x

Iklan

Muchid Albintani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 22:47 WIB

Cerpen: Tuan Bing-Cod

Cerita pendek ini mengisahkan terjadinya perbedaan perspektif cara memahami makhluk tak kasat mata. Makhluk ini dianggap menjadi punca dari seluruh permasalahan yang ada sepanjang lebih kurang dua tahunan ini. Walaupun berbeda pandangan namun akhirnya mereka bersepakat walaupun tanpa aklamasi jika makhluk ini dapat dijadikan sebagai kambing hitam ke atas semua berbagai persoalan yang terjadi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Buat apa menyesali yang sudah terjadi. Mereka itu spekulan. Pembisnis besar. Mereka pendukung eskatologi akhir zaman. Sekarang tergantung dari kemampuan dan analisis. Kemampuan siapa? Siapa pula yang menganalisis? Benar. Kemampuan dan analisis itulah tolak ukur menyelamatkan bangsa sekaligus negeri ini. Penyelamatan dimulai dari rasa kepekaan terhadap sebuah bangsa. Kepekaan itu pula bagian penting dari mengingat-ulang ihwal perjuangan pahlawannya.

            Suatu saat kemarin dulu itulah yang selalu dikatakannya. “Jangan menjadi pengkhianat. Pahlawan hari ini adalah mereka semua orang-orang yang peduli. Mereka saja para pengkhianat peduli untuk merusak negeri ini. Mengapa orang yang mendiami di negerinya, justru tidak peduli? Mengapa?”, berulang kali dikatakannya kepada Saya. Entah apa maksudnya, Saya tidak tahu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Sudah berulang kali disampaikannya. Walaupun dalam diskusi tidak resmi. Peristiwa ini hanya pengulangan jadwal. Untuk menjaga kegagalan yang melibatkan lembaga pendidikan seperti universitas, dan lembaga penelitian. Tujuannya agar menjadi lebih bergengsi. Untuk menjaga wibawa. Yang penting anggarannya tersedia. Tidak terbatas. Agar tidak kelihatan samarannya. Tentu saja di belakangnya ada Yayasan.

            “Begitulah permainannya, agar jangan mengulangi kegagalan,” katanya kepada Saya lagi.

            Sebelumnya tahun 2005 rencana tersebut digagalkan.  Seorang perempuan paruh baya yang memimpin sebuah kementerian kesehatan berupa-usaha menolak. Semula banyak yang mempertanyakan penolakan tersebut, walaupun akhirnya mengakui dan mengikuti. Biasalah pak turut alias taqlid buta. Apa kata mereka saja. Tidak pernah mempersoalkan siapa sebenarnya mereka. Siapa yang berada di belakang mereka. Mengapa ada anggaran yang tidak terbatas.

            Untuk kedua kalinya pada 2009, rencana mereka gagal. Negara-negeri yang tergabung dalam sebuah united yang terdiri dari hampir 40 negera mempertanyakan. Sebenarnya terkesan kecurigaan. Dampaknya rencana tidak dilanjutkan. Jadi sudah dua kali gagal. Logisnya untuk yang ketiga mereka pasti tidak mau gagal lagi.

            Entah mengapa sepuluh tahun kemudian, 2019 rencananya berhasil. Mereka rupanya sudah bertekad tidak mau gagal lagi. Istilah gagal meneh, gagal meneh, tidak ada di kamus mereka. Itulah upayanya wajib ada kolaborasi antara yayasan, lembaga penting dunia, dan perguruan tinggi juga lembaga penelitian bergengsi. Buat perencanaan yang matang. Standar ilmiah akademis versi perguruan tinggi. Anggaran tentu saja sudah tak berbilang. Jumlah uang yang disediakan tak berseri.

            Dari sinilah bermula cerita tentang Tuan Bing-Cod. Mulanya mereka tak percaya, Tuan Bing-Cod berubah. Tuan Bing-Cod bermetamarfosis yang mereka dan kelompoknya selalu menyebut mutasi.  Tuan menjadi kambing. Setelah berubah pun masih terjadi perbedaan pandangan. Di antara mereka saling mengklaim. Ada yang mengatakan warna kulit-bulunya putih. Ada juga yang mengatakan biru. Yang lain lagi mengatakan warnanya ungu, kuning dan merah.

            Riang ria pandangan berbagai warnanya menunjukkan seperti pelangi saja. Tak da satupun yang mengatakan kulit-bulunya berwarna hitam. Seperti Bing Hitam. Walaupun dalam keadaan gelap, tak kelihatan warnanya, tetap saja seperti pelangi. Merah, kuning, biru dan hijau. Hanya saja tidak di langit yang biru. Sungguh heran. Padahal dalam keadaan gelap pastilah kulit-bulunya mengikuti. Otomatis menjadi gelap. Alias hitam. Tetapi mengapa tidak terjadi?

            Keadaan inilah yang menyebabkan jika keberadaan Tuan Bing-Cod membuat mereka resah. Walaupun orang-orang banyak yang sudah tahu. Saya pun tahu jika orang-orang itu hanya pura-pura bodoh. Orang-orang itu takut kepada mereka. Ketakutan dialtari oleh karena mereka menggunakan struktur kekuasaan yang ada. Bukan hanya struktur kekuasaan, rakyat semesta, pengusaha farmasi dunia beserta jaringan media global juga sudah dikuasai.  

            Saya percaya menjadi penyebab sesuatu yang masuk aqal manakala di lingkungan sekitar menciptakan perubahan. Namun, tanpa disengaja atau pun tidak, mereka rasa-rasanya sepakat, tidak ada yang kulit-bulunya berwarna hitam. Artinya, tidak secara langsung disepakati tidak ada yang disebut Bing Hitam. Tetapi begitu matahari mulai menyibakan sinarnya, mereka tetiba saja menjadi ragu. Bukan pada warnanya yang menjadi titik persoalannya.

            Rupanya bukan Tuan Bing-Cod. Mereka mengatakan seperti tikus. Tuan Bing-Cod telah menjadi tikus. Hewan yang selalu dijadikan percobaan. Saya ikut-ikutan menjadi terheran-heran, tidak lama berselang Tuan Bing-Cod berubah pula menjadi beruk. Hewan yang juga selalu menjadi uji coba laboratorium. Saya bertambah menjadi-jadi keheranan. Mengapa Tuan Bing-Cod berubahnya dengan tiba-tiba, secepat kilat, petir, guntur. Mengapa tidak seperti kelalawar atau sejenisnya. Tuan Bing-Cod telah berevolusi. Tuan Bing-Cod bermutasi dengan berbagai ragam variannya. Perubahan terkesan memang seperti ada yang mengarahkan.  Ada yang mengendalikan?

            “Tuan berubah-ubah terus-menerus enggan berhenti. Hanya dalam waktu satu jam-an. Terus berubah-ubah. Tak seperti yang selama ini dijelaskan dalam berbagai studi akademis-ilmiah”, Saya pun terheran-heran.

            Yang selalu menjadi pertanyaan Saya, mengapa Tuan Bing-Cod berubahnya tak pula seperti yang selalu dijelaskan sesuai teori evolusi. Walaupun Saya meyakini jika teori itu tak akan pernah terbukti sampai ke akhir zaman ini. Saya juga selalu menolak untuk meyakini teori itu bahwa menusia berinduk hewan bersandar asal-usulnya. Toh yang ada selama ini manusia menjadi batu. Seperti sebuah legenda di Pulau Sumatera. Namanya Malin Kundang.

            Saya percaya bahwa Tuan Bing-Cod, tak seperti manusia. Sebaliknya, sangat mustahil manusia seperti Tuan Bing-Cod.  “Jadi bulset, manusia berinduk hewan. Kalau manusia diibaratkan berprilaku seperti hewan kera. Itu lain lagi,” gumam Saya dalam hati.

***

Setelah revolusi mutasi, mereka lebih percaya Tuan Bing-Cod hanyalah sebuah istilah bagi sekelompok orang di antara mereka. Percisnya di antara mereka saja. Sekelompok orang yang memanfaatkan jejaring antar mereka untuk menjadi pesohor sekaligus pelopor sebagai pemburu rente.  Mereka mengambil kesempatan di dalam kesempitan. Mereka menusuk dari belakang. Mereka mendepak rekan seiring. Mereka lempar batu sembunyi tangan.

             Mereka secara tidak langsung walaupun selalu membantah, tetap saja orang-orang itu tidak percaya. Saya juga termasuk yang tidak percaya. Hanya saja, orang-orang itu ketakutan. Jujur, Saya juga takut! Saya takut sekali. Bukan takut mati. Saya takut kalau mereka tidak menyadari bahwa Saya tahu merekalah pengkhianatnya.

              “Saya percaya Tuan Bing-Cod hanyalah ciptaan mereka. Begitulah pendapat orang-orang itu. Jadi orang-orang itu sudah tahu,” gerutu dalam hati.

               Tetiba saja dari arah yang tak jelas, ada suara bergemuruh bak puting beliung. Menderu ke telinga semua orang, orang-orang itu tak terkecuali mereka. Rasanya sudah tidak dapat dibantah lagi. Boroknya semakin kelihatan. Sejuta taktik. Saratus ribu ngeles, tidak akan berguna. Apalagi katanya tidak mengambil keuntungan.

               “Berbisnis mustahil tidak mendapat keuntungan!? Omong kosong!?” suara lirih bak angin spoi-spoi menggelitik di setiap telinga orang-orang itu.

        Mula-mula asal-usul Tuan Bing-Cod yang masih diperdebatkan. Belum lagi bentuk morfologisnya yang antara ada dan tiada. Tak kasat mata. Wujudnya ada hanya dalam mikroskop elektron. Itupun hanya segelintir orang yang tahu-paham. Orang-orang itu pasti para peneliti. Negara-negara besar, maju, dan super power pun saling menghindar. Negara-negara itu terkesan ‘lempar batu sembunyi tangan’ jika dihubung-kaitkan dengan kehadiran awal Tuan Bing-Cod.

           Negara-negara barat, timur, utara selatan, selain selalu menghindar juga saling tuduh. Negara-negara hampir di seluruh dunia seperti ‘buang badan’. Enggan dianggap sebagai negara asal Tuan-Bing-Cod. Apalagi menjadi pendukungnya. Herannya, walaupun masih menjadi perdebatan, seolah-olah sebelumnya sudah diketahui akan kedatangan Tuan Bing-Cod. Bahkan wujudnya layak ‘mahkota alam’ samar-samar terdeteksi. Sungguh aneh memang. Novelnya sudah beredar secara luas. Novel yang mengisahkan latar belakang, keluarga dan perjalanan Tuan Bing-Cod. Novelnya laris manis. Sudah dicetak ulang edisi ke-10.

            Sudah berulang kali juga Saya ingin membelinya. Tetapi penerbit selalu mengatakan sudah kehabisan stok. Apalagi belakangan ini banyak orang-orang mencarinya. Saya terus terang penasaran saja.

           “Bagaimana sebuah novel, karya sastra dapat menjelaskan sebuah realita peristiwa,” Saya bertanya dalam hati.

           “Pasti ada sesuatu misi besar yang ingin disampaikan. Atau justru sebenarnya tidak ada. Semua hanya kebetulan. Atau penulisnya bersekongkol dengan mereka. Boleh jadi.  Semua baru dugaan,” gumam Saya dalam hati.

            Walaupun ragu, Saya, orang-orang itu, dan mereka ihwal munculnya berbagai anggapan yang menimbulkan perdebatan, Tuan Bing-Cod adalah solusi strategis untuk melepaskan beban yang teramat sangat berat dari semua ketidakbecusan. Dari semua tuduh-keluhan yang saling melempar kebenar-salahan antar mereka. Bahkan ada pernyataan yang kurang bertanggung jawab. Kehadiran Tuan Bing-Cod bersumber dari sebuah kepemimpinan yang tidak memberikan tauladan.  Sebuah kepemimpinan yang lemah, dan tidak terkoordinasi. Jelas, Saya tidak setuju. Seharusnya, jangan membawa-bawa perihal kepemimpinan.

          Saya tahu. Menghubungkan kehadiran Tuan Bing-Cod yang terus-menerus bermutasi dengan kepemimpinan atau ketauladanan, tidak akan menyelesaikan masalah. Berkali-kali Saya menyarankan silakan saja ditelusuri jejak digital sejak pertama kali kehadiran Tuan Bing-Cod terdeteksi. Di mana? Kawasan mana? Kalau pun di suatu negara, di negara mana? Apa nama negaranya? Negara Barat? Negara Timur? Negara antara Barat dan Timur?

         “Bukankah awal kehadiran selalu menyimpan kodenya dengan konsisten?”, saran Saya kepada orang-orang itu.  

            Kalau pun nanti mereka tidak mau menerimanya. Itu bukan urusan Saya lagi. Yang jelas, berdasarkan fakta hasil investigasi jurnalistik, tidak mudah mereka akan menyanggahnya. Tuan Bing-Cod dapat menjadi perumpamaan baru. Selama ini yang ada kan baru kambing hitam. Padahal kalau saja mereka cerdas. Saat ini tentu saja, mereka tak perlu khawatir lagi. Mereka, orang-orag itu termasuk juga Saya. Atau sesiapa saja yang bermastautin di negeri ini, tak lagi ada yang akan dikambing-hitamkan.

             “Bukankah sudah ada Tuan Bing-Cod”.  

            “Terima kasih Tuan Kambing Covid,” kata mereka dan orang-orang itu kepada Saya. 

 

***@@@@@@***

 

Pekanbaru, akhir November 2021

Ikuti tulisan menarik Muchid Albintani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

7 jam lalu

Terpopuler