Dilema Si Penjaga Keseimbangan

Rabu, 8 Desember 2021 10:39 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cerpen ini berlatarkan dunia utopian masa depan tentang seorang pengendali populasi yang mengalami dilema antara hati nurani dan tugasnya menjaga keseimbangan populasi dunia.

Koridor yang dilaluinya dengan hati-hati, gelap, pengap, dan sempit. Dia beberapa kali harus menyesuaikan posisi supaya bahu lebarnya tidak menyenggol hiasan dinding usang di kanan kiri. Ketika hampir mendekati ruangan di ujung koridor, dia mengangkat kedua tangan yang menggenggam senapan listrik setinggi dada. Dia ragu-ragu apakah akan masuk menghadap ke sisi kanan atau kiri ruangan. Salah langkah dan itu akan memberikan targetnya kesempatan menyerang. Jika orang yang diincarnya berhasil merebut senjata dan menjadikannya sandera, operasi kali ini akan berakhir tidak sesuai hukum. Hal terakhir yang diinginkannya menimbang alternatif yang bisa diperoleh oleh targetnya apabila orang itu memilih kerjasama alih-alih melawan.

Merasa percuma meskipun menunggu lebih lama dia tidak akan mendapat petunjuk apapun, sang pria masuk dengan senapan teracung. Akan tetapi dia memilih menghadap sisi yang salah. Sebuah benda keras menghantam belakang kepala sang pria sebelum dia sempat berputar. Sekonyong-konyong dia jatuh tersungkur ke depan, denging memenuhi kepalanya. Kemudian dia merasakan hantaman keras lagi, kali ini di punggungnya. Sekuat tenaga dia mengumpulkan kesadaran lalu membalikkan badan dan menendang kaki targetnya yang tidak siap menerima serangan kencang-kencang, membuat orang itu terjatuh ke sisinya. Matanya mencari-cari senapan listriknya secepat mungkin. Dia merasa beruntung saat menemukan benda itu terlempar tidak terlalu jauh dari posisinya. Cepat-cepat dia mengambil senapan tersebut dan sesaat mendapatkannya, ditembakkannya peluru bermuatan listrik ke targetnya yang baru saja hendak berdiri. Orang itu kejang-kejang beberapa detik kemudian jatuh tak sadarkan diri dalam posisi tengkurap.

Ruangan itu kembali hening seakan hanya dirinya saja yang hidup disana. Seraya berdiri dengan nafas terengah-engah, dia memindai ruangan tersebut, namun kali ini bukan mencari sosok orang dewasa, melainkan seorang anak balita. Dia memeriksa semua perabot, membuka semua yang memiliki pintu, dan mendorong yang membelakangi dinding, untuk mencari anak yang bersembunyi dengan sangat baik, yang bahkan tidak menjerit ketika mendengar keributan perkelahian tadi. Anak itu pasti bersembunyi di suatu tempat di ruangan ini, apabila entah bagaimana berhasil kabur, timnya yang berjaga di luar dan sekeliling bangunan itu pasti sudah mengabarinya. Sekelebat firasat bahwa targetnya telah membius si anak dan menyembunyikannya di tempat khusus, terlintas di benaknya. Diraba dan diketuknya dinding di sepanjang ruangan itu. Setelah menyusuri setengah ruangan, akhirnya dia menemukan dinding yang tidak meredam bunyi ketukan. Sang pria lantas meraba sekelilingnya, mencari-cari tombol. Kelegaan memenuhi benaknya seketika tangannya menemukan tombol tersembunyi. Dia menekan tombol itu lalu sebagian dinding terbuka dengan seorang anak balita tertidur pulas di dalamnya.

**************

Sang pria duduk di atas kap mobil dinasnya sambil menempelkan kantong kompres ke belakang kepalanya. Bagian pekerjaannya sudah selesai, dia berhasil mengamankan targetnya, si ibu, dan menemukan si anak balita tanpa membuat kericuhan yang signifikan. Kini giliran timnya untuk menginspeksi lokasi kejadian dan membawa si ibu dan anak balitanya ke kantor pengendalian populasi. Rasa prihatin timbul saat dia melihat dari kejauhan tubuh si ibu dan balita yang digotong dengan tandu terpisah ke bagasi mobil van hitam milik departemen pengendalian populasi.

“Jangan memunculkan wajah itu karena mereka. Kita tahu yang dilakukan wanita itu ilegal. Kau baik-baik saja, kan?” Sapa petugas wanita yang merupakan atasannya itu seraya duduk disamping sang pria.

“Ya, Ketua. Hanya saja jika dia langsung menyerahkan diri, pengadilan akan lebih lembut kepadanya. Juri mungkin saja menaruh rasa prihatin dan pada akhirnya keduanya bisa hidup.” Ucap sang pria menerangkan kegundahannya.

“Mungkin saja, tapi lebih bijak jika dia tidak pernah berniat melahirkan anak. Dia tahu hal itu ilegal dan tetap melakukannya. Para pembuat anak itu kepalanya sudah tidak beres sejak awal. Mengasihani dan membebaskan mereka sama saja membiarkan masalah tidak akan pernah terselesaikan.” Jawab si atasan dengan nada ketus.

“Aku tidak bisa lebih setuju denganmu.” Ucap si pria mengakhiri percakapan. Pandangannya mengenai pengendalian populasi yang tidak pernah sejalan dengan si atasan membuat sang pria menjadi enggan melakukan percakapan berkepanjangan dengan wanita itu mengenai hal tersebut.

“Kerjamu barusan sangat bagus. Dua kali unit pemeriksa sudah digerakkan untuk mengkonfirmasi laporan tetangga sebelum perintah penangkapan dan mereka tidak menemukan tanda anak kecil setiap kali kesana. Jika bukan karena ada tetangga yang berhasil merekam tangisan anak itu, akan sulit bagi kita untuk melakukan penangkapan.” Wanita itu berhenti sebentar menatap mobil van yang mengangkut si ibu dan anak meninggalkan lokasi. “Sempat ada desas-desus bahwa para pembuat anak terkadang membius si anak agar tetap diam saat ada pemeriksaan. Tapi harganya sangat mahal dan tidak pernah ada bukti bekas alat suntik jadi kami berasumsi mereka tidak menggunakannya karena tidak mampu membelinya. Keberhasilan penangkapan ini akan memberikan informasi baru bahwa mereka dibantu oleh pihak tertentu. Kau tau, menimbang kita tidak pernah berhasil memeras informasi dari salah satunya.”

“Senang bisa membantu Ketua.” Tanggap si pria singkat. Dia memberikan senyuman lemah kepada si atasan untuk menunjukkan rasa terima kasih atas apresiasinya lalu kembali memperhatikan pekerjaan timnya dari kejauhan.

“Aku akan berbicara kepada Kepala untuk memajukan jadwal pemberian serum peremajamu beberapa tahun agar kinerjamu terus maksimal. Anggap saja sebagai bonus tahunan. Pulang dan istirahatlah, aku bisa menangani administrasinya sendiri. Kau sudah cukup baik memainkan peranmu.” Si atasan wanita bangun sambil menepuk punggung pria itu lalu bergabung dengan tim.

Memang sudah sangat ingin sekali berbaring, sang pria tidak berlama-lama menunggu timnya menyelesaikan tugas dan langsung meninggalkan lokasi. Dia masuk ke mobil, menyalakan mesinnya, dan menerbangkannya dengan kecepatan tinggi melewati awan yang menjadi pembatas antara kawasan kumuh dan kawasan metropolis. Kemudian dia menyetir mobil menuju apartemennya. Di dalam pikirannya saat ini hanya satu, dia perlu tidur panjang untuk mengusir rasa gusar di hatinya yang muncul setiap kali selesai melakukan penangkapan.

**************

Di waktu istirahat siang, sang pria izin ke atasannya mengunjungi apotek di kawasan di bawah awan untuk membeli obat maag karena apabila dia membeli di supermarket metropolitan, akan menghabiskan waktu lama. Dengan ditemukannya kemungkinan terdapat organisasi atau orang penting di bidang kesehatan yang membantu para pembuat anak, departemennya menjadi sangat sibuk. Belakangan dia bekerja lembur dan tidur larut malam sehingga sering tidak sarapan karena bangun kesiangan. Akibatnya, perutnya yang memiliki riwayat panjang dengan sakit maag, mulai menunjukkan gejala terserang lagi.

Mantel dan pakaian serba hitamnya sedikit menimbulkan ketegangan di apotek itu saat dia masuk, namun ketiadaan lencana membuat orang-orang di sana kembali tenang dan melanjutkan pencarian mereka. Disaat dia menelusuri pajangan toko, tak sengaja didengarnya percakapan yang mencurigakan. Seorang wanita muda bertanya kepada pelayan toko apakah obat yang sedang digenggamnya aman dikonsumsi oleh anak anjing. Pelayan yang ragu-ragu menjawab obat tersebut untuk manusia bukannya binatang namun si wanita berdalih dia tidak memiliki cukup uang untuk memeriksakan anak anjingnya ke dokter hewan. Dengan menjaga lagaknya senormal mungkin, sang pria bergeser ke sisi kanan untuk dapat melihat obat yang digenggam si wanita muda, yang ternyata obat demam. Si pelayan kemudian menyerah dan mengatakan si wanita bisa memberikan sepertiga sendok kepada anjingnya. Si wanita mengucapkan terima kasih lalu menuju kasir.

Mengambil asal obat dihadapannya, sang pria kemudian pindah ke rak obat-obatan dekat pintu keluar, berpura-pura menelusuri obat yang terpajang. Yang semakin menambah kecurigaan pria itu adalah sikap si wanita yang sangat kikuk, percampuran antara gugup karena takut dicurigai dan panik. Selama hidupnya yang lebih dari seabad, dia tidak pernah menemukan seseorang yang begitu khawatir karena hewan peliharaannya sakit. Sikap demikian hanya muncul kala seseorang yang begitu berharga sedang tidak baik-baik saja. Selesai membayar, si wanita muda dengan cepat keluar dari toko lalu mengendarai vespa terbang. Segera sang pria mengikuti si wanita dengan tetap menjaga jarak yang wajar. Mobil dinas petugas pengendali populasi disamakan dengan detektif kepolisian, tanpa tanda khusus dan jenisnya bermacam-macam sehingga bisa digunakan dalam pengintaian mendadak.

Sang pria baru hendak menyusul si wanita yang belok ke kiri di balik bangunan tapi langsung memundurkan mobilnya ketika mendapati wanita itu memarkirkan vespa di tepi sebuah rumah yang terbengkalai. Dia menunggu di dalam mobil sebentar lalu turun. Perlahan dia berjalan menuju lahan terbuka, senapan disembunyikan di balik jubah. Sewaktu dia mengintai dari balik bangunan, sekelebat terlihat sosok si wanita dari balik jendela rumah. Tampaknya wanita itu tidak mengira dirinya diikuti.

Kayu reyot berderak saat sang pria menaiki undakan tangga. Beberapa saat kemudian terdengar bunyi pintu kayu ditutup beberapa kali dari dalam rumah,  si wanita sudah mengetahui keberadaannya. Seraya memasuki rumah, sang pria mengambil senapan kemudian menyusuri rumah itu sampai ke dapur. Dia menemukan si wanita berdiri dengan raut panik dan ketakutan membelakangi wastafel. 

Ketika mendapati sang pria membawa senjata, dia mengangkat kedua tangannya. “Aku warga terdaftar, bisa kubuktikan dari identitasku. A..aku kehilangan pekerjaan dan diusir dari apartemen.” Ucapnya terbata-bata.

Pancaran ketakutan di mata wanita muda itu menusuk hati sang pria. Dia menurunkan senjatanya. “Tak apa, aku disini bukan untuk menahan siapapun. Kau bisa menurunkan tanganmu.” Ucapnya berusaha membuat si wanita merasa aman. Ragu-ragu, si wanita menuruti ucapan sang pria dan ekspresinya menjadi lebih tenang. “Aku mendengarmu di apotek menanyakan obat demam untuk anjing tapi aku tidak menemukannya disini. Yang dibawah situ anakmu, kan?” Tanya sang pria dengan nada selembut mungkin.

Tubuh dan ekspresi si wanita kembali menegang. “Tolong tinggalkan kami. Jika kau tidak berniat menangkap siapapun, tolong biarkan kami hidup.” Pinta si wanita dengan suara pecah namun tegas.

Dalam benaknya, sang pria memuji sikap tenang dan keberanian wanita dihadapannya. “Anakmu sedang demam, tidak baik menyekapnya di ruang sempit.” Sang pria menunggu si wanita mempercayainya kemudian mengambil si anak. Ada segelintir keinginan di hati kecilnya untuk melihat anak wanita itu. Tanpa sadar, dia terus menatap penuh harap ke lemari di bawah wastafel.

Raut wajah dan tatapan sang pria membuat si wanita menyadari bahwa pria itu sungguh-sungguh dalam ucapannya. Entah apa yang ada dipikiran sang pria atau peristiwa yang membuatnya seperti itu, namun si wanita dapat merasakan sang pria tidak akan menyakiti mereka. “Apakah kau berniat memiliki anak?”

Sang pria tertegun ketika si wanita mengucapkan pertanyaan itu. Kata-kata sederhana itu menyentuh dilema yang telah lama bersarang di lubuk hatinya. “Tidak, aku tidak berniat melakukannya. Hanya saja…” Sang pria tidak melanjutkan kata-katanya.

“Yang kami lakukan bukan sebuah dosa. Ini yang seharusnya dilakukan manusia bukannya menjadi sangat mencintai diri sampai berusaha hidup selamanya.” Ucap si wanita memberanikan dirinya. Ini kesempatannya mengutarakan pendapat agar hati nurani sang pria benar-benar terubah. “Sama sepertimu aku sudah hidup lebih dari seratus tahun. Terlalu banyak hal yang aku lihat tanpa memberi arti karena aku tahu aku bisa selama yang aku mau. Tapi itu bukanlah inti hidup. Tanpa waktu yang terbatas kita menjadi lupa menghargai, kita kehilangan arti mencintai. Mata manusia seharusnya penuh kehidupan, sangat cerah, dan dipenuhi keyakinan. Tidak mati seperti matamu, seperti mataku dulu.” Si wanita berhenti kemudian membuka lemari dibawah wastafel dan meminta anaknya keluar. Sang pria tersenyum ketika mendapati seorang anak laki-laki pucat muncul dari lemari. Anak itu menatap balik sang pria dengan ragu dari balik rok ibunya. “Namanya Kevin. Dia tujuh tahun sekarang. Ketika aku melahirkannya aku tahu, aku tidak lagi membutuhkan cairan peremaja. Aku akan hidup untuk membesarkannya dan setelah itu dengan senang hati memberikan tempatku untuknya.”

Hati sang pria tidak pernah terasa seringan dan sebahagia saat itu. Dunianya yang sebelum itu nampak abu-abu dan usang seakan menjadi penuh warna. Akan tetapi, momen tersebut tidak bisa dinikmatinya dalam waktu lama. Suara derak kayu terdengar dari bagian depan rumah itu. Sang pria menempelkan jari di bibirnya, mengisyaratkan kepada si wanita dan si anak untuk tetap tenang. Dia berbalik badan, bersiap menghadapi siapapun yang masuk ke rumah itu.

Sosok atasannya muncul dari balik dinding. Tatapan wanita itu berulang kali berpindah dari sang pria, si wanita muda, lalu si anak kemudian terkunci kepada si pria lagi. Seketika mendapati posisi sang pria yang mengacungkan senjata kepadanya, tanpa perlu penjelasan dia dapat menyimpulkan situasi tersebut.

Kedua petugas itu saling menatap dan tidak bergerak beberapa waktu. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat, keduanya menembakkan peluru ke masing-masingnya. Peluru sang pria mengenai si atasan tepat di jantungnya, namun peluru si atasan meleset. Sang pria kemudian menarik si wanita dan si anak keluar melewati tubuh tak sadarkan diri si atasan dan menggiring mereka menuju mobilnya. Ketiganya masuk ke mobil lalu sang pria menyetirnya terbang melewati awan.

“Kemana kita akan pergi?” Tanya si wanita khawatir sambil memeluk putranya.

Sang pria menatap dengan mata yang kini penuh keyakinan kepada si wanita, seakan daya kehidupan ditiupkan ulang kedalamnya. “Kemana saja yang kita bisa.”

Si wanita menanggapinya dengan anggukan kepala. Dia mengelus kepala dan memeluk lebih erat tubuh putranya sambil melontarkan senyuman sehangat matahari kepada sang pria.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Prabandari Nur Fauziah

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Dilema Si Penjaga Keseimbangan

Rabu, 8 Desember 2021 10:39 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua