Hari Santri 2025 – Peran Santri dalam Mengawal Bangsa dan Peradaban

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Santri bukan hanya penjaga kitab, tetapi juga penjaga masa depan bangsa
Iklan

Dari pesantren untuk peradaban: santri masa kini menjaga nilai, menebar ilmu, dan menggerakkan Indonesia menuju 2045.

***

Setiap tanggal 22 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri Nasional — sebuah momentum yang bukan sekadar seremoni, tetapi perenungan mendalam atas kontribusi kaum santri bagi tegaknya republik ini. Gema Resolusi Jihad yang dikumandangkan KH. Hasyim Asy’ari pada tahun 1945 telah menandai satu babak penting dalam sejarah bangsa: bahwa perjuangan menegakkan kemerdekaan tidak hanya diukur dari kekuatan senjata, tetapi juga dari keteguhan iman, keikhlasan niat, dan kecintaan terhadap tanah air.

Kini, setelah delapan dekade merdeka, semangat jihad para santri tak lagi terwujud dalam pertempuran fisik, melainkan dalam medan ilmu, moral, dan teknologi. Hari Santri bukan sekadar nostalgia masa lalu, melainkan kompas spiritual bagi masa depan peradaban.

1. Santri dan Jejak Sejarah Kebangsaan

Santri selalu hadir dalam setiap fase perjuangan Indonesia. Dari perjuangan melawan kolonialisme hingga fase pembangunan pascakemerdekaan, kaum santri menjadi tulang punggung moral bangsa. Mereka belajar di pesantren, tetapi pikirannya melintasi batas dinding pesantren — menjadi penjaga nilai dan pendorong perubahan sosial.

Penetapan Hari Santri Nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 menjadi bentuk pengakuan negara atas peran historis itu. Santri bukan sekadar komunitas religius, melainkan kekuatan sosial yang melahirkan tokoh-tokoh nasional: KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, hingga Gus Dur. Mereka membuktikan bahwa pendidikan berbasis pesantren mampu melahirkan insan ulul albab — berilmu, berakhlak, dan berdaya ubah.

Secara filosofis, Hari Santri mengandung pesan penting: bahwa agama dan kebangsaan bukan dua hal yang berlawanan, tetapi saling menyempurnakan. Islam yang hidup di pesantren adalah Islam yang memuliakan tanah air dan kemanusiaan. Itulah ruh hubbul wathan minal iman — cinta tanah air sebagai bagian dari iman.

2. Dari Sarung ke Layar: Santri dan Transformasi Digital

Perjalanan santri kini menempuh arah baru. Jika dulu mereka menimba ilmu dari kitab kuning di bawah cahaya lampu minyak, kini mereka membaca kitab digital di layar gawai. Transformasi digital tidak menghapus nilai-nilai klasik, tetapi menuntut reinterpretasi.

Pesantren hari ini mulai beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan zaman. Pembelajaran daring, literasi digital, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) telah masuk ke ruang kelas pesantren. Santri tidak hanya diajarkan nahwu-sharaf, tetapi juga digital literacy, desain grafis, dan kewirausahaan berbasis syariah.

Beberapa pesantren bahkan meluncurkan program Santri Digital Preneur — mengajarkan ekonomi kreatif berbasis nilai-nilai Islam. Ada pula pesantren hijau yang memelopori eco-pesantren, mengintegrasikan ekologi, spiritualitas, dan sains. Semua itu menunjukkan bahwa santri bukan kelompok tertinggal, tetapi pionir inovasi yang berpijak pada tradisi.

Namun, di balik kemajuan ini, ada tantangan besar: bagaimana menjaga adab al-‘ilm di tengah derasnya arus informasi? Bagaimana santri tetap mengedepankan tawadhu’ di era ketika pengetahuan terasa instan? Di sinilah pentingnya menanamkan nilai etika digital (akhlaq al-raqmi) agar literasi teknologi tidak mengebiri kesadaran spiritual.

3. Peran Santri dalam Mengawal Bangsa

a. Penjaga Moral di Tengah Krisis Nilai

Bangsa Indonesia tengah menghadapi krisis moral dan disorientasi nilai. Korupsi, ujaran kebencian, dan dekadensi etika publik menjadi tantangan serius. Dalam situasi demikian, santri hadir sebagai penjaga akhlak bangsa.
Mereka mewarisi warisan spiritual dari para kiai: kejujuran, kesederhanaan, dan keikhlasan. Di tengah masyarakat yang sibuk mengejar prestise, santri mengingatkan makna keberkahan. Di tengah kegaduhan politik, santri menjadi suara kesejukan.

Peran ini amat penting karena membentuk keseimbangan antara ilmu dan nilai, antara rasionalitas dan moralitas. Di banyak daerah, santri menjadi mediator sosial yang menghubungkan elite dan rakyat, agama dan kebangsaan, lokalitas dan globalitas.

b. Kontributor Intelektual dan Sosial

Selain peran moral, santri juga mulai tampil sebagai kontributor intelektual. Banyak alumni pesantren kini menjadi dosen, peneliti, dan pemimpin lembaga pendidikan tinggi Islam. Mereka menulis jurnal, melakukan riset sosial-keagamaan, dan menjadi bagian dari komunitas ilmiah global.

Santri masa kini bukan hanya ahli fiqih, tetapi juga ilmuwan sosial, pakar teknologi, dan aktivis lingkungan. Mereka membawa semangat ijtihad ke ruang publik yang lebih luas — menjawab persoalan kemanusiaan dengan pendekatan ilmiah dan spiritual.

Dalam konteks ini, pesantren dan perguruan tinggi Islam seperti IAI Al-Aziz, UIN, maupun Ma’had Aly memiliki tanggung jawab strategis: mencetak santri yang raṣikhūna fi al-‘ilm (kokoh dalam ilmu) sekaligus mujtahidūna fi al-‘amal (inovatif dalam amal).

c. Santri dan Moderasi Beragama

Salah satu kontribusi terbesar santri adalah menjadi wajah Islam moderat (wasathiyyah). Ketika ekstremisme dan polarisasi ideologis mengancam, pesantren menjadi benteng moderasi dan toleransi.
Nilai-nilai tasamuh, tawazun, dan tawassuth yang diajarkan kiai adalah fondasi sosial yang menyejukkan negeri ini. Karena itu, peran santri tidak hanya domestik, melainkan juga global — menjadi duta perdamaian yang memperkenalkan Islam rahmatan lil-‘alamin ke dunia.

4. Santri dan Tantangan Peradaban Baru

Di era kecerdasan buatan dan disrupsi sosial, tantangan santri tidak ringan. Dunia berubah cepat, tetapi nilai tidak boleh luntur. Ada tiga tantangan utama yang perlu dihadapi:

  1. Tantangan epistemologis: bagaimana mengintegrasikan ilmu agama dan sains modern tanpa kehilangan makna spiritual?

  2. Tantangan moralitas digital: bagaimana menjaga etika dan integritas di dunia maya yang sering tanpa batas?

  3. Tantangan kemanusiaan global: bagaimana nilai-nilai pesantren bisa memberi kontribusi pada perdamaian, ekologi, dan keadilan sosial dunia?

Untuk menjawab tantangan itu, santri harus mengembangkan tiga pilar baru pembelajaran:
(1) Ngaji — memperdalam ilmu agama secara mendalam dan berkelanjutan.
(2) Nalar — mengasah kemampuan berpikir kritis, ilmiah, dan reflektif.
(3) Aksi — menerapkan ilmu dalam kerja sosial, dakwah kreatif, dan inovasi kemasyarakatan.

Pendidikan santri abad ke-21 harus bergerak ke arah Cognitive–Affective–Spiritual Integration (CASI) — yaitu menyatukan daya pikir, rasa, dan iman dalam proses belajar. Dengan integrasi ini, santri tidak hanya pintar, tetapi juga berjiwa dan berakhlak.

5. Santri, Perempuan, dan Keluarga Bangsa

Ketika membicarakan santri, kita tak boleh melupakan peran santriwati. Perempuan pesantren adalah ibu peradaban — penjaga moral generasi dan penyalur kasih dalam pendidikan.
Di banyak pondok, santriwati kini menjadi motor perubahan: mereka menulis, memimpin organisasi, dan bahkan menjadi inovator sosial. Di tangan mereka, nilai-nilai pesantren menyebar ke ruang domestik dan publik.

Peran perempuan santri inilah yang akan memastikan keberlanjutan moral bangsa. Mereka mendidik anak-anak dengan nilai tawadhu’, amanah, dan tanggung jawab. Mereka menanamkan spiritualitas yang membentuk ketahanan keluarga — pondasi pertama peradaban bangsa.


6. Dari Pesantren untuk Peradaban

Hari Santri 2025 bukan sekadar ajang berpakaian seragam putih-sarung atau mengibarkan bendera di halaman pesantren. Ia adalah momentum reflektif untuk meneguhkan kembali jati diri santri: pembelajar sepanjang hayat, penjaga nilai, dan pengawal peradaban.

Peradaban masa depan tidak hanya ditentukan oleh siapa yang memiliki teknologi, tetapi siapa yang memiliki etika dan hikmah. Dan di sinilah letak kekuatan santri: kemampuan untuk menyatukan ilmu dengan adab, akal dengan hati, dunia dengan akhirat.

Sebagaimana pesan Imam al-Ghazali, “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.”
Maka, di era ketika pengetahuan begitu melimpah, santri dituntut menghadirkan hikmah — kebijaksanaan yang menuntun kemajuan tanpa kehilangan nurani.

Penutup

Hari Santri 2025 memberi kita pesan sederhana namun mendalam: Bangsa yang besar adalah bangsa yang santrinya tak pernah berhenti belajar, berbuat, dan berbakti.
Santri masa lalu menumpahkan darah untuk kemerdekaan. Santri masa kini menumpahkan ilmu dan karya untuk kemajuan.
Maka marilah kita rayakan Hari Santri dengan memperkuat tekad: menjadi santri yang berilmu luas, berakhlak mulia, dan berjiwa kebangsaan — agar Indonesia terus tumbuh sebagai bangsa berperadaban, rahmatan lil-‘alamin.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler