x

Iklan

Riftah Auliya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:38 WIB

Dua Abdi untuk Keluarga


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

DUA ABDI UNTUK KELUARGA

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sedikit berbagi tentang kisahku.

Perempuan remaja yang terlahir dari keluarga sederhana, berpas-pasan ekonomi dan juga materi. Tinggal disebuah kampung bersama keluarga kecilku. Ayah, ibu, kakak, adik,dan aku. Nama ku Ardila, sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMA, usiaku bukan lagi usia bermain, tak lain aku harus memikirkan masa depan untuk bisa merubah nasib keluargaku. Namun apa daya cita cita yang aku inginkan tak semudah yang aku pikirkan. Cacian, makian, dan omongan orang membuat otak dan fisikku semakin terbeban.

Tring…….. Alarm ponsel berbunyi dengan keras.

04.30 angka pertama yang terlihat, sedikit buram karena aku baru saja membuka mataku, kedua tanganku terus mengusap mata sembari aku mengumpulkan nyawaku. “Huftttt sudah pagi” kalimat pertama yang ku ucapkan untuk hari ini. Senin, 15 November aku bangun dari tidurku, ku rapikan tempat tidur kemudian mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi. Setelah semua persiapan selesai aku menatap dengan tajam diriku dikaca meja rias yang sekarang ada tepat di depanku, apakah aku bisa? Perkataan yang selalu kuucapkan setiap pagi didepan kaca, hati dan otakku bersahabat, ia selalu menguatkan untuk terus berusaha walau kadang aku di titik sedang lelah. Berpamitan dengan ayah dan ibu, kucium tangan mereka dan kuperhatikan wajahnya, ayah dan ibu sudah tua sedangkan kakakku sudah menikah dan tidak juga bekerja. Harapan utama ayah dan ibu adalah aku, anak nomor dua yang nanti harus menanggung keluarga seperti anak pertama. Bahu ku harus kuat, aku tau ini berat tapi aku tak boleh menyerah, keadaan mendesakku untuk belajar sungguh sungguh dan serius untuk mengejar cita cita.

Tak terasa langkahku semakin mendekati gerbang sekolah SMA Bangun Jaya,. Sekolahku tercinta dimana aku menempuh pendidikan untuk meraih masa depan “Selamat pagi Ardila” sapa pak jarwo dengan senyuman yang ramah. Pak jarwo adalah satpam disekolah ku, dia sangat baik dan ramah kesemua siswa, tak heran semua siswa menyukai sikap pak jarwo. Dengan sigap aku melambaikan tanganku dan tersenyum kearah pak jarwo “ selamat pagi pak” sapa ku kembali padanya. Kemudian aku melanjutkan langkah kakiku menuju ruang kelas.

Triza sudah duduk dibangku yang letaknya tepat disebelahku, sambil makan sebungkus roti dan sebotol susu yang ia bawa. Triza adalah sahabatku, aku mengenalnya sejak pertama masuk di SMA Bangun Jaya, kedekatan kami dikarenakan kesamaan cita cita. Triza ingin seperti ayahnya yang tampil gagah dengan seragam dan atributnya untuk menjaga negara. Ya, siapa lagi kalau bukan tentara. Aku ingat sekali, waktu itu siswa diberi tugas oleh bu vita untuk membuat catatan dengan judul “ ingin jadi apa aku?” dari sanalah aku dan triza menjadi sahabat sejati dengan tujuan mengejar cita cita bersama. Sedikit demi sedikit kami mulai mengatur strategi bagaimana caranya agar bisa mendapatkan apa yang kami inginkan, ini sungguh berat karena kami tidak tau harus mulai darimana sedangkan pengalaman saja kami tidak punya.

Bel tanda berakhirnya jam pelajaran sudah berbunyi, aku mengemas buku dan peralatan lainnya kedalam tasku. “ hari ini mau kemana dil?” Tanya triza padaku “ engga kemana-mana palingan bantuin ibu jualan” “gimana kalau hari ini kita lari bareng, mau nggak dil?” “wah boleh juga tuh pasti seru banget” Kemudian aku dan triza berjalan bersama meninggalkan kelas untuk pulang kerumah masing masing. Sesampainya dirumah aku bersiap untuk pergi olahraga bersama triza dan tak lupa aku berpamitan pada ibu “ bu,izin ya hari ini dila mau pergi olahraga bareng triza, hitung hitung buat bekal nanti” ibu yang sedang berjualan hanya tersenyum padaku “ hati-hati ya dil, jangan macem macem, latihan yang bener , harapan ibu untuk adik hanya kamu” aku mendengarkan dengan baik nasehat ibu sambil menciumi tangannya “ dila pergi ya bu”

Sesampainya aku di lapangan...

Waww.. ini benar benar diluar pemikranku, lapangan ini sangat ramai dan lagi lagi membuat nyaliku kembali menciut. Tubuh mereka sangat bagus tinggi besar dan meyakinkan untuk bisa menjadi seorang abdi negara. Baju dan sepatu yang mereka gunakan kebanyakan dari brand ternama, kupandang sepatu lusuhku dengan kulitnya yang sedkit terkelupas, ingat sekali aku membelinya dipasar loak dengan harga 10 ribu, sedikit tersenyum tipis kukatakan pada driku” syukuri ya, susahmu sekarang mungkin bisa membahagiakanmu nanti” toh sepatu ini juga masih bisa digunakan dan masih bisa ngelindungin telapak kakiku dari panasnya lapangan.

Tepat pukul16.30 triza datang dan menghampiriku " sudah siap Dil? ayo lari!" Dengan semangat membara triza mengajakku berlari mengelilingi lapangan, sedikit malu karena semua mata tertuju pada aku dan triza, entah kenapa akupun heran hingga aku sempat berfikir apakah mereka melihat sepatu lusuhku ini? Oh tentu saja tidak, mungkin saja mereka melihat cantiknya sahabatku triza. Tak terasa senjapun telah menampakkan wujudnya, langit merah kekuningan kini memanjakan mata " Ayo pulang dil, nanti kemaleman" ucap triza padaku " ayo triza, nanti ibu mencariku, btw olahraga hari ini seru banget boleh dong nanti kita olahraga bareng lagi" ujarku kepada triza sambil membalas ajakan pulangnya tadi.

Hari demi hari kulalui sama seperti hari sebelumnya, kegiatanku menimbulkan banyak pro kontra untuk orang sekelilingku, ya siapa lagi kalau bukan tetangga ku, mereka menilai bahwa aku sebagai anak perempuan tak pantas keluar tiap hari dan selalu pulang malam, aku lelah dan tak punya banyak waktu untuk menanggapi omong kosong tetanggaku, mereka tak tau apa yang aku lakukan diluar sana, aku hanya ingin mengejar cita citaku. Ibu sangat senang jika orang bertanya " tamat sekolah Ardila mau kemana?" Ibu akan menjawab dengan gembira bahwasannya Ardila ingin mendaftar menjadi seorang tentara. Ibu memang senang, tetapi hatiku sangat sedih, sakit, hati dan jiwaku seperti tersayat, wajahku seperti tertampar, bagaima caranya agar aku bisa mewujudkan cita citaku? Bagaimana agar aku tetap melukis senyum manis di wajah ibu? Aku takut tak bisa mewujudkan mimpi untuk kedua orangtuaku, sedangkan aku yang akan menjadi tulang punggung ketika ayah dan ibuku sudah tua. 

Setelah penantian panjang waktu yang ditunggupun tiba, pengumuman kelulusan SMA Bangun Jaya telah di umumkan, aku lulus dengan nilai yang sangat baik. Selanjutnya pendaftaran untuk masuk ke perguruan tinggipun sudah dibuka, harusnya aku tak melakukan keisengan untuk mendaftar di perguruan tinggi ini, aku mencoba mendaftar disalah satu institusi dengan mengambil prodi s1-keperawatan melalui jalur beasiswa. Aku tak menyangka jika aku akan keterima di institusi ini sekaligus mendapat beasiswa. Tapi begitu faktanya, pada saat pengumuman namaku ikut tertera sebagai peserta yang lulus di institusi ini. Dengan cepat aku mengabari ayah dan ibu “ ayah, ibu, dila lulus masuk perguruan tinggi” setelah kukatakan itu bukan wajah gembira yang kulihat dari wajah mereka, seketika raut wajah ayah dan ibu menjadi sedih “ mau dapat uang dari mana ayahmu dil buat bayar kuliahmu nanti? Kita orang tak punya, ayah dan ibu masih membiayai adikmu sekolah, kamu kerja saja ya sambil menunggu pembukaan penerimaan anggota TNI.” ucap ibu sambil menatap mataku dengan membendung air mata. “ ibu, dila mendapatkan beasiswa, ayah dan ibu tak usah khawatir, biaya kuliah dila sudah ditanggung oleh negara” aku terus meyakinkan ayah dan ibuku.

Hari sudah malam, aku beristirahat karena begitu lelahnya kurasakan dunia yang rumit hari ini. Sambil menatap langit rumah yang masih terlihat bingkaian kayunya aku menggumam “apa yang harus aku lakukan, berkuliah atau tetap mencoba untuk mendaftar menjadi seorang abdi negara? Pilihan yang sangat membingungkan, aku benc akan pilihan. Di satu sisi aku ingin tetap mendaftar untuk menjadi tentara, tapi disisi lain aku sudah mendapatkan beasiswa di institusi ini dan pastinya aku tidak akan memberatkan orangtuaku. Kalau saja aku tak mendapatkan beasiswa, apa bisa aku berkuliah dan mendapatkan gelar sarjana? Tentu saja tidak. Orangtuaku hanya punya penghasilan pas-pasan, jka aku harus bekerjapun mungkin gajiku takkan cukup untuk membayar kuliahku. Ini adalah kesempatan yang tak boleh aku sia-sia kan, hampir saja aku tak merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang mahasiswa, aku segera melakukan pendaftaran ulang, aku ikhlaskan cita citaku, aku lepaskan keinginanku untuk bisa menjadi seorang abdi negara.

5 tahun berlalu…

Hari ini hari wisuda, tak di sangka gelar S.kep Ns akan tersemat di belakang namaku, ayah ibu menghadiri proses wisuda tampil cantik dengan busana serba biru. “makasih yah,bu, berkat kalian dila bisa jadi anak yang berhasil” ucapku sambil meciumi tangan lembut mereka. Kini aku adalah seorang perawat, aku siap untuk membantu siapapun yang membutuhkan pertolonganku. Aku juga seorang abdi masyarakat yang siap membantu orang orang di sekelilingku, terlahir dari keluarga berkecukupan membuat aku mempunyai rasa empati yang tinggi pada pasienku. 

 

Mimpiku lima tahun lalu belum terkubur terlalu dalam,belum jauh dan belum hilang tertelan pusaran hitam yang membuat aku benar benar melupakan mimpi itu. Aku masih ingin menjad tentara, mengabdi pada negara adalah hal yang sangat aku inginkan. Tiga bulan lagi pendaftaran tentara khusus akan dibuka, aku harus mengikuti pendaftaran dengan jalur perwira khusus itu, akan kubuktikan pada tetanggaku atas omongan mereka lima tahun lalu. Persiapan demi persiapan sudah aku siapkan, pada saat waktunya tiba aku segera mendaftarkan diriku,rangkaian demi rangkain tes sudah aku lewati, kini aku sudah ditahap akhir, tahap penentuan dimana aka nada peserta yang lulus dan juga gagal. Oh ya, aku lupa bahwasannya triza sudah mendaftar terlebih dahulu pada saat aku menempuh pendidikan di perguruan tinggi, kini triza sudah menjadi seorang tentara, akan ku buktikan pada triza seragam loreng itu akan sama sama membalut tubuh kami.

Pengumuman kelulusan diumumkan dengan lantang oleh panitia “ Ardila Nuri dengan nomor dada 002479 dinyatakan lulus terpilih” Bahagia bukan main, kutumpahkan air mata dirumput tempatku bersujud, ku ucapkan terimakasih pada tuhan yang sudah melancarkan prosesku, yang sudah merubah nasib keluargaku, dan yang sudah mengharumkan nama ayah dan ibu ku. “ Tuhan, begitu rumit jalan hidupku, begitu berat cobaanmu, tapi berkat itu semua aku bisa berdiri dengan gagah dihadapan ayah dan ibuku” setelah itu kupeluk ayah dan ibuku, kuciumi tangannya, dan aku bersimpuh di kaki mereka. Tanpa ayah dan ibu aku tidak akan bisa menjadi seperti ini.

Aku Ardila Nuri S.kp Ns kini bukan hanya seorang abdi masyarakat, aku juga seorang abdi negara yang harus selalu siap untuk melindungi negaraku. Sepatu lusuh lima tahun lalu sekarang terbayarkan dengan capaian dua abdiku. Terimakasih untuk orang yang selalu mendukungku, ku persembahkan dua abdi ini untuk orang orang yang aku cinta. 

Salam hangat, Ardila

Ikuti tulisan menarik Riftah Auliya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler