x

Iklan

Sion Geva

Penginisiasi Fiksi Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:15 WIB

Pangeran Kegelapan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Beramai-ramai siswa kelas XI IPS 2 mengganyangku ke gudang belakang sekolah. Gudang terbengkalai yang menyimpan rongsokan. Dengan ini terjamin sudah suaraku terbungkam. Jangan-jangan mati di sini pun aku malah cuma masuk ke daftar pencarian orang hilang.

Pintu gudang berderit nyaring saat dibuka paksa. Mereka mencampakkanku ke dalam. Untung aku mendarat di atas matras bekas sisa peralatan pelajaran olah raga. Aksi mereka pun dimulai.

Jangan dibayangkan aku akan digebuki hingga babak belur. Biru sana-sini, berdarah-darah, atau patah tulang. Setengah mati sampai merangkak saja kepayangan. Mereka tidak sesadis itu. Mereka hanya akan menjadikanku bahan tertawaan setelah menelanjangi dan melakukan pelecehan ringan. Ruangan ini cukup aman menjaga suara teriakanku karena rasa malu. Tapi ujung-ujungnya aku menelan semua air mataku karena anak laki-laki tidak boleh menangis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beberapa menit lalu aku menyadari ada jendela. Di tajuk ketahananku, sambil menyelamatkan celana yang masih tersemat di badan, aku berlari menabraki mereka. Melompati rongsokan hingga berserakan ke lantai. Melemparkan diri keluar jendela, mendarat di rerumputan. Satu yang kusesalkan, tidak teliti melihat kalau ada batu berukuran sekepalan tangan di sana.

Merentangkan badan, lalu aku membuka mata. Langit tampak merah pekat. Aku melirik ke jendela. Tiga orang berebutan mengintip. Dalam hitungan detik mereka lari terbirit-birit.

 

“Anda baik-baik saja?” Seseorang mengguncang tubuhku. Menarik kesadaranku kembali. “Apakah Anda yang memanggil petir barusan dan mengalahkan monster sihir tersebut?”

Gadis sepantaranku yang tidak kian henti menggoncang badanku berambut pirang dan bermata violet. Wajahnya bulat mungil dan kulitnya terlalu putih. Astaga, aku tidak bohong rupanya bak malaikat. Sayangnya, otaknya terganggu. Menanyakan hal aneh bin ajaib dengan ekspresi serius menggunakan bibir tipisnya yang manis.

“Ya, aku baik-baik saja.” Masih terbelalak tidak percaya seorang gadis secantik ini di dekatku.

Aku terhuyung-huyung bangun lalu melirik ke kanan ke kiri. Ini aneh. Barusan aku masih mendengar jeritan orang-orang yang meninggalkanku di luar jendela gudang. Dan sekarang muncul seorang gadis mirip tokoh kartun yang selalu kutonton? Tidak ada darah di kepalaku. Tidak ada baju serta celana yang kancingnya putus sehabis direbut oleh orang-orang itu. Aku bangun di tengah padang belantara menjelang sore dengan pakaianku yang masih utuh. Dan tidak sendiri. Segelimpang monster-monster aneh berhamburan di sekelilingku.

Ia mengulurkan tangan. “Ikut aku. Kau punya kewajiban menjelaskan semuanya padaku.”

Gadis ini pemaksa. Biar begitu, kusadari aku tidak bisa melawan. Ia bukan perempuan sembarangan. Instingku mengatakan kalau bahaya melawan seorang perempuan berbaju zirah lengkap yang bisa menunggang kuda juga memegang tombak.

 

Berkelit sana-sini dan aku mendapatkan informasi yang kuperlukan. Pasukan militer yang sedang berjaga memandang tiga buah petir menyambar tak jauh dari tembok perbatasan kota. Kapten Lucia beserta pasukannya menghampiri tempat petir tersebut mendarat. Namun, ia tidak mendapati seorang penyihir pun. Selain aku yang ikut terbaring.

Lucia melipat tangannya di dada. Menyipitkan mata kesal setiap kali pertanyaannya kujawab dengan ‘aku tidak tahu’ atau ‘aku tidak ingat’. Terakhir ia menggebrak meja ruang pertemuan markas tentara kerajaan saat kesabarannya habis.

“Sekarang pilihanmu hanya dua, Saudara! Kupenggal atau bergabung dengan pasukanku!”

 

Aku masih belum percaya kalau yang merapal mantra petir dan mematikan semua monster sihir itu adalah aku. Bagaimana cara merapalnya? Bagaimana cara menggunakannya untuk menghabisi lawan? Aku hendak bertanya balik waktu Lucia membawaku ke lapangan terbuka Kerajaan demi mempresentasikan sihir kelas atas yang mereka saksikan sebelumnya.

Keringat sebesar biji jagung mengaliri pelipisku. Lucia menuding papan target berjarak 300 m di depan kami. Ratusan pasukan militer menonton seksama. Di balik baju zirah mereka aku tahu kalau pedang, busur panah, gada, atau senjata apa pun siap dilesatkan begitu tahu aku gagal. Mengapa? Karena aku sudah terlanjur masuk ke bagian dalam markas militer Kerajaan.

Aku menutup mataku, berdoa sekenanya. Asal aku bisa keluar dari situasi ini. Tanganku terangkat dan mengucapkan apa saja yang sekilas lewat di otakku.

Lightning amok.”

Silau. Mata kami menjadi buta. Tak lama bunyi dentuman memekakan telinga menghantam lapangan. Menyisakan tanah hitam gosong dan asap membumbung tinggi ke langit.

Semua penonton bergeming. Tidak, sampai aku merasakan Lucia membalikkan badan hendak menyerang. Badanku refleks mengangkat pedang di pinggangku. Aku mengayunkannya sekuat tenaga, melindungi jantungku yang jadi sasarannya. Matanya membelalak ketika pedangnya terlempar jatuh ke tanah.

 

Esok harinya aku digiring oleh Lucia ke ruang tahta Kerajaan. Beda drastis dari kemarin, wajahnya keras, rahangnya gemetar setiap kali mata kami bertemu. Ia… takut padaku?

Pintu setinggi 5 m berukiran tradisional terbuka. Ternyata ruangan ini penuh sesak dengan orang. Padahal dari luar tadi tidak terdengar apa-apa. Mereka yang berdiri tersusun rapi dalam barisan di hadapan Raja serentak melirikku di ambang pintu.

“… Lu, Lucia Elmer membawa penyihir pedang ke hadapan Raja,” serunya gelisah. Alisku terangkat sebelah. Hah apa katanya? Dari belakang kusadari punggung Lucia masih gemetar.

Suara ‘oh’ serempak berkumandang. Beberapa dari mereka bergerak pelan-pelan mundur. Hanya mereka yang berpakaian kasual di tengah-tengah ruangan yang melakukan hal itu. Mukanya menjadi pucat seakan-akan melihat hantu. Para tentara yang berbaris di sisi kanan dan kiri ruangan berseru-seru menenangkan mereka.

“Penyihir pedang katamu?” sahut Raja. Intonasinya berat, menunjukkan wibawa yang sanggup mendiamkan keributaan sesaat di ruangan tahtanya. “Jadi yang menggunakan sihir petir kemarin adalah orang itu?” Lucia mengangguk.

“Kau masih sangat muda.” Raja beranjak turun dari kursinya. “Menguasai sihir dan ilmu pedang di usiamu? Aku akan mengabulkan semua keinginanmu asal kau bersedia menjadi pasukan Kerajaan melawan Kerajaan mistik Selatan, Kerajaan kegelapan Timur, juga Kerajaan jentera Barat! Seperti mereka yang hadir saat ini memenuhi panggilan untuk menjadi kesatria Kerajaan, berikanlah bantuanmu untuk mengalahkan mereka, Anak muda!” pintanya.

Lucia sekilas sudah menjelaskan. Semua Kerajaan berperang demi memperebutkan sumber daya tambang kristal dan metal. Garis besarnya, pasukan militer Kerajaan Utara kalah daya tempur. Kerajaan mistik Selatan tak terkalahkan dalam sihir. Kerajaan kegelapan Timur memiliki pasukan immortal juga monster sihir. Kerajaan jentera Barat adalah kumpulan ahli mesin kerdil pencipta robot tempur dan senjata sekelas torpedo nuklir. Sementara Kerajaan Utara punya apa? Hanya segelintir pasukan militer berkuda. Pengguna sihir kelas atas dapat dihitung dengan jari di kerajaan ini. Kemunculanku seperti jackpot bagi mereka.

Aku terenyuh melihat seorang Raja memohon. Lagi pula aku tidak rugi apa-apa dengan menolong mereka ‘kan? Jelas! Hanya saja, sebelum terucap ‘ya’, aku bertatap muka dengan hal yang paling menghancurkan hidupku. Mereka ada di barisan terdepan. Berpakaian kasual, berdiri dengan gagah, menyematkan pedang di pinggang. Berjejer dari yang terdekat dariku; Budi, Hadi, Agus, Aldi, Imam, dan Arif. Enam orang yang menjadikan masa SMA-ku bagai neraka setiap hari. Mengapa mereka ada di sini?

Kecepatan gerak badanku mengalahkan perintah dari otak. Tahu-tahu aku sudah melemparkan sarung pedang dan menyongsong tenggorokan Budi. Tiga orang pasukan berbaju zirah menghentikkanku tepat saat sebuah goresan dangkal sudah terbentuk mulus di kulitnya.

Para calon pasukan militer Kerajaan berteriak-teriak. Ketakutan setengah mati melihat aksiku. Jawabku hanya satu, “Aku akan bergabung asalkan enam orang ini mati di tanganku!”

 

Akhir kata, Raja memilih untuk menyingkirkanku. Ia mengerahkan pasukannya untuk melumpukanku yang mengamuk seperti sapi gila. Di sana sihirku hilang kendali. Yang pasti tirai-tirai terbakar, lantai penuh retakan es, atap gosong dan berasap saat aku melangkahkan kaki keluar dari Kerajaan. Aku menyayangkan tidak ada korban jiwa. Yang ingin kubunuh hanya enam orang itu dan pasukan elit melindungi mereka dengan baik.

Kusibak pakaianku. Meninggalkan semua sejak kedatanganku ke dunia aneh ini. Satu tekatku, bergabung dengan Kerajaan kegelapan Timur. Menjadi raja iblis daripada seorang pahlawan.

Aku tidak perlu menjadi orang baik di sana. Cukup senang aku disambut dengan peperangan melawan berbagai bentuk monster dan iblis bersayap begitu menginjak pintu gerbang Kerajaan Timur. Memuaskan kegilaanku memporak-porandakan kesatria mereka. Toh, apapun yang kuperbuat, mereka tidak bisa mati. Setiap hari bertengkar sampai salah satu kepala antara penantang-ditantang lepas dari lehernya. Nah, menjadi satu-satunya manusia di sini aku harus ekstra hati-hati karena mereka bisa hidup lagi, sedangkan aku tidak.

Tidak peduli dipercaya atau tidak, aku tetap ikut turun ke medan perang. Dalam beberapa minggu aku sudah merasakan bertempur dengan dua kerajaan. Melayangkan pedangku dengan sadis atau pun melemparkan sihir petir untuk memusnahkan langsung satu batalion.

Satu hal yang tidak kuduga. Ternyata kedatanganku yang menjadi keunggulan bagi Kerajaan kegelapan Timur selama itu dipandang sebagai ancaman bagi tiga kerajaan lain. Di balik sepengetahuanku, mereka berkoalisi untuk menghancurkan Kerajaan kegelapan Timur. Belakangan aku mengetahui ketika pasukan mereka bertiga muncul bersama-sama dalam jumlah besar begitu dekat dengan tembok perbatasan kota.

Aku berdiri di garis depan pasukan. Berhadapan dengan pasukan elit tiga kerajaan. Mereka meluncurkan segala usaha. Memusatkan semua serangan kepadaku; sihir api-air-udara-cahaya, tombak berapi, dan robot dengan gladius.

Segera aku merapal sihir pertahanan yang melindungiku dari serangan tersebut. Yang terlempar hingga menghancurkan tembok kota adalah ratusan pasukan elit yang dari awal berdiri di sisiku. Menyisakan aku seorang diri menghadapi mereka. Di mata mereka aku adalah monster yang sama. Tidak masalah. Kekuatanku bisa mengalahkan mereka semua.

Di saat aku sudah siap merapal serangan balik, lagi-lagi aku melihat sesuatu yang menyesakkan. Mereka lagi… mereka berenam lagi! Untuk apa mereka yang lemah dan tidak berguna di medan perang ini maju ke garis depan?

Ketika hatiku bimbang, datang seranganan petir dari langit. Tidak ada yang melindungiku. Mendadak semua menjadi putih. Ah, ini saatnya aku mati…

“Bangun!”

Badanku disentakkan. Aku membuka mata, menoleh ke arah sumber suara. Di sana seorang anak perempuan berseragam putih abu-abu mencengkram lenganku.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Memegangi badanku yang rasanya sakit. Meraba badanku yang bertelanjang dada ditutupi sebuah selimut putih UKS.

Terdiam sejenak. Sebegitu dendamnya kah aku? Sampai dari hatiku yang terdalam bisa memunculkan mimpi aku memilih menjadi pangeran kegelapan demi membasmi orang-orang yang mem-bully-ku? Aku menghela nafas. Berniat kembali tidur sambil memegangi kepalaku yang berdenyut-denyut di balik perban.

Ikuti tulisan menarik Sion Geva lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu