Berbicara tentang puisi, yaitu pada haikatnya ialah salah satu karya sastra yang berisi sajak-sajak yang indah di dalamnya. Puisi merupakan karya sastra yang sudah dipadatkan, dipersingkat, dan diberi irama pada setiap baitnya. Puisi juga menjadi wadah bagi para penyair dalam menuangkan pikiran dan imajinasinya ke dalam bentuk tulisan.
Dalam prosesnya, untuk menulis puisi terlebih dahulu harus menentukan tema apa yang akan dituangkan ke dalam puisi tersebut, kemudian penyair harus memperhatikan pemilihan diksinya, memperhatikan gaya bahasa atau majasnya; melihat dari sisi estetikanya; dan penyair dapat menentukan makna yang terkandung dalam puisi tersebut.
Makna dalam puisi adalah arti atau maksud yang ada dalam puisi yang dapat ditangkap oleh para pembaca sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuannya masing-masing. Makna dalam puisi memungkinkan sekali akan berbeda-beda penafsirannya. Mungkin bisa relevan dan juga bisa bertolak belakang.
Salah satu sastrawan tersohor di Indonesia adalah Eyang Sapardi Djoko Damono. Beliau adalah penyair yang dikenal dari berbagai puisinya mengenai hal-hal yang berbau sederhana namun penuh makna akan kehidupan. Karya-karyanya sudah tidak bisa diragukan lagi. Puisinya selalu berhasil memancarkan pesonanya sendiri, memikat siapa saja yang membacanya. Bagai terhipnotis akan keindahan tiap baitnya. Pesan-pesan kecil sebagai pengingat tak jarang kita temui dalam puisinya. Menjadikan tiap karyanya cocok dinikmati kapan pun, apalagi di kala hujan turun dan ditemani secangkir teh atau kopi; sudah sangat pas rasanya.
Kali ini, penulis akan membahas mengenai makna yang ada dalam puisi karangan Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Dalam Sakit”.
DALAM SAKIT
Waktu lonceng berbunyi
percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti
kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menjemputmu berangkat berduka
di ruangan ini kita gaib dalam gema. Di luar malam hari
mengendap, kekal dalam rahasia
kita pun setia memulai percakapan kembali
seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi.
(1967)
Puisi di atas merupakan puisi dalam antologi Hujan Bulan Juni dengan tema waktu dan kematian. Puisi ini seolah-olah menggambarkan kesunyian, kedinginan, dan gelapnya ajal saat menjemput. Pada hakikatnya, waktu dengan kematian memang saling berdampingan. Manusia sebagai insan yang fana memiliki batas waktu yang akan selalu diiringi dengan kematian.
Saat sakit, setiap manusia pastinya akan terbayang akan kematian. Karena mati tidak bisa dicegah oleh obat. Namun, Tuhan terkadang berbaik hati memberikan jatah waktu yang lebih panjang. Hingga akhirnya manusia akan terus menjalani hidupnya lagi seperti biasa, kembali menunggu dan mempersiapkan bekal apa yang menjadi penolong pada saat maut meghampiri.
Terdapat beberapa kata yang menimbulkan makna konotasi dalam puisi tersebut, yaitu “percakapan merendah” yang memiliki arti bahwa percakapan tersebut akan segera berakhir atau habis. Selanjutnya, “berangkat berduka” yang memiliki arti barang siapa saja yang akan menghantar ketika seseorang telah tiada sedangkan “kekal dalam rahasia” memiliki makna abadi dalam ketidaktahuan karena sejatinya kita sebagai manusia tidak pernah tahu kapan kematian akan menghampiri.
“Waktu lonceng berbunyi”
Pada bait pertama pusinya, penyair memberikan pesan yang mengandung makna tersirat di dalamnya. Lonceng di sana menggambarkan pengingat kapan kematian itu tiba. Ketika telah waktunya berbunyi maka kita sudah tidak bisa lagi lari dari kejarannya. Seperti diburu waktu, namun itulah kebenarannya. Kematian menjadi hal yang tidak pernah diharapkan kedatangannya. Meski kita sebagai manusia sudah terlalu sering Tuhan ingatkan, tetapi tetap saja masih suka menghiraukan.
“kau berbisik: siapa lagi akan tiba
siapa lagi menejemputmu berangkat berduka”
Dari bait di atas, tergambar jelas bentuk ketakutan, kekhawatiran dan ketidaksiapan. Kematian merupakan peristiwa akbar tanpa harus menunggu perizinan manusia. Memangnya siapa kita? Kematian selalu menjadi tema dalam setiap judul kehidupan. Selalu menjadi bayang-bayang untuk meratapi amalan. Dari kematian akan lahir kehilangan dan disusul dengan kesedihan.
Melalui puisi Dalam Sakit, penyair mengajak kita untuk waspada. Menyadarkan kita bahwa tak pernah ada yang tahu kapan maut akan datang. Sungguh ini adalah waktu yang tidak boleh disia-siakan. Banyak celah untuk menabung pahala. Karena kematian akan memanggil siapa saja yang sudah tiba waktu berpulangnya. Akan ada saatnya duka menjadi perasaan yang mendominasi pada saat-saat kehilangan. Setelahnya, hanya kata tabah yang menjadi penenang. Pada akhirnya, akan dimulai kembali percakapan-percakapan kecil sembari menunggu waktunya tiba.
Kita sebagai manusia yang tak luput dari dosa, senantiasa harus lebih belajar memaknai hidup, bersyukur atas segala yang dipunya. Karena jika memandang lebihnya saja, manusia tidak akan pernah puas atas segalanya. Tidak pernah cukup dan selalu saja merasa kurang. Kita harus mempersiapkan amalan yang akan menjadi teman yang benar-benar teman sampai hari akhir itu tiba. Sebab, kematian tak akan pernah pandang bulu pada siapa pun.
Ikuti tulisan menarik Maulidya Cahya Prastika lainnya di sini.