Kurasakan begitu kencang kau berpegangan pada lenganku seraya kudengar isak tangismu yang tertahan. Merasakan aura ketakutan pada dirimu, aku merasa puas. Aku mengulum senyum sambil membayangkan lagi masa laluku saat bersamamu.

======

Di panti asuhan ini, di usiaku yang ketigabelas, aku teringat kembali kenangan bersamamu sewaktu pelbagai gosip menerpamu. Aku sungguh tak tega melihatmu diperlakukan seperti itu. Sebab, meski kau bukan ibu kandungku, setidaknya kau sudah merawatku sejak usia lima tahun atau beberapa bulan setelah kematian ibuku yang sakit kanker.

Namun, di sisi lain, aku begitu ingat sejumlah momen saat kau sering membentakku bahkan mencampakkan dan tidak sedikit memukuliku. Aku juga ingat betul bagaimana muslihatmu menjerumuskan ayah ke jurang kematian. Puncaknya tentu saja saat kau menyebabkanku kehilangan penglihatan yang kuingat betul kau sebut sebagai kecelakaan saat ayah menanyaimu. Andai polisi mengetahui kebenarannya, kau pasti sudah masuk penjara. Namun, ternyata, kau tetap bebas dari segala hukuman.

Maka sejak itu, kuatur siasat untuk melenyapkanmu dengan mengambil inspirasi dari kisah pembunuhan dari komik detektif yang biasa kubaca.

Beruntung mata batinku mampu merasakan dendam di dadamu. Ya, aku tahu kau merawat kesumat pada warga sekitar yang menggunjingkanmu dan para lelaki yang terus melecehkan dan menggodaimu setelah kematian Ayah. Jujur saja, aku pun benci mendengar siulan dan ungkapan kotor mereka terhadap perempuan.

Makanya, saat itu, kusetelkan kau tayangan sinetron yang pemerannya kudengar pandai berbicara mengelabui tokoh jagoan. Kemudian, kukeraskan volume teve saat tayangan memperdengarkan berita kejadian pembunuhan yang memanfaatkan cairan beracun. Betapa beruntungnya aku saat mendapati berita pembunuhan yang pelakunya menggunakan sianida.

Tak lupa, kulemparkan makian pada mereka yang melecehkanmu. Sesekali, kutumpahkan tangisanku juga agar kau merasa ada teman sependeritaan. Kadang kala, kubisikkan keinginanku untuk membunuh mereka.

Tak kusangka caraku menginspirasi seperti itu mendapatkan respons positif darimu. Kau yang lebih sering mengurung diri di kamar seketika melesat ke depan teve dan menyaksikan tayangan suguhanku. Rupanya, semua itu perlahan membuatmu tertarik untuk menyusun skenario balas dendammu. Kau pun mengajakku menyaksikan skenariomu itu. Kita berhasil!

Kanagawa, Desember 2021

Ikuti tulisan menarik Asep Wijaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler