Berbicara tentang sastra tentunya akan melibatkan karya yang banyak dan beragam, dengan banyak karya sastra, baik cerpen, puisi, drama, novel. Karya sastra adalah imajinasi, hasil kreativitas pengarang. Tujuannya adalah untuk menyampaikan pesan dan fakta kehidupan dalam bentuk tulisan.
Awal sejarah sastra pesantren diawali dengan berdirinya pesantren di Tegalsari yang didirikan pada tahun 1742. Saat ini pesantren menjadi tempat imajinasi para sastrawan/penulis untuk menciptakan karya sastranya. Inspirasi bukan hanya dari kitab kuning, akan tetapi dari pengalaman sejarah bangsa sendiri pada zaman Hindu, Budha dan Wali Sanga (Baso, 2012).
Beberapa penulis pesantren atau alumni pesantren yang telah berada di garis depan sastra Indonesia. Seperti: A. Mustofa Bisri (dikenal dengan Gus Mus), Emha Ainnun Nadjib, Mathori Elwa, Jamal D Rahaman, Abidah ElKhalieqy, D. Zawawi Imron, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer dan masih banyak lagi. Kemudian yang masih muda adalah Achmad Fiqih Mahfudz, Zaki Zarung, Mohammad Al Fayyadl, dll. Karya-karya mereka melahirkan cerita yang begitu indah, bernuansa religi dan etnik yang sering diajarkan di pesantren-pesantren.
Bacaan yang sering dibacakan dan dilantunkan oleh santri-santri pesantren di tanah air, dengan kekuatan yang indah, nilai-nilai kesakralan, kemanusiaan dan pemahaman. Inilah bagaimana pesantren naik ke kekuasaannya di kalangan sastra.
Qaala Muhammadun Huwa Ibn Maliki 'Muhammad Ibn Malik berkata:'
Ahmadu Rabbiy Illaha Khaira Maliki 'Aku memuji Allah Tuhanku serta Dia adalah sebaik-baiknya dzat yang memiliki'
Musholliyan Alannabiyyil Mushtofa 'Dengan bersholawat kepada nabi terpilih
Wa Alil Mustakmiliina Syarofaa "dan atas keluarganya yang mencapai derajat kemulyaan"
(Nadhom Alfiyah Ibnu Maliki)
Syair di atas merupakan Nadhom Alfiyah Ibnu Maliki, para ulama mengakui bahwa Alfiyah Ibnu Malik adalah yang terbaik dan paling ringkas, dan paling unggul dibidang Nahwu. Alfiyah Ibnu Malik merupakan pendidikan Islam yang sangat dekat, karena semua ilmu yang ada pasti berhubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya seperti Al-Qur'an dan Al Hadits, seperti Nahwu dan Shorof yang sering disebut saudara. Karena mereka selalu bersama, dalam maqolah arab dikatakan: "Asshorfu Ummul Uluumi Waa Nahwa Abuuhu" "Shorof adalah ibu dari ilmu (Agama) dan Nahwu adalah bapaknya."
Pembacaan syair-syairnya juga sudah menjadi santapan sehari-hari seorang santri di sebuah pondok pesantren di negeri ini, sudah menjadi kewajiban bagi para santri untuk memahami ayat-ayat di atas sebagai dokumentasi pembelajaran di pesantren. Di pesantren kami juga mengajarkan Mahfudzot, yaitu kata mutiara indah, umumnya santri menghafalnya setiap hari dan mengamalkannya setiap hari untuk memotivasi diri. Contoh: "Khoiru Jaliisin Fi Kulli Zamani Kitabun." “Buku dan kitab suci adalah sahabat terbaik sepanjang masa.”
Tidak hanya itu, banyak kegiatan kesenian yang dilakukan di pesantren. Seperti Muhadhoroh, Musabaqoh, Porseni (Pekan Olahraga dan Seni), Funun (Seni), Syahrul Lugoh (Bulan Bahasa), Tabligh Akbar. Oleh karena itu, belajar di Pesantren lebih mudah dilatih untuk mendorong keberhasilan santri dalam mengajar sastra di Pesantren. Dan dapat mengembangkan potensinya dengan mengikuti acara-acara yang diadakan oleh pesantren atau yang diselenggarakan oleh manajemen. Seperti halnya lomba menyanyi, membaca puisi, akting, dll, dari hasil karya siswa peserta lomba dapat mengetahui kualitas karyanya.
Tinjauan Pustaka:
Muh. Sungaidi, Pesantren, Dakwah Islam dan Sastra, yang diakes pada tanggal 03 November 2021, pukul 10.11 wib.
Afandi, Moh. Luthfi, MEMBUMIKAN NILAI-NILAI AKHLAQ DALAM KITAB AL-FIYAH IBNU MALIK DI PONDOK PESANTREN ROUDHLATUL MUTAALLIMIN AL AZIZIYAH II SEBANEH BANCARAN BANGKALAN, yang diakses pada tanggal 05 November 2021, pukul 15.00 wib
Ikuti tulisan menarik Qomariia Hassanah lainnya di sini.