x

Iklan

ya

ya
Bergabung Sejak: 6 Desember 2021

Selasa, 7 Desember 2021 09:45 WIB

Dewi Themis


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

         Debur ombak seakan menuntunku untuk mendekat secara perlahan. Gemercik air dari hantaman batu seolah hendak menyuguhkan ketenangan. Pasir-pasir itu kembali menyeretku untuk hanyut mengikuti irama ombak. Sepoi angin seakan berbisik, menyanyikan irama merdu seolah ingin menghiburku. Aku mendekatinya, memandang laut biru yang seakan menjanjikan kebahagiaan untukku. Mereka semua bersekongkol mengajakku pergi, menggerogoti seluruh beban yang membuat amarahku membuncah. Rintik hujan mulai membasahi tubuhku, berusaha menyamarkan rembesan air mata yang tak kunjung henti.

            Aku berpikir, jika saja semuanya berada di pihakku, jika saja perisai yang aku miliki lebih tinggi dari miliknya, jika saja aku dapat bersandar sejenak, mungkin aku takkan memilih akhir seperti ini.  Atau mungkin, jika saja aku tak bertemu dengan bajingan itu, jika saja aku menyadari kelakuannya macam binatang, hidupku pasti akan terasa lebih manis. Memikirkan ini semua membuat tangisanku kian tak terbendung, bayang-bayang itu terus menghantuiku. Ia terus mengincarku, mengejarku, menguntit tanpa jeda.

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Matahari merangkak secara perlahan, sinarnya menggelitik mataku yang masih tertutup. Terdengar suara ibu dari dapur yang membuatku terjaga dengan cepat. Semalam, aku menyusun kesepakatan dengan ibu untuk membangunkanku, jika aku tak kunjung bergegas untuk bersiap diri. Agaknya, ibu telah menepati janjinya.

          Pagi ini aku hendak pergi ke kampus untuk melakukan bimbingan skripsi bersama teman-teman satu jurusan. Aku akan diantar oleh teman yang juga pacarku, namanya Reza. Aku dan Reza telah berpacaran selama dua tahun, hampir tiga tahun. Ibu, ayah, dan aku sangat menyukai kehadiran Reza. Bagi ayah dan ibu, ia merupakan sosok lelaki yang santun, penuh perhatian, penyayang, dan sangat ulet. Sifat-sifat itulah yang juga mengantarkannya mencapai kesuksesan di segala bidang yang ia ingin tekuni. Ibu dan ayah telah memercayai Reza untuk membersamaiku hingga kini. Dipertemukan dengan Reza adalah suatu anugerah bagiku.

            Suara Reza membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar, kita telah sampai pada destinasi akhir, kampusku. Aku bergegas untuk berpamitan pada Reza. Katanya, ia akan kembali menjemputku sore nanti untuk makan berdua. Aku mengiyakan ajakan itu dan bergegas menghampiri teman-temanku di ujung gerbang. Aku dan teman-temanku segera memasuki ruangan dosen pembimbing untuk berkonsultasi mengenai kesulitan yang kami hadapi saat mengerjakan skripsi.

       Matahari mulai merangkak pergi, memaksa langit menyemburkan sinar oranye kecokelatan. Tanpa aku sadari, waktu bimbingan telah usai. Aku bergegas mengabari Reza untuk menjemputku di depan gerbang seperti biasanya. Sembari menunggu Reza, aku berbincang-bincang dengan teman-temanku. Kita berbagi keresahan mengenai kasus kekerasan seksual yang kian marak, hingga mangkraknya RUU PKS yang tak tau nasibnya kini. Kami geleng-geleng kepala mendengar predator-predator seksual melanggengkan aksi bejatnya dengan bebas. Kasusnya mangkrak, agaknya pihak berwajib baru akan bergerak saat kasusnya telah mencuat di media sosial. Jempol-jempol itu seakan jadi lecutan baginya dalam menyuguhkan keadilan. Kami juga mendiskusikan argumen-argumen jelek partai-partai politik yang memilih untuk menolak ditetapkannya peraturan itu. Alasannya lagi-lagi soal zina, entah mengapa jatuhnya korban kekerasan seksual tak mampu mengetuk mata dan nurani mereka, kami juga tak mengerti.

           Aku tenggelam dalam obrolan-obrolan itu, sampai tak menyadari bahwa Reza telah menanti di depan gerbang. Dengan segera, aku berpamitan kepada teman-temanku untuk pergi bersama Reza. Aku dan Reza segera melaju ke tempat makan untuk mengisi perutku yang keroncongan. Reza memberiku sebuah minuman, nampaknya ia memahami bahwa kekasihnya ini sedang kehausan, akibat terlalu getol berdiskusi hingga sore. Tanpa ba-bi-bu, aku menghabiskan minuman itu dalam sekali tenggak. Ah, entah kenapa, minuman ini terasa lebih segar dari biasanya.

      Aku mengalihkan pandanganku pada jendela luar. Semburat cahaya oranye kecokelatan kian pekat. Gerombolan awan berlari hilir mudik saling berkejaran. Mereka kembali bersekongkol, menghipnotisku, membuat rasa kantuk kian tak terbendung. Kicauan burung juga ikut meninabobokkanku secara perlahan. Sekejap, pandangan itu menjadi gelap, pekat, tak terlihat.

           Aku merasakan gesekan benda keras di area selangkanganku. Sepertinya, seseorang tengah menimpa tubuhku. Aku dapat merasakan nafasnya di wajahku. Pikirku, apakah kecelakaan tengah menimpa aku dan Reza? Aku membuka mata secara perlahan. Samar-samar aku melihat bayangan Reza di atasku. Semakin lama, rasa sakit di area selangkanganku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku terjaga, tetapi sulit sekali menahan rasa kantuk ini. Tanpa pikir panjang, aku memaksa diriku untuk membuka mata. Betapa terkejutnya aku melihat Reza yang berada di atasku. Aku menangis, mencoba untuk melawan. Tetapi, tenaga Reza terlalu kuat untuk aku lawan. Mengapa kejadian ini harus menimpaku? Apa salahku? Apakah karena pakaianku? Apakah karena aku menggunakan riasan wajah? Atau justru karena bajingan keparat itu yang tak pandai menahan nafsu bejatnya?

          Rembesan air mata semakin membanjiri pipiku, berharap ini semua dapat aku sudahi. Aku menatap matanya sembari berucap “mengapa kau lakukan ini?” dengan sisa tenagaku yang telah aku habiskan untuk melawan. Ia, sosok yang aku banggakan, yang aku anggap sebagai sebuah anugerah, ternyata justru kelakuannya seperti binatang. Samar-samar aku mendengarnya mengatakan bahwa ia mencintaiku. Si keparat itu mencintaiku? Apakah ini yang dinamakan cinta? Mengapa ia tega melakukan ini pada gadis yang ‘katanya’ ia cintai? Bukankah rasa cinta seharusnya tumbuh dengan saling menjaga dan menyayangi satu sama lain? Ataukah cinta hanya akal-akalan predator seksual untuk menyalurkan nafsu bejatnya semata? Aku tetap kesulitan untuk mencerna ini semua. Aku kembali menangis tanpa henti, buliran air mata mengaburkan pandanganku hingga aku terlelap. Hari itu, aku berteman dengan kesedihan, berselimut dengan kekalutan. Mungkin, mereka berdua akan terus mengikutiku, menghantuiku, menguntitku tanpa ampun.

             Sejak peristiwa itu, aku memilih untuk diam. Rasa ketakutan terus menghantuiku. Orang tua dan teman-temanku menyadari perubahan drastis yang aku alami. Bagi ayah dan ibu, aku sudah seperti seonggok daging tanpa nyawa. Aku menjadi lebih tertutup dan mudah takut jika seseorang memasuki kamarku tanpa mengetuk pintu. Ayah dan Ibu mengira aku hanya stres akibat tuntutan skripsi. Ibu menghiburku dengan memasakkan rawon kesukaanku, ayah juga menghiburku dengan membelikan buku-buku yang aku idam-idamkan. Aku merasa bersalah dengan ayah dan ibu, aku merasa telah mengecewakan mereka berdua. Aku juga merasa sebagai seonggok daging yang tak punya masa depan. Aku tak dapat menepis bayang-bayang kelam di hari itu. Tanpa sadar, air mata kembali merembesi wajahku. Aku kembali menangis, mungkin hanya tangisan yang dapat aku lakukan saat ini. Rasanya, tak ada alasan lagi untukku bertahan.

***

            Beberapa bulan setelah kejadian itu, aku merasakan ada yang aneh dalam tubuhku. Perutku kram, kepalaku sakit sekali, bahkan sendi dan ototku juga terasa nyeri. Aku merasakan mual tak berkesudahan. Sepertinya, ada nyawa baru dalam tubuhku. Tangisan kembali menghiasi ruanganku, aku ketakutan. Saat itu juga, aku berusaha untuk menjangkau Reza, menagih tanggung jawab atas ulah bejatnya terhadapku. Aku benar-benar kebingungan, aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku juga tak tahu harus mengatakan apa kepada ayah dan ibu. Anak semata wayangnya, anak yang mereka bangga-banggakan, kini telah menjadi aib bagi keluarga. Membayangkan itu membuatku semakin ketakutan. Tenggorokanku seakan tercekat, air mataku kembali mengalir.

            Hingga sore hari, Reza tak kunjung menanggapi pesanku. Aku menjadi semakin khawatir. Tanpa pikir panjang, aku bergegas mendatangi rumahnya untuk bertemu dengannya. Nyatanya, jawaban darinya membuatku semakin geram. Si bangsat keparat itu memilih untuk menjadi pengecut. Ia tak merasa berdosa sedikitpun atas apa yang telah ia lakukan terhadapku.

“Gugurkan saja dia, sebelum terlambat” ucapnya dengan enteng.

            Jika saja menganiaya dan membunuh predator seksual dilegalkan di negeri ini, maka Reza adalah predator seksual pertama yang ingin aku jadikan samsak untuk melampiaskan kekesalanku. Aku marah, sedih, kecewa, dan jijik dengan diriku sendiri. Aku pulang dengan tangan kosong, aku gagal menemukan keadilan yang aku cari, aku gagal merebut kembali hak yang seharusnya aku dapatkan.

            Malamnya, aku bergegas menghubungi keluarga Reza untuk kembali meminta pertanggung jawaban dari mereka. Pepatah mengatakan ‘buah jatuh tak jauh dari pohonnya’, agaknya hal ini berlaku bagi Reza dan keluarganya. Tanpa welas asih, ternyata hanya makian yang aku dapatkan. Dengan berbagai ancaman, mereka memaksaku untuk membunuh makhluk kecil dalam tubuhku.

“Gugurkan saja, kalau kamu ngomong dosa, toh dari awal kamu juga sudah dosa. Sekalian saja digugurkan!” jawab ibu Reza dengan enteng dan tak tahu malu.

Sungguh aku geram dengan jawaban itu. Sebagai seorang perempuan, tidakkah ia mampu merasakan bagaimana sakitnya dilecehkan. Tidakkah ia mengerti bagaimana sesaknya dianiaya. Sebagai seorang ibu, tidak bisakah ia ajarkan si bajingan itu untuk tidak memerkosa?

***

            Paginya, Reza kembali menemuiku. Ia memberikan aku empat butir pil berwarna putih. Ia memaksaku untuk meneggak racun-racun itu sekaligus, dan melarangku untuk makan setelahnya. Benar saja, aku merasakan nyeri dan kram di perutku. Lendir dalam balutan cairan merah mengalir deras dalam selangkanganku. Cairan itu merembes tanpa henti, rasanya sakit sekali. Aku tak kuasa menahan ini semua, kepalaku pusing, pandanganku kian memudar.

            Aroma pekat obat-obatan mengitari seluruh ruanganku, tetesan cairan juga ikut mengaliri urat nadiku. Samar-samar aku melihat wajah cemas ayah dan ibu. Tanpa ragu, aku bergegas menumpahkan seluruh beban hidupku kepadanya. Sesuai dugaanku, ayah dan ibu kecewa melihatku. Aku tak pernah melihat ayah semarah ini terhadapku. Makian dan cacian kerap dilontarkan oleh ayah, bahkan saat kondisiku memburuk sekalipun.

“Perempuan jalang, sundal! Mau jadi apa kamu, jika kelakuanmu saja sudah menyerupai sundal! Ayah tak sudi punya anak seperti kamu. Kalau perlu, ayah bunuh kamu saat ini juga” ujar ayah dengan mata menyala.

Ibu yang tengah menangis ikut meredamkan amarah ayah. Diusapnya pundak ayah secara perlahan.

“Mau bagaimanapun juga Dewi ini anak kita yah, dia ini diperkosa, bukan melacur!” ucap ibu dengan tegas.

            Setelah keadaanku cukup membaik, ibu menemaniku untuk melaporkan tindakan bejat Reza pada pihak berwajib. Ayah, tentu saja masih memendam amarah dan rasa kecewa terhadapku. Melihatku saja ayah tak sudi. Rasanya, ayah benar-benar ingin memutuskan hubungan kekeluargaan denganku. Ayah memilih untuk tetap melanjutkan kegiatannya, di tengah kondisiku yang luluh lantak seperti ini.

            Aku dan ibu melaporkan seluruh kejadian yang aku alami. Tak lupa, aku sertakan bukti-bukti kuat dimana Reza memperkosa dan memaksaku untuk menggugurkan kandunganku. Nyatanya, hukum tak berpihak kepadaku. Hukum tak mampu mengembalikan hakku, memberikan aku keadilan.

“Sebentar, kalian kan pacaran, pasti kamu juga menikmatinya kan?” ujar si bajingan berseragam.

“Saran saya, mending kalian berdamai saja. Biarkan masalah ini diselesaikan secara kekeluargaan. Atau mungkin dari pihak keluarga bersedia untuk menikahkan kedua mempelai. Kan sebelumnya sudah berpacaran” imbuh si brengsek itu.

         Sumpah demi tuhan, ingin sekali aku mencabik mukanya dan menghantam tubuhnya. Dasar tai anjing! Menangani kasus pemerkosaan saja tidak becus. Seharusnya, titel ‘mengayomi’ tak pantas kau terima.

            Lagi-lagi aku dan ibu pulang dengan tangan kosong, tanpa keadilan. Benteng yang dimiliki Reza terlalu kokoh untuk dirobohkan. Kemana lagi aku harus mencari keadilan? Kemana lagi aku dapat merebut kembali hakku? Hidup ini seakan tak adil. Bagaimana bisa seorang predator seksual bisa lolos dari jeratan pidana, sedangkan korbannya dipaksa untuk berdamai? Sepertinya, sudah tidak ada lagi yang dapat aku lakukan.

            Ibu melihatku dengan tatapan nanar. Aku menatap mata ibu yang sayu, berharap ibu mendengar bisikan maafku. Tak gentar, ibu berusaha menghiburku dengan kembali menyuapi rawon kesukaanku. Secercah harapan, ia suntikkan pada setiap bulir rawonnya, berharap aku bisa tegar menghadapi ini semua.

***

            Esok harinya, aku putuskan untuk pergi, menenangkan diri. Aku menghampiri pantai, tempat ayah dan ibu sering mengajakku berlibur. Deburan ombak kembali mengingatkanku pada kenangan semasa kecil. Saat itu, ayah menjelaskan makna dari namaku, Dewi Themis. Katanya, ayah berharap agar aku menjadi bijak dan adil seperti Dewi Themis, dewi keadilan. Namun sepertinya, penutup mata Dewi Themis telah robek, tak mampu membendung lirikan matanya. Timbangan yang dijunjung olehnya mendadak berat sebelah. Pedang yang dipegangnya juga patah. Inilah yang menyebabkan aku berakhir seperti ini.

            Hantaman ombak kembali memanggilku, menyeretku untuk mendekatinya. Sepoi angin ikut menuntun langkahku. Semoga ombak dan angin menyampaikan salamku pada ayah dan ibu. Semoga kicau burung mampu menghibur kesedihan ayah dan ibu. Semoga senja sore mampu mengobati kebencian ayah padaku, dan semoga kepergianku akan menjadi setrum bagi Dewi Themis yang telah terbius kekuasaan.

           

           

 

 

Ikuti tulisan menarik ya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler