x

Iklan

Rismahani Ulina Lubis

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:26 WIB

Dara dan Pelipur Lara

Kisah fiksi seorang gadis belia yang hidup dalam kepayahan sebelum dihadiahi kebahagiaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Derai air langit tak lagi lebat. Kini hanya rintik yang berlomba jatuh ke tanah. Dara mendorong lembut jendela biliknya yang sedari tadi memang belum dikunci. Ia lalu menjatuhkan bokong ke muka kursi. Ya, ia duduk. Bersender di sana. Memandangi keadaan dari balik bingkai jendela itu. Awan merangkak pelan. Menjauhi muka langit. Cakrawala memekat. Purnama tampak meninggi. Angin semilir mampir sesekali, mengelus wajah gadis berusia seperlima abad itu. Ia menghirup hembusan angin yang datang silih berganti. “Ah, segar sekali,” ucapnya dengan mata terpejam. Hal itu ia lakukan berulang dengan kedua kelopak mata yang terus tertangkup. Netranya terbuka perlahan saat hela nafasnya yang kelima. “Bau ini ...” gumamnya seraya menghidu. Petrikor. Aroma yang mengundang gairahnya untuk bercengkerama dengan hari lalu. Saat dimana ia bersua dengan Mateo.  

            “Mateo, tak terasa sudah hampir tiga tahun waktu berlalu,” ucap Dara seraya tersenyum simpul.

            “Badanmu sekarang sudah seperti anak kerbau!” sambungnya diiringi gelak tawa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

           “Terima kasih, ya. Tetaplah bersamaku selamanya.” Mateo diam tak menjawab. Anak kerbau itu terlelap di ranjang Dara sejak satu jam lalu.

            Dara meraih mug di sampingnya lalu menyeruput wedang jahe yang tak lagi hangat usai diserang hawa sejuk. Suasana malam ini begitu memikat Dara. Angin semilir terus membawa aroma petrikor hingga kian semerbak. Menyeruak memenuhi lubang hidungnya.

            Praaaang! Pecahan kaca terdengar menghujani lantai bertubi-tubi.

            “Kalau minggu depan masih belum dapat uangnya, ibu jual rumah ini!”

            “Sabar, Bu. Selama ini bapak tidak diam saja ....”

            “Kelamaan! Sudah tiga bulan, Pak. Tiga bulan sejak Bapak bangkrut!”

           Malam ini piring menemui gilirannya. Kemarin gelas. Selumbari wajan. Panci, mangkuk, baskom, sendok, garpu, dan kawan-kawannya. Seluruh perabotan dapur itu sudah muak menjadi bahan pelampiasan amarah Nyonya Sudrajat. Tak satupun luput. Kalau saja mereka bisa bicara, wanita tengil itu mungkin sudah kenyang makan sumpah dan serapah. Begitulah. Telah menjadi agenda rutin harian di kediaman Dara sejak beberapa bulan terakhir. Mendengarkan adu mulut sepasang suami istri. Suara-suara riuh dari perabotan itu sudah terdengar bagai musik bernada melankolis di telinganya.

            “Ah, drama babak baru sudah dimulai,” ucap Dara seraya memanyunkan bibir hingga rupanya seperti pantat ayam yang hendak buang hajat.

***

           Langkah Dara mendadak terhenti. Netranya menangkap sebuah ketidak-biasaan. Dua pasang sepatu asing nangkring di lantai depan teras rumahnya. Sepasang sepatu kulit pria berwarna coklat. Sepasang lagi sepatu kets pria berwarna abu. Sebuah mobil sedan berwarna hitam pun tampak berjemur di halaman.

            “Tamu? Siapa yang datang? Apa mungkin ....”

            Dara berjalan pelan menuju pintu sembari mengumpulkan keberanian. Di pundaknya masih bertengger rasa trauma. Bulan lalu, dua orang debt collector berbadan besar nan kekar, pun bersuara menggelegar memorak-porandakan isi rumahnya. Pak Sudrajat, bapak Dara, tak lagi sanggup membayar tagihan yang telah menunggak selama satu bulan. Alhasil, barang-barang bernilai di rumah itu diangkut paksa. Semua aset ludes. Satu-satunya yang bertahan dan belum diagunkan ialah hunian mereka. Demi menyelamatkan perut keluarga, Dara mesti banting tulang sembari menimba ilmu. Kesehatan bapaknya anjlok. Tak lagi mampu ia bekerja kasar.

            Nyonya Sudrajat, ibu Dara, adalah wanita yang gila harta. Pernikahannya dengan bapak Dara hanya modus agar dapat menjadi hama di ladang rupiahnya. Namun, Pak Sudrajat cinta mati pada wanita itu. Dara pun dibuat runsing. Entah mengapa bapaknya itu bisa jatuh hati pada seorang wanita berwatak miring. “Mungkin kena pelet,” pikirnya setiap detik, menit, jam, hari, bulan, tahun. Setiap saat.

            Ya, bapak Dara dulunya adalah seorang tuan. Tanah dan kontrakannya berserak disana-sini. Sedang Nyonya Sudrajat adalah wanita yang selalu haus akan lembaran pundi-pundi. Bisnis suaminya gulung tikar, namun ia kian gemar menanam piutang demi memenuhi hasrat berhura-hura. Jengahnya tak kian timbul. Harta Pak Sudrajat memang bergelimang. Namun itu dulu. Sebelum paceklik menyerang. Membuat jantung perekonomian keluarganya tak lagi dapat berdegup kencang. Membuat kantong kering kerontang meradang.

            Keberanian Dara kini terisi cukup untuk melangkah ke ruang tamu. Selangkah, dua langkah, tiga langkah. Ia lalu berhenti. Tak satu batang hidungpun ia temukan. Huniannya cukup luas. Maklum, rumah mantan juragan desa. Ruangan itu bukanlah satu-satunya. Namun, yang melegakan adalah, telinganya tak menangkap suara keributan seperti bulan lalu.

            “Barangkali bukan debt collector? Lalu siapa?” gumamnya, dengan secuil rasa penasaran.

            Kaki Dara bergerak lagi. Kini ia lebih leluasa melangkah karena rasa takutnya agak luntur. Gadis itu berjalan sambil celingukan hingga sampai di ruang tengah. Empat kepala tampak bergoyang-goyang di sana. Tampak jelas pula wajah kedua orang tuanya. Mereka duduk menghadap pintu masuk sedang dua orang tamu itu duduk membelakangi Dara.

           “Nah, ini anaknya. Sini, Nak,” panggil Nyonya Sudrajat diiringi senyum yang sama sekali tak ada manis-manisnya.

            Berbarengan dengan panggilan dari si Nyonya, tamu dan Dara toleh-menoleh. Disaat yang sama mata gadis itu terbelalak. Salah seorang tamu kiranya adalah rekan sejawat di bangku sekolah, Jaka. Seorang lagi adalah ayahnya yang ternyata kawan lama Pak Sudrajat. Dara kini duduk tepat disamping ayah Jaka. Lensa bola matanya dipenuhi oleh kembang warna-warni tujuh rupa yang ditangkap dari taplak meja di hadapannya. Ya, sesaat ia agak sungkan untuk memandangi wajah tamu sehingga sibuk memperhatikan benda itu.

            “Dara? Luar biasa. Makin cantik anakmu.”

            “Ah, iya. Terima kasih.”

             “Dara juga pintar, Yah. Pandai menari pula.”

            “Oh, ya? Wah, mengagumkan sekali.”

            “Ah, tidak kok, Om. Jaka berlebihan,” sahut gadis itu seraya tersenyum kecut. Sekecut buah limau yang baru saja dipetik dari pohonnya.

            “Kita kan sudah kenal hampir tiga tahun.”

            “Iya, anak kami ini memang sudah cantik dan pintar sekali sejak kecil.”

            Kelinci bahkan belum bertanduk. Kucing pun belum berjenggot. Sanjungan dari Nyonya Sudrajat tiba-tiba melayang ke bahu Dara. Ia lantas melirik sinis ke arahnya. Merasakan keganjilan pada diri wanita itu. Tak pernah ia bersikap jinak begini. Sementara bibir Pak Sudrajat kini terkatup saja. Bahasa tubuhnya seperti kucing yang takut dilidi.

            “Dara, kami kesini karena ingin melamar kamu.”

            “Melamar saya?” sahut Dara kaget bukan main.

            “Benar, Nak. Mau, kan? Iya, kan?” bujuk Nyonya Sudrajat nyaris merengek.

            “Tapi, kenapa? Kita bahkan tidak pernah punya hubungan spesial.”

            “Iya, memang. Tapi aku sudah lama menyukaimu. Kamu juga pasti menyukaiku, kan?”

            “Tentu! Siapa yang tidak suka padamu? Tampan, tajir. Iya kan, Nak?” sahut si Nyonya seraya memamerkan giginya lebar-lebar. Mulutnya melar. Jubah domba semakin erat melekat di tubuh serigalanya. Nyonya Sudrajat terus bermanis muka dan kata. Bersikeras mengambil hati Jaka.

            “Maaf, Jaka. Aku sudah punya kekasih.”

            “Sejak kapan? Kamu pernah bilang kalau belum pernah menjalin hubungan?”

            “Iya, itu dulu. Sekarang lain. Apa aku harus mengadu padamu?”

            Beberapa patah kata yang terlontar dari mulut Dara itu sukses membuat lidah Jaka kelu. Ia pulang mengantongi rasa malu berbalut kecewa. Jaka bagai tersambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin pria tampan nan mapan sepertinya ditolak sementah itu. Namun, bagi Dara, apalah arti tampang rupawan dan kejutawanan bila tabiatmu uring-uringan.

            Tamu pamit undur diri lalu angkat kaki. Sang Serigala melepas jubah dombanya secepat kilat. Menampakkan wujud aslinya. Buas.

            “Dasar bodoh! Orang seperti Jaka kau tolak?! Minta maaf!”

            “Untuk apa? Aku tidak berbuat salah.”

            “Minta maaflah sebelum kesepakatan kami hangus!”

            “Tidak! Kesepakatan apa yang kalian buat?”

            “Kita bisa hidup enak lagi kalau kau bersamanya!”

            “Jadi, semua ini karena uang?”

            “Bapakmu akan dapat posisi bagus di perusahaan ayahnya!”

            “Jadi, Bapak setuju? Bapak ingin menjualku?”

            “Besok kau harus minta maaf! Kalau perlu berlutut, berlututlah!”

            “Kau saja yang pergi. Rayu ayah Jaka dengan gincumu itu.”

            “Dara, jaga bicaramu! Dia Ibumu!”

            “Siapa? Dia bukan ibuku! Ibuku sudah lama mati!”

            Puk! Sebuah telapak tangan yang ukurannya hampir selebar piring menghantam wajah Dara. Menyisakan tanda merah di pipi sebelah kanannya. Beberapa detik ia habiskan untuk diam seribu bahasa. Ia lalu mengangkat wajah dan menatap Pak Sudrajat dengan nanar.

            “Dia menamparku. Bapak diam saja?! Sadar, Pak!” bentak Dara seraya menyeringai.

            Dara kini naik pitam. Bergegas ia angkat kaki dari rumah itu. Sautan Pak Sudrajat yang memanggil lirih namanya seraya memohon ampun diatas kursi roda pun tak diindahkan. Tidak, bapaknya tidak lumpuh. Penyakit tuanya sedang kambuh.

            “Tahu rasa! Tak berguna!” ucap ibu tirinya itu dengan darah mendidih.

            Kaki Dara terus mengayun dan menapak. Tanpa arah dan tujuan. Pikiran dan tatapannya kosong. Butiran air pun sampai tak terasa telah menghujani tubuhnya di sepanjang jalan. Ketika hari mulai petang dan tungkainya terasa lemah, ia berteduh di teras sebuah rumah tak berpenghuni. Tiba-tiba, entah dari mana, seorang wanita tua berpakaian compang-camping, rambut bak ijuk, tak beralas kaki, muncul seperti hantu. Menghampirinya.

            “Permisi, Nak,” sapa wanita tua itu seraya bersedekap karena menggigil.

            Dara lantas menoleh ke sumber suara. Bola matanya nyaris lepas. Wajahnya mendadak berubah menjadi pucat pasi. Seperti nasi basi.

            “I-iya, Bu?” sahutnya dengan mulut yang mendadak gagap.

            “Ibu lapar. Kamu punya makanan?”

            Dara menggeleng lemas. Dengan perasaan berdebar, ia meraba-raba pakaiannya. Seperti orang yang baru saja kecopetan.

            “Masih ada!” ucap Dara bersemangat seraya merogoh kocek. Di saku celana kanannya, terselip dua lembar rupiah seharga sepuluh ribu.

            “Hanya ini yang saya punya, Bu,” sambungnya seraya menyodorkan lembaran rupiah itu pada wanita tua. Tangannya gemetar.

            “Ah, terima kasih banyak. Sudah lebih dari cukup untuk membeli sepotong roti,” sahut si wanita tua seraya tersenyum dengan gigi yang berjendela. Tiba-tiba, seekor kucing jantan berbulu hitam putih, bermata biru, muncul dari balik si wanita tua. Ia lalu mengangkat tubuh kucing itu lalu menyerahkannya kepada Dara.

            “Ini, sebagai gantinya.”

             “Astaga! Apa aku berhalusinasi?”

            “Tidak. Pulanglah. Bawa ia bersamamu. Ia akan menjadi teman yang baik.”

            Perasaan Dara kini seperti es campur yang telah diaduk. Ya, bercampur-campur dan teraduk-aduk. Ia merasa ngeri. Namun kucing itu sangat menawan. Hewan berbulu lebat itu cukup lama ia pandangi dengan mata berbinar. Di sepanjang jalan lembab tak beraspal, Dara menggendong si kucing layaknya bayi. Seperti baru menenggak obat penawar. Ia mendadak lupa dengan segudang kepayahan yang selama ini menjerat lehernya. Yang membuat hidupnya sukar.

            Dara kini menginjak halaman rumahnya. Masih saja ia terpesona dengan keelokan kucing itu. Ia melangkah ke dalam dengan sumringah. Meski tubuhnya basah. Ketika ia tiba di ruang tengah, tempat dimana kejadian tak mengenakkan terjadi beberapa jam lalu, Dara menyaksikan tubuh bapaknya tergeletak di lantai. Terbujur kaku. Darah segar terus mengalir dari kepalanya. Sang ibu tiri, Nyonya Sudrajat pun tampak kikuk. Ketika Dara mendapatinya berada di sana bersama sang bapak.

            “Kau apakan Bapakku?!”

            “Dia mati! Ini salahmu! Polisi akan menangkapmu!”

          Benar saja, tak berselang satu menit, sirine aparat terdengar mendekat. Siap meringkus keparat.

            “Dia! Dia membunuhnya!”

            “Tidak! Dia berbohong! Aku baru saja sampai disini!”

           Kedua tangan Dara kini diborgol besi. Ia tak sudi. Namun tak ada bukti. Jasad bapaknya diamankan polisi. Nyonya Sudrajat pun turut diboyong sebagai saksi. Sementara kucing itu lepas dari dekapan Dara. Namun, ketika mereka hendak pergi, ia bertingkah aneh. Ia berlari ke arah Nyonya Sudrajat, menghidu aroma tubuhnya, lalu menerkamnya dari belakang. Saat itu, Nyonya Sudrajat mengenakan pakaian langsung berwarna gelap. Coklat nyaris hitam.

            “Binatang gila!” pekik Nyonya Sudrajat. Ia menghempas kucing itu ke lantai.

           “Berhenti!” seru Dara seraya mengarahkan kedua telunjuknya ke arah pinggang sang ibu tiri. Meski samar, tampak sekumpulan noda berbentuk abstrak yang hampir mengering di pakaian Nyonya Sudrajat.

           Sebuah pertengkaran hebat telah terjadi ketika Dara pergi beberapa saat lalu. Perkaranya lagi-lagi karena uang. Pak Sudrajat terus didesak oleh istrinya itu untuk mengumpulkan rupiah, yang tentu saja digunakan untuk memenuhi kebutuhannya seorang. Rencananya gagal karena Dara tak sudi dipersunting oleh Jaka. Membuat pikirannya semrawut. Gelap mata, tak sengaja ia mendorong Pak Sudrajat hingga tengkuknya menghantam sudut meja dan terjatuh dari kursi roda. Ia sempat memegang kepala suaminya itu beberapa detik untuk memastikan keadaannya. Namun, ia tak lagi bernyawa. Sedikit darah segar menempel di telapak tangannya. Merasa panik, tanpa sadar ia membersihkan darah itu dengan pakaiannya. Seperti orang yang terbiasa mengelap tangannya sehabis cuci tangan di baju yang sedang dikenakan. Namun, posisinya di bagian pinggang. Ia lantas menghubungi aparat kepolisian dan mengadu bahwa Dara lah pelaku pembunuhan.

            Gubraaak! Buku-buku bacaan mendadak berjatuhan dari raknya. Berserakan. Seekor cicak rupanya sedang bersembunyi di sana. Berusaha menyelamatkan diri dari terkaman seekor makhluk berbulu lebat. Hewan itu berulah lagi. Mengusaikan cengkerama Dara dengan masa lalunya malam ini.

            “Ah, Mateo. Kau sudah bangun, ya?”

 

Ikuti tulisan menarik Rismahani Ulina Lubis lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler