x

Iklan

Angga Wiwaha

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:25 WIB

Nabi yang Lahir di Akhir Zaman


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gimana ini, Pak Restu? Sepertinya sudah bisa dipastikan kalau kita kecolongan, nih.”

“Sabar dulu, Bapak-Bapak, ini istri saya sama ibu-ibu yang lain juga masih usaha telepon istrinya. Kita usaha semaksimal mungkin, ya.”

Restu mengecek ulang ponselnya, menggulir berkali-kali layar sentuhnya dengan sia-sia. Tidak ada notifikasi pesan baru di sana. Apa yang dia tunggu sedari tadi tak kunjung memberikan kabar baik. Orang-orang di ruangan itu sudah semakin riuh. Mereka panik. Kipas angin musala bahkan seperti sudah lelah tolah-toleh dengan kecepatan putaran sedang, namun tetap tidak mampu mendinginkan suasana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Nomornya sudah tidak bisa dihubungi, Pak?” Purwadi, Sekretaris Desa, bertanya dengan gelisah. Dia yang bakal dimintai pertanggungjawaban soal kasus ini nantinya.

“Bahkan nomor istrinya juga ikut-ikutan gak aktif,” sambut Restu.

“Sudah jelas ini,” cergas yang lain, “Rahmad sudah kabur bawa uang kita.”

“Pur,” lanjutnya kemudian memanggil Purwadi, “habis kamu nanti diinterogasi Pak Bupati.” Purwadi menyambutnya dengan sungging pasi, seperti hilang harapan hidup.

“Pak Restu!” sentak Purwadi dengan suara yang kini mulai meninggi, “Ini semua salah Bapak.”

Lo, kok, jadi salah saya?”

“Bapak yang waktu itu getol banget memilih Rahmad untuk jadi bendahara proyek,” ungkit Purwadi.

“Begini, Mas Pur, waktu itu kan saya hanya sebatas mencalonkan Rahmad untuk jadi bendahara proyek. Saya gak punya prerogatif apa-apa untuk memilih, wong saya cuma Bendahara Desa. Soal pemilihannya jelas sudah saya serahkan ke forum. Secara musyawarah mufakat, waktu itu kita sepakat menunjuk Rahmad. Pak Lurah juga setuju dengan kesepakatan itu.” Restu memutar memori hadirin ke masa dua bulan yang lalu itu.

“Tidak ada calon lain,” lanjut Restu, “tidak ada voting, tidak ada sanggahan, penunjukan Rahmad sebagai bendahara waktu itu mutlak kesepakatan bersama.”

“Tapi Pak Restu yang waktu itu bilang kalau tidak ada yang lebih amanah dari Rahmad. Bisa dipercaya dan gak akan curang. Sekarang malah jadi seperti ini.”

Lo, kan memang begitu kenyataannya.” Restu masih yakin dengan teguhnya.

“Rahmad itu cerdas,” bela Restu kemudian, “lulusan S1, pekerjaannya jelas, bisa pegang komputer, pintar ngaji, bahkan biasa bantu Pak Ripto ngajar anak-anak TPA juga.” Marbut musala yang disebut namanya itu hanya manggut-manggut saja. Mungkin masih tidak percaya kalau pemuda pintar kesayangannya itu bisa berbuat nekat juga.

“Saya mencalonkan dia juga karena pengalaman,” lanjut Restu. “Tahun lalu kita tahu sendiri, kan, proyek perombakan Jalan Sadewa sukses besar. Hasilnya bagus, keuangannya transparan, malah keberhasilan tahun lalu itu yang bikin kita dapat dana tambahan dari Pak Bupati.”

Hadirin menyimak dalam diam. Mereka jelas ingat proyek tahun lalu yang sukses besar itu. Bahkan peresmiannya dihadiri langsung oleh Bupati, yang kemudian menyebutnya sebagai proyek yang transparan dan akuntabel, hingga didapuk sebagai “proyek percontohan” untuk desa lainnya. Dan Rahmad adalah kunci penting dalam pencapaian prestasi itu: Bendahara Proyek.

“Hasilnya, anggaran desa tahun ini dinaikkan, kan?” Pertanyaan Restu disambut dengan anggukan kompak lagi.

“Bisa dibilang,” lanjut Restu, “sebelum hari ini, Rahmad adalah yang paling kompeten dan bisa dipercaya di antara kita. Amanah.”

“Tapi dia bukan nabi!” Kali ini suara Purwadi semakin lantang, sepertinya sudah tidak tahan dia mendengar Restu terus membela Rahmad.

Sabar, Mas Pur, saya juga tahu dia bukan nabi. Masa masih ada nabi lahir di akhir zaman ini,” kelakar Restu dengan sungging kecil di ujung bibirnya.

“Bapak enak, gak perlu tanggung jawab. Saya ini yang bakal kena masalah.” Dua orang di sebelah Purwadi kali ini menepuk-nepuk bahunya, berusaha menurunkan tensi emosinya.

“Saya sendiri yang mengecek ke bank kemarin,” lanjut Purwadi menceritakan muasal kekalutan itu. “Saya sudah tanya CS[1] bank. Kesepakatannya dulu, kan uang hanya bisa ditarik kalau ada persetujuan dua orang, saya dan Rahmad. Ini, kok, uang bisa raib tanpa sepengetahuan saya?”

“Iya, betul,” sambut Restu, “dua bulan yang lalu saat ditunjuk sebagai bendahara proyek, Rahmad memang menjanjikan pengurusan keuangan yang lebih baik. Lebih transparan. Makanya, dana anggaran proyek disimpan di bank dengan rekening terpisah, tidak dicampur dengan rekening dana desa.”

“Memang begitu, Pak Restu. Buku tabungan juga saya yang pegang, dan cuma bisa dicairkan dengan persetujuan dua orang: Rahmad dan saya selaku Sekretaris Desa.”

“Terus apa kata CS?” tanya yang lain kemudian.

“Katanya uangnya ditransfer lewat internet-internet gitu. Enggak paham juga saya.”

“Wah, lihai betul dia, seperti sudah terencana.”

Pemisahan rekening dan kewajiban persetujuan dua orang memang terkesan amanah dan transparan, namun bagi orang-orang yang paham seperti Restu, pasti tahu bahwa ada celah kelicikan di sana.

Semua memang terasa aman-aman saja ketika proses pemilihan pemborong kerja, tanda tangan kontrak, pembayaran persekot, sampai pengerjaan proyek tahap awal. Lancar. Menjanjikan kesuksesan. Hingga dua minggu yang lalu semua berubah menjadi runyam: Rahmad menghilang. Istrinya bilang dia dapat tugas di luar kota. Tak kunjung muncul, seminggu kemudian giliran istrinya yang pergi, meninggalkan rumah yang sejatinya hanya mereka kontrak. Keduanya tak bisa lagi dihubungi. Beberapa orang sempat bertanya ke kantor Rahmad, ternyata yang bersangkutan sudah mengundurkan diri sejak satu bulan terakhir.

Selepas itu, semua berusaha mencari jejak Rahmad beserta istrinya. Nahas, keduanya seperti hilang ditelan bumi. Kini semua orang merasa dikibuli habis-habisan.

“Sepertinya diam-diam Rahmad buka internet banking,” sambung Restu.

“Apa itu, Pak?” Semua kompak.

“Kalau datang ke teller mau cairin uang atau transfer, itu harus Rahmad sama Mas Pur yang tanda tangan di slip. Tapi kalau pakai internet banking, ya, bisa lewat HP saja.  Jadi Rahmad tidak perlu repot-repot ke bank,” jelas Restu.

Semua yang hadir kembali henyak tertohok fakta yang semakin jelas. Jika benar seperti yang dikatakan Restu, sejalan dengan kesaksian Purwadi, sungguh lihai sekali anak muda itu. Kepintaran memang bisa dimanfaatkan untuk hal baik, tapi juga sama ampuh bila digunakan untuk hal buruk. Seorang yang dianggap amanah seperti Rahmad bahkan bisa digelapkan juga matanya oleh uang.

“Apa kita lapor polisi saja, Pak?”

“Jangan!” tanggap Restu panik, “jangan bawa-bawa polisi dulu.”

“Kenapa, Pak?” tanya seorang hadirin, “ini kan jelas sudah masuk ranah pidana. Pasal pencurian atau korupsi.”

“Kalau sampai polisi tahu, yang dikejar bukan cuma Rahmad, tapi kita juga bakal direpotkan. Sebelum polisi mencari Rahmad, semua yang terlibat di proyek ini bakal diperiksa dulu.”

“Masa begitu, Pak?”

“Iya,” sambut Restu, “Pak Lurah bisa kena pasal kelalaian atas pekerjaan bawahannya, Mas Pur bisa kena juga karena seharusnya anggaran cuma bisa cair atas persetujuan Mas Pur. Bisa-bisa Rahmad gak ditangkap, malah pengurus desa lain yang diciduk. Jangan bawa-bawa polisi, deh,” pungkas Restu.

“Tapi Pak Restu juga gak terlibat, kan?” sergap Purwadi kali ini. Penuh selidik. Mengingat begitu semangatnya Restu mencalonkan Rahmad sebagai bendahara proyek kala itu, kecurigaan jadi wajar tersemat padanya.

“Ya, enggak, lah,” jawab Restu cergas, “saya tidak punya kepentingan apa-apa di proyek ini. Saya hanya bantu carikan solusi karena saya mau desa ini maju. Sebagai orang yang dituakan, saya gak akan diam saja kalau ada masalah seperti ini,” tegasnya membela diri. Keringat dingin sedikit mengairi keningnya.

“Tapi kalau sudah seperti ini siapa yang mau tanggung jawab, Pak?”

“Ini kita cari sama-sama solusinya.”

“Bagaimana?”

“Begini saja,” usul Restu selepas renung sejenak, “berhubung ini genting karena pemborong sudah kerja dan minta pencairan biaya, sementara kita usul ke Pak Lurah untuk dibayar pakai dana desa dulu. Konsekuensinya, beberapa rencana desa harus ditunda.”

“Soal Rahmad bagaimana?”

“Kita usaha cari sampai ketemu. Yang tahu kenalannya mungkin bisa coba dihubungi, yang tahu kantornya mungkin bisa coba juga dilacak dari sana. Kasih tahu ibu-ibu untuk tetap bantu cari istrinya.” Restu mengusulkan solusi yang sebenarnya patut diragukan juga keberhasilannya.

“Baik, Pak.” Semua kompak setuju. Restu merasa lega hingga di titik ini.

“Kita sudahi dulu malam ini. Besok atau lusa kita rapat lagi. Pak Lurah harus hadir untuk kasih keputusan, khususnya bagaimana langkah kita menjelaskan ke Pak Bupati,” pungkas Restu menutup musyawarah.

“Monggo, Bapak-Bapak, teh sama gorengannya dicicipi dulu.” Seorang dari seksi konsumsi mempersilakan. Sepelik apapun, menutup pertemuan dengan kudapan adalah sebuah keharusan.

 

Drrrttt ...

Di antara bisik-bisik perjamuan dan kepulan asap kretek di antero ruangan, getaran itu memanggil dari dalam saku kemeja kokonya. Dia merogoh lalu mengecek kembali ponselnya, menggulir layar sentuhnya dengan bahagia. Ada notifikasi pesan baru di sana. Apa yang dia tunggu sedari tadi akhirnya memberikan kabar baik. Isi layanan SMS banking itu menginformasikan ada dana masuk ke rekeningnya senilai dua ratus juta.

“Ada info apa, Mas Pur?” tanya Restu yang menangkap senyum Purwadi saat sedang menatap layar ponselnya.

“Ah, bukan apa-apa, Pak,” kelit Purwadi, “cuma SMS iseng. Masa saya dibilang dapat hadiah dua ratus juta. Zaman sekarang, kok masih ada yang kirim penipuan model begitu.” Mulut Purwadi berkilah sambil lihai jemarinya menghapus pesan pendek itu. Tanpa jejak. Restu hanya mengangguk pelan sambil melanjutkan kunyahannya.

Tidak melibatkan polisi sudah berhasil. Misi Purwadi selanjutnya adalah membuat pengurus desa dan panitia proyek lain putus asa untuk mencari Rahmad, bendahara proyek yang dipromosikan oleh Restu seolah seorang nabi.

Rapat selesai.

 

###

 

[1] Customer Service.

Ikuti tulisan menarik Angga Wiwaha lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu