x

Iklan

Ulis Khanani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 7 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 13:07 WIB

Lili dan Bakung

Anak-anak kampung yang menganggap perilakunya benar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Desa Candiawan adalah sebuah desa yang subur yang memiliki sawah dan kebun yang terhampar luas. Mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani tradisional. Mereka bercocok tanam dengan menyesuaikan musim, karena belum adanya irigasi. Kampung Tegalsari adalah salah satu kampung di desa Candiawan. Tidak terjangkaunya aliran listrik dan alat elektonik (televisi) yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil penduduk di kampung tersebut, menjadikan anak-anak kampung Tegalsai setelah pulang sekolah mengisi waktu dengan melakukan permainan tradisional bersama (yang tidak memerlukan alat untuk memainkannya, seperti: petak umpet, gobak sodor, engklek, jamuran, kepiting cina atau yang memerlukan alat untuk memainkannya, seperti bola bekel, kelereng, lompat tali karet, egrang, gasing, ketapel, dam-daman, yoyo dan lainnya) atau membantu orang tua sesuai kemampuan mereka.

Musim panen padi telah selesai. Kebanyakan petani membiarkan sawah begitu saja, karena musim hujan belum datang, sehingga banyak tanaman yang tumbuh liar di sawah. Ada sebagian petani yang berspekulasi menanam palawija (seperti cabe, terong, bayam, kacang panjang, kacang tanah, ubi rambat, singkong, talas, kedelai, kacang hijau, jagung dan lainnya), dengan harapan bisa memanen sebelum musim hujan tiba.

Lily dan Bakung setelah pulang sekolah berencana untuk pergi bersama ke sawah yang terletak di belakang kampung mereka, untuk mencari tanaman (daun Kremah dan lainnya). Ketika mereka berjalan untuk berangkat, mereka melihat Tulip yang sedang duduk sendiri di depan rumahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lily: “Tulip, ayo ikut kita ke sawah. Nanti di sana kita akan memetik daun Kremah yang bisa dibuat sayur oleh ibu kita untuk makan malam.” (Biasanya dimasak sederhana dengan diresbus, kemudian dcampur/diurap dengan parutan kelapa yang sudah diberi berbagai bumbu masakan)

Bakung: “Iya, Tulip. Ayo ikut kita ke sawah.”

Tulip: “Benar hanya memetik daun Kremah saja?”

Lily dan Bakung: “Iya benar, jawab keduanya sambil menganggukkan kepala meyakinkan Tulip.”

Tulip: “Baiklah, aku ikut. Sebentar aku izin dulu sama ibuku ya?”

Lily dan Bakung: “Iya.”

Tulip segera masuk ke rumah dan menemui ibunya.

Tulip: “Bolehkah aku ikut bersama Lily dan Bakung untuk ke sawah memetik sayuran Bu?”

Ibu Siti: “Boleh, Nak. Tetapi setelah selesai segera pulang ya, karena kamu baru sembuh dari sakit.”

Tulip: “Iya Bu, insyaAllah. Tulip berangkat Bu, Assalamu’alaikum ...” (sambil mencium tangan ibunya).

Ibu Siti: “Wa’alaikumussalam ..., Hati-hati Nak ...”

Tulip: “Iya Bu ...,” (sambil berjalan keluar rumah menemui temannya). “Ayo berangkat, aku sudah izin sama ibuku. Tanpi nanti setelah selesai harus segera pulang.”

Lily dan Bakung: “Oke, kita berangkat.”

Tulip bersama Lily dan Bakung dengan memakai pelindung kepala sederhana dan bersandal jepit segera menuju ke sawah. Mereka membawa tas plastik untuk tempat sayuran yang dipetik.

Setelah melewati jembatan kayu (yang mulai lapuk) di atas sungai (yang terlihat kering) yang memisahkan kampung dengan sawah, mereka segera menuju ke petak sawah yang banyak tanamannya. Selain mereka, di sawah juga ada penggembala kambing, sapi dan kerbau yang mengawasi hewan peliharaannya memakan rumput. Sambil bercanda, mereka memilah dan memetik tanaman yang dapat dijadikan sayuran di antara tanaman lain yang tumbuh liar.

Tulip: “Apa ini termasuk jenis daun Kremah?” Tanya Tulip kepada Lily dan Bakung yang sudah sering pergi ke sawah.

“Bukan ...,” jawab Lily dan Bakung secara serempak sambil berebut memetik tanaman tersebut yang terlihat subur.

Tulip dalam hatinya merasa kaget melihat kedua temannya menjawab tidak jujur dengan tanpa perasaan berdosa, demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tulip bertanya karena selama ini yang dia tahu hanya satu jenis daun Kremah. Ternyata di sawah tumbuh beberapa jenis daun Kremah yang batangnya lebih besar dan subur. Mereka bertiga kembali melanjutkan memilah dan memetik sayuran. Tulip memilah dan memetik tanaman yang dapat dimakan tanpa bertanya lagi kepada Lily dan Bakung.

Setelah dirasa cukup mendapatkan sayuran, maka mereka bertiga sepakat untuk pulang. Tulip bertanya dalam hati, kenapa mereka berdua melewati jalan yang berbeda saat berangkat. Ketika sampai di kebun Jeruk yang pintu pagarnya terbuka, Lily dan Bakung dengan cekatan segera memetik beberapa buah Jeruk dan disembunyikan di sela-sela sayuran.

Bakung: “Ayo Tulip, cepat petik ... sebelum ketahuan pemiliknya!”

Tulip tetap diam saja, tidak menjawab dan tidak ikut memetik buah jeruk. Tanpa disangka datanglah Paman Udin pemilik kebun yang sedang memikul pupuk.

“Hayoo ... kalian mencuri Jeruk ya,” kata Paman Udin.

“Tidak ... (jawab Lily dan Bakung berbarengan). “Kami hanya lewat sini setelah mencari memetik sayuran dalam tas plastik ini” (sambil bergegas meninggalkan Paman Udin).

“Awas kalau kalian bohong ...,” sergah Paman Udin seakan tidak percaya apa yang mereka katakan.

Dalam pejalanan pulang, Tulip baru menyadari kenapa Lily dan Bakung begitu bersemangat untuk pergi ke sawah. Lily dan Bakung memakan buah Jeruk yang berhasil dipetik dengan perasaan bangga bahwa mereka berhasil mengelabuhi Paman Udin. Mereka makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, tidak memperhatikan kebersihan makanan, makan sambil berjalan dan bercakap-cakap serta membuang sampah dan sisa makanan sembarangan. Apalagi membaca do’a sebelum makan, sama sekali tidak dilakukan oleh Lily dan Bakung.

Lily: “Kamu sih Tulip, tadi tidak cepat ikut memetik jeruknya. Jadi keburu Paman Udin datang. Padahal jeruknya manis sekali. Iya kan Bakung ...”

Bakung: “Iya betul, Jeruk yang kemarin kita petik agak asam, karena pagarnya tertutup sehingga tidak bisa memetik jeruk yang sudah sudah tua di dalam kebun. Heemm manisnya ...”

Mendengar ucapan mereka, Tulip hanya diam saja. Sampai di depan rumah Tulip, mereka masih memakan Jeruk. Dari dalam rumah Ibu Tulip melihatnya lalu keluar dan bertanya.

Ibu Siti: “Kalian makan jeruk dari mana? Katanya memetik sayuran, kok makan jeruk?”

Lily dan Bakung gelagapan menjawab pertanyaan Ibu Siti. Kemudian Tulip menceritakan apa yang telah terjadi di sawah dan selama perjalanan pulang.

Ibu Siti: “Lily, Bakung ... Islam agama kita melarang untuk berbohong dan mencuri, karena itu perbuatan dosa. Sebagai anak salihah kalian tidak boleh melakukannya.”

Lily dan Bakung: “Iya bu, maafkan kami.”

Ibu Siti: “Sudah berapa kali kalian mencuri jeruk Paman Udin?”

Lily: “Dua kali Bu .. , kami ingin sekali memakan buah jeruk yang manis, karena orang tua kami tidak pernah membelinya.”

Ibu Siti: “Astaghfirullaahal’adzim ... kalian harus bertaubat.”

Lily dan Bakung: “Iya Bu, kami tidak akan melakukan lagi, kami janji akan bertaubat.”

Ibu Siti: “Minta maaflah sama Tulip dan Paman Udin, juga orang tua kalian.”

Lily dan Bakung: “Maafkan kami Tulip. Kami telah berbohong kepadamu. Kami berjanji tidak akan mengulanginya.”

Tulip: “Iya, kalian pasti bisa menjadi anak yang punya etika dan anak yang jujur.”

Bakung: “Tapi Bu, kami takut dimarahi Paman Udin dan orang tua kami.”

Ibu Siti: “Lily ... Bakung ... Kalian harus belajar bertanggungjawah terhadap perbuatan yang kalian lakukan. Jika mau bertaubat secara sungguh-sungguh maka harus mendapat maaf dari orang yang dirugikan karena perbuatan kita. Kalaupun kalian akan dihukum, maka harus dijalani dengan sabar dan ikhlas. Jika kalian meminta maaf dengan baik-baik, menunjukkan sikap menyesal dan akan bertaubat dengan sungguh-sungguh, insyaAllah Paman Udin dan orang tua kalian akan memaafkan dan tidak marah.”

Lily dan Bakung: “Baik Bu. Sesampainya di rumah, kami akan meminta maaf kepada orang tua kami. Besok sore kami akan meminta maaf kepada Paman Udin di kebun.”

Kemudian Lily dan Bakung berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing.

Ikuti tulisan menarik Ulis Khanani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler