x

Foto Butet Kartaredjasa bersama Ketum PDIP, Megawati, sumber: https://img.harianjogja.com/posts/2023/06/07/1137813/mega5.jpg

Iklan

Agus Sutisna

Penulis Indonesiana | Dosen | Pegiat Sosial
Bergabung Sejak: 6 September 2023

Senin, 29 April 2024 12:23 WIB

Sebaiknya PDIP dan PKS Menjadi Oposisi

Bagi PDIP dan PKS, memilih jalan oposisi berarti menjaga nafas hidup demokrasi sekaligus merawat amanah suara rakyat. Lewat proses dialektika politik gagasan dan kebijakan bersama pemerintah suara rakyat itu akan terus diperjuangkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada tulisan terdahulu, "Haluan Berubah dari Koalisi Perubahan: Pragmatisme dan Rebutan Kendali Politik" telah diulas bahwa rencana bergabungnya Nasdem dan PKB kedalam pemerintahan baru nanti didasari oleh bertemunya motif dan kepentingan politik diantara keduabelah pihak.

Nasdem-Paloh dan PKB-Muhaimin merasa lebih nyaman menjadi bagian dari rezim di satu sisi, dan Prabowo merasa perlu memperbesar dukungan politik parlemen disamping menciptakan keseimbangan pengaruh politik didalam pemerintahannya.  

Bahwa masih ada motif dan faktor lain tentu sangat mungkin dan sah-sah saja. Tetapi apapun motif dan faktor yang mendorong mereka mencapai titik temu untuk bersama-sama di kubu pemerintahan jelas bakal memengaruhi konstelasi kepolitikan nasional di kemudian hari, termasuk masadepan perkembangan demokrasi yang belakangan ini oleh banyak orang dinilai sedang mengalami kemerosotan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Oleh karena itu penting untuk mengetahui bagaimana sikap PDIP dan PKS, dua parpol parlemen yang tersisa dalam konstelasi kepolitikan pasca Pilpres 2024? Apakah keduanya juga akan menyusul Nasdem dan PKB bergabung kedalam pemerintahan Prabowo-Gibran? Atau secara terhormat dan dada tegak memilih berada di luar pemerintahan dan siap menjadi oposisi yang kuat dan bermartabat?

Tugas Mulia dalam Tradisi Demokrasi

Dari dinamika politik yang dapat dicermati belakangan ini, kedua parpol belum menunjukan tanda-tanda bakal bergabung kedalam pemerintahan. Meski juga belum secara tegas menyatakan akan memilih berada di luar pemerintahan dan siap menjalankan tugas mulia sebagai oposisi.

Tetapi saya membaca suara-suara publik banyak yang berharap PDIP dan PKS mau mengambil peran sebagai oposisi pada pemerintahan mendatang. Ada sejumlah argumen mengapa kedua partai ini penting untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan enam parpol parlemen. Salah satunya berkenaan dengan konsepsi dan tradisi demokrasi sendiri, bahwa keberadaan oposisi adalah conditio sine qua non. Sesuatu yang niscaya berdasarkan empat alasan berikut ini.

Pertama, pasca era kenabian (agama Samawi manapun) yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada lagi manusia suci dan ma’shum. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipilih dan diberi amanah oleh mayoritas rakyat sekalipun.

Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah pikir, keliru sikap, dan sesat kebijakan dari para pemimpin. Dalam ungkapan yang lazim digunakan kalangan peminat diskursus kepolitikan kaum oposisi dikatakan sebagai watchdogs, “anjing penjaga”. Fungsinya adalah menyalak sebagai peringatan, dan menjaga agar operasi kekuasaan dan jalannya pemerintahan tidak melenceng dari track yang seharusnya dilalui, track yang disepakati bersama. Track itu ada pada norma-norma konstitusi, hukum dan perundang-undangan.

Kedua, meminjam dalil klasik Lord Acton, power tend to corruptc, and absolute power corrupts absolutely. Dalam konteks ini oposisi hadir untuk mengontrol naluri purba kekuasaan yang egois sekaligus mengawasi operasi kekuasaan yang cenderung korup di tangan penguasa manapun.

Karenanya dalam sebuah metafor, kaum oposisi lazim disebut sebagai “advocatus diabolli”, “setan yang menyelamatkan”. Kerjanya memang “mengganggu” (penguasa) layaknya setan. Namun “gangguan” itu sesungguhnya dilakukan demi kebaikan bersama, untuk menyelamatkan kehidupan bersama dari kemungkinan salah dalam mengambil pilihan arah dan jalan berbangsa dan bernegara.

Ketiga, merujuk pada doktrin trias politika Montesquieu, demokrasi membutuhkan mekanisme check and balances antar cabang kekuasaan negara (utamanya antara legislatif dan eksekutif). Dalam konteks ini oposisi di parlemen (maupun di luar parlemen) berperan untuk memastikan bahwa pemerintah yang juga didukung oleh sebagian (tentu mayoritas) koalisinya di parlemen tidak semena-mena saat merancang dan memproduk kebijakan-kebijakan politik.  

Fungsi dan peran itu penting karena fakta elektoral, bahwa di sisi konstituen pendukung pemerintah yang memenangi perhelatan pemilu, masih terdapat konstituen yang berbeda sikap dan dukungan. Tradisi demokrasi wajib menjamin kelompok minoritas, setidaknya untuk tetap didengarkan suaranya melalui kelompok oposisi yang secara faktual menerima mandat dari minoritas politik itu.

Selain itu, mekanisme check and balances juga perlu dihidupkan untuk memastikan agar kedua cabang kekuasaan (legislatif dan eksekutif) selalu berada pada titik yang relatif seimbang. Eksekutif tidak boleh terlalu kuat (heavy executive) karena bisa melahirkan rezim otoriter dan praktik otoritarianisme. Sebaliknya, legislatif (parlemen) juga tidak boleh terlalu kuat karena bisa memicu instabilitas politik dan pemerintahan.

Keempat, demokrasi sesungguhnya digagas sebagai jalan untuk mewujudkan kebaikan bersama dari waktu ke waktu secara berkesinambungan. Dalam perspektif dialektika dan politik diskursif, kebaikan bersama adalah tahap yang takkan pernah selesai untuk terus diikhtiarkan. Peran oposisi dalam kerangka ini adalah membawa dan menghadirkan antitesis-antitesis pemikiran, gagasan, aspirasi dan kehendak konstituen minoritas secara terus-menerus dalam setiap rancangan kebijakan pemerintah.

Dengan cara dialektik dan politik diskursif ini terbuka peluang setiap rancangan kebijakan pemerintah menjadi lebih baik karena ia dikawal dengan kritis. Jadi, tidak seperti yang dibayangkan banyak orang bahwa kiprah kaum oposisi hanyalah untuk mendegradasi kebaikan-kebaikan pemerintah lalu menjatuhkannya. Melainkan justru (secara tidak langsung) dapat memperkuatnya melalui produk-produk kebijakan politik yang dianggap baik oleh konstituen minoritas di belakang kaum oposisi di parlemen. 

Berdasarkan uraian diatas, keberadaan kelompok oposisi baik di parlemen maupun non-parlemen (masyarakat sipil, para akademisi, tokoh masyarakat dll) sesungguhnya adalah mulia dan terhormat. Karena peran-peran fungsional mereka adalah menjaga, mengingatkan dan membentengi agar para penguasa tidak terjerumus kedalam sesat pikir, sesat arah dan sesat jalan dalam mengoperasikan kekuasaan negara.

Selain itu, melalui tradisi dialektik dan politik diskursif yang cerdas dan ikhlas (semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara) kelompok oposisi juga dapat memberi kontribusi positif pada setiap rancangan kebijakan dan program-program pemerintah berupa gagasan dan pemikiran-pemikiran visioner mereka.

 

Menjaga Amanah Puluhan Juta Pemilih

Di samping alasan konsepsi dasar dan tradisi demokrasi sebagaimana terurai diatas, PDIP dan PKS juga penting mengambil peran sebagai oposisi karena fakta elektoral yang tidak boleh dinafikan. Bahwa keduanya, mewakili kubu koalisi masing-masing sesungguhnya telah mendapatkan amanah puluhan juta suara pemilih yang harus mereka jaga dan perjuangkan.

PDIP bersama koalisinya mendapatkan titipan amanah rakyat sebanyak 27 jutaan suara. Sementara PKS bersama koalisinya mendapatkan titipan amanah lebih dari 40 jutaan suara. Jika digabung maka amanah rakyat yang tidak dititipkan kepada Prabowo-Gibran ini jumlahnya hampir 70 juta. Angka yang tidak boleh diremehkan secara politik.

Dengan menjadi oposisi, berarti PDIP dan PKS menjaga amanah suara rakyat untuk terus diperjuangkan melalui proses dialektika politik gagasan dan kebijakan bersama pemerintah. Sebaliknya, dengan bergabung kedalam pemerintahan, apapun narasi argumen yang dibangunnya, bagi para pemilih dan pendukung kedua partai ini jelas merupakan bentuk pengingkaran terhadap amanah yang dititipkan.

Terakhir, diantara partai-partai parlemen yang ada, hemat saya PDIP dan PKS merupakan dua partai yang memiliki rekam jejak soliditas paling kuat. PDIP, selain faktor ideologi, fakta elektoral merupakan partai peraih suara terbanyak di parlemen. Sementara itu, meski suaranya ada di klaster tengah, PKS merupakan partai dengan militansi kader yang sangat baik.

Kolaborasi keduanya di parlemen akan menjadi “sparing partner politik” yang bertenaga bagi pemerintahan Prabowo-Gibran. Bukan dalam pengertian “mengganggu”, melainkan dalam pengertian menghadirkan dan mentradisikan dialektika gagasan dan diskursus politik kebijakan.

Bagaimana dengan garis ideologis keduanya yang secara politik kerap dinilai berhadapan secara diametral? PDIP Nasionalis sekuler, sementara PKS Islam modernis. Tidakkah fakta ini akan menghambat kolaborasi mereka di parlemen?

Dalam perspektif politik kebangsaan, fakta itu hemat saya lebih merupakan tantangan dinamis, bukan halangan statis dan permanen. Asal keduanya berangkat dari alas pikir yang sama, yakni: kepentingan berbangsa dan bernegara, perbedaan itu tidak akan sulit untuk dilalui. Di berbagai daerah kerjasama PDIP-PKS dalam Pilkada dan mengawal Pemda setempat merupakan bukti otentik, bahwa perbedaan spektrum ideologi tidak perlu menjadi penghambat keduanya untuk sama-sama berkontribusi pada daerah dan bekerja untuk rakyat.    

 

Ikuti tulisan menarik Agus Sutisna lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler