x

Iklan

Angga Wiwaha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:03 WIB

Menebus Weton


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Wis, lah. Rika ora cocok karo Ratih. Wetonmu bakal gawa sengsara,” [1] ucap Ki Munadi yang sontak membuatku gusar.

Pamornya sebagai sesepuh desa, pemuka adat, sekaligus keturunan langsung Kyai Mujib, leluhur pendiri desa sama sekali tidak membuatku gentar. Tentu saja. Bagaimana mungkin hubungan yang sudah bertahun ini bisa kurelakan terhempas hanya karena betaljemur, lukmanakim dan bektidjamal[2] yang tidak kupahami jelas maksudnya.  Lebih tegas, aku sama sekali tidak percaya.

Namun aku wajib khawatir. Sebabnya adalah Pak Warno, carik[3] desa sekaligus orang yang seharusnya menjadi calon mertuaku itu sangat percaya pada Ki Munadi. Sial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hari itu berakhir dengan keputusasaanku bersama Ratih, sekar desa yang kucintai siang dan malam. Pak Warno sebenarnya tidak menolakku untuk meminang putrinya. Namun ketika Ki Munadi menentukan hal berbeda, maka bagi ayah Ratih sabdanya itu tidak dapat diganggu gugat. Seolah dia adalah perwakilan Tuhan di desa ini. Itu bagian yang tersial.

“Mas, kita mungkin benar-benar akan berpisah,” ucap Ratih lirih sebelum aku pulang.

“Kenapa bilang begitu? Kamu tidak mau meyakinkan Bapak?”

“Percuma, Mas. Ada yang lebih memaksaku untuk berpisah denganmu.”

“Apa itu?” tanyaku tanpa ingin meninggalkan penasaran yang membunuh.

“Pak Lurah,” sebut Ratih sedu, “dia akan melamarku untuk anaknya.”

Sejenak duniaku seperti sedan dalam pedih yang begitu menyayat. Entah harus kumulai dari mana kerumitan ini. Sebelum limbung, aku harus bertahan dengan sekuat cinta yang kupunya.

Ratih pun menceritakan semuanya. Tentang dirinya, keluarganya dan segala intrik yang dihadapinya. Rumit. Bisa apa aku kecuali berusaha mengerti. Aku jelas mencintainya dalam-dalam, namun berpeluh-payah terkadang membuatku merasa tak bijak juga. Apa lebih baik bersikap realistis dan tidak memaksakan diri. Mungkin memang Ratih belumlah jodoh yang Tuhan kirimkan. Aku bersiap pasrah untuk melepasnya, jika saja hari itu tak diakhiri dengan air mata. Ratih menangis. Dan itu cukup untuk membuatku berjanji akan kembali membawa keberanian yang layak untuknya.

###

“Rika wis ngerti kabare Ratih karo mbarepe Pak Lurah?”[4] tanya Pak Harjo, tuan rumah tempatku bermalam. Aku memang sudah mengenal warga desa ini karena dulu melaksanakan KKN di sini. Suratan itu juga yang mempertemukanku dengan Ratih.

“Belum, Pak. Memang bagaimana?” tanyaku mulai geram.

“Baru dua hari yang lalu Pak Lurah datang langsung ke rumah Pak Carik. Sepertinya dia benar-benar serius,” tambahnya yang semakin meninju kesabaranku.

“Lalu apa jawaban Pak Carik?”

“Saya dengar mereka sudah saling setuju. Sayang sekali, padahal saya lebih suka kamu yang jadi suami Ratih. Warga sini juga sudah kenal kamu.”

“Iya, Pak. Saya juga bingung, kenapa Pak Lurah sangat memaksakan kehendak, juga kenapa Pak Carik mudah sekali berubah pikiran.”

“Mungkin karena sebentar lagi pemilihan lurah.”

Pemilihan lurah?

Pak Harjo kemudian menceritakan perihal acara pemilihan lurah baru yang akan segera dilaksanakan. Pak Lurah yang saat ini menjabat berniat untuk mencalonkan diri kembali, walau banyak masyarakat sudah tidak percaya dengan kepemimpinannya yang hanya lugas dalam mengumbar kata-kata manis.

Janji lapangan pekerjaan yang lebih luas tidak terdengar gaungnya sama sekali. Jalan desa yang dicanangkan untuk diperbarui juga tidak pernah terealisasi, padahal terdengar kabar bahwa bantuan pemerintah sudah mengalir. Aku pun masih menyaksikan, satu kilometer panjangnya, jalan utama desa ini adalah kombinasi disharmoni antara tanah dan batu cadas yang mampu merusak ban kendaraan jenis apapun, serta area sawah yang tak terlalu banyak ditumbuhi agraria di setiap sisinya. Saat musim hujan, jalan itu bakal menjadi licin dan banyak kubangan. Seperti oase yang tidak tahu tempat. Di beberapa titik sepanjang sawah terdapat gunungan batu dan beberapa papan penanda yang tulisannya tidak sempat kubaca.

Semua kecewa. Tapi Pak Lurah tetap bersikeras mencalonkan diri kembali. Demi tujuan itu, dia menggaet Ki Munadi dan Pak Warno untuk berkoalisi. Kharisma Ki Munadi sebagai promotor ditambah carik desa yang akan menjadi besannya tentu dapat membuat siapapun tak ragu memberikan suara untuknya dalam pemilihan lurah nanti.

Aku terhenyak mendengarnya, jelas tidak terima jika cintaku akan disandera oleh koalisi kotor semacam ini. Jika sudah menjadi benalu bagi warganya, jangan sampai orang itu jadi sakat dan sekat untuk kisahku bersama Ratih. Maka aku harus bergerak cepat. Tekadku sudah bulat. Aku akan kembali membawa secarik harapan bagi keselamatan Ratih dan desa ini.

Kusadari, cinta memang benar-benar butuh pengorbanan. Terkadang, mungkin juga butuh penipuan.

###

Berhadapan dengan orang-orang yang kucintai sekaligus yang kubenci adalah kontradiksi yang tak pernah kuingini. Di hadapan Pak Warno, Ratih, Pak Lurah dan tentu saja Ki Munadi, aku siap menuntut hak cintaku yang akan mereka rebut. Ini akan berhasil.

Mbok wingi uwis tek itungna?”[5] tanya Ki Munadi dengan nada sengau akibat geram. Merasa tidak dihargai. “Kamu tidak percaya?”

“Bukan begitu, Ki,” jawabku sabar. “Apa perhitungan itu pasti benar? Apa tidak ada pilihan lain?” tanyaku membalikkan kalimatnya.

“Tidak mungkin!” hardiknya, “leluhur sudah punya perhitungan sendiri. Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat sudah menulis Betaldjemur itu untuk kita hayati dan gunakan. Kalau kamu menghina perhitungan saya, berarti kamu menghina ketetapan leluhur,” cecarnya dengan lebih keras. Nampaknya dia mulai terpancing.

“Kalau kamu menikah dengan Ratih,” lanjutnya, “kalian bakal nemu bilahi saka awake dhewe, ala, satriya wirang nandhang duka cita, kawirangan, sedheng, ketemu cukupan sakabehe,  pisang punggel atawa bakal mati salah siji. [6]

“Kalau begitu, seandainya saya tidak lahir di tanggal itu, saya bisa menikah dengan Ratih?” tanyaku.

“Mungkin bisa. Tapi harus dihitung lagi, wetonmu pas atau tidak.”

Kena kau!

Aku lalu mengambil sesuatu dari dalam tasku, secarik kertas yang akan menjadi senjata andalanku. Ki Munadi tidak bisa mengelak lagi. Semua sudah kuperhitungkan masak-masak.

“Sebenarnya saya salah, Ki,” kataku sambil membuka kertas itu di hadapannya. “Saya lahir bukan tanggal 29 November, tapi tanggal 28 November. Ini akta kelahiran saya,” ucapku yang langsung membuatnya diam. Seperti tertohok.

“Jadi kemarin kamu memberi tanggal yang salah?”

“Iya, Ki. Mohon maaf dan tolong dihitung kembali, saya ingin sekali menikahi Ratih. Semoga weton kami bisa jodoh di sini,” ucapku penuh keyakinan.

Sejenak Ki Munadi terdiam. Dia melirik ke arah Pak Lurah yang mulai galau. Ada keyakinan di hatiku, juga binar di mata Ratih, cinta yang kami perjuangkan akan kami menangkan. Aku berusaha mengatupkan tawa, melihat Ki Munadi yang tengah mencari cara, mencoret-coret kertas kosong di hadapannya.

 “Weton kalian cocok. Senin Pahing dan Selasa Legi sangat baik. Saya tidak bisa bilang apa-apa lagi,” kata Ki Munadi seolah pasrah. Dia tidak mungkin membohongi hitungan leluhur. Aku hampir saja melonjak dan memeluk Ratih penuh euforia, sebelum suara yang sedari tadi tidak terdengar tiba-tiba angkat bicara.

Mangsane![7] Bagaimana dengan mangsa?” seru Pak Lurah merusak suasana.

Ki Munadi tersentak seperti mendapatkan suntikan baru. Dia kemudian melihat kembali akta kelahiranku, menerawang sambil sepertinya menimbang perhitungan antara mangsa-ku dan mangsa Ratih. Aku masih begitu yakin dengan rencanaku. Seharusnya semua akan tetap berhasil. Sekarang waktunya berdoa.

“Benar sekali,” kata Ki Munadi menutup terawangnya. “Mangsa Kapitu[8] tidak berjodoh dengan Mangsa Kanem.[9] Kalian bisa merusak keturunan jika kalian nantinya punya anak.” Kata-kata Ki Munadi, yang untuk kesekian kalinya menyayat batinku. Bagaimana bisa semua berjalan seperti ini. Lebih bodoh, aku lengah dengan hitungan mangsa.

Ki Munadi kemudian menghitung primbon, weton dan mangsa antara Ratih dan anak Pak Lurah. Semua cocok. Semua merugikanku. Semua tidak pernah kubayangkan. Weton tipuanku tepat, tapi tidak dengan mangsa-nya. Sedangkan dengan anak Pak Lurah segalanya cocok. Saran Ki Munadi untuk segera menikahkan mereka pun diterima Pak Warno bulat-bulat.

Aku benar-benar tidak memperhitungkan hal ini. Sebelumnya, dengan jaringan dan sedikit pelicin, kudapatkan tanggal lahir anyarku ini. Weton yang baru kutebus dengan perhitungan yang masak. Awalnya. Namun semua itu menguap begitu saja karena tak kugubris perhitungan mangsa. Aku dan Ratih selesai.

Aku ingin meledak. Terlintas di benakku Ratih yang akan bersanding dengan laki-laki lain di pelaminan, sebagai korban koalisi kotor yang dipaksakan. Lebih menyesakkan, papan penanda yang tak sempat kubaca di sepanjang jalan desa ini, sebagaimana diceritakan Pak Harjo, adalah plang proyek pembangunan pabrik. Area persawahan desa telah dibebaskan oleh para konglomerat yang sudah “melobi” Pak Lurah. Sawah dan lahan akan beralih menjadi milik orang, pabrik yang menguntungkan pihak tertentu segera berdiri, para petani pun akan terpaksa menjadi buruh dengan upah yang mungkin lebih mengenaskan.

Kulirik Ratih yang tertunduk di kursinya. Linang itu mengalir lagi. Ada sesuatu yang terucap dalam isaknya yang diam.

 

[1] “Sudahlah, kamu tidak cocok dengan Ratih. Wetonmu bisa membawa sengsara.” Weton: penjumlahan antara hari-hari dalam satu minggu dengan hari-hari dalam pasaran Jawa. Biasanya digunakan sebagai pedoman perhitungan watak, nasib hingga jodoh seseorang.

[2] Kitab-kitab perhitungan primbon berdasarkan weton dalam budaya Jawa.

[3] Sebutan untuk pejabat sekretaris desa.

[4] “Kamu sudah tahu kabar tentang Ratih dengan putra sulung Pak Lurah?”

[5] “Bukankah kemarin sudah saya hitungkan?”

[6] Mendapatkan celaka dari diri sendiri, buruk, mendapat kedukaan dan sering dipermalukan, ketika berkecukupan salah satu akan mati.

[7] Lengkapnya “Pranata Mangsa”, merupakan sistem penanggalan Jawa yang dikaitkan dengan aktivitas pertanian. Berhubungan dengan berbagai aspek fenologi dan gejala alam lainnya. Biasa digunakan petani dalam membaca musim bercocok tanam, namun tidak jarang digunakan untuk meramal karier, jodoh dan lain-lain.

[8] Mangsa ketujuh

[9] Mangsa keenam

Ikuti tulisan menarik Angga Wiwaha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu