x

Perempuan dan Sastra

Iklan

Arien Cahyani Putri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Desember 2021

Minggu, 26 Desember 2021 06:04 WIB

Permasalahan Perempuan dalam Novel Atheis Karya Achdiat K. Mihardja

Terdapat ragam permasalahan yang dibahas dalam novel, salah satunya adalah permasalahan perempuan. Banyak sekali bermunculan berita bahwa perempuan menjadi korban pelecehan dan kekerasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Novel menjadi karya sastra yang paling banyak beredar dan dicetak. Hal ini dikarenakan kepopulerannya yang banyak mengandung nilai kehidupan. Terdapat ragam permasalahan yang dibahas dalam novel, salah satunya adalah permasalahan perempuan. Permasalahan tersebut tiada hentinya hingga saat ini. Banyak sekali bermunculan berita bahwa perempuan menjadi korban pelecehan dan kekerasan. Ini disebabkan banyak yang mengasumsikan derajat laki-laki selalu berada di atas kaum perempuan, sehingga kaum laki-laki bertindak semena-mena kepada perempuan. Seperti yang diungkapkan oleh Kurniati (2014:158), ruang gerak kaum perempuan menjadi semakin sempit karena kedudukan perempuan selalu berada di bawah kaum laki-laki.

Permasalahan perempuan menjadi topik yang menarik hingga para pengarang menuangkan permasalahan ini ke dalam karyanya. Oleh sebab itu, karya sastra menggambarkan adanya fenomena keperempuanan yang mesti dijelaskan dan diungkap pada masyarakat. Melalui teori feminis diharapkan dapat membuka pandangan-pandangan baru, khususnya berhubungan dengan bagaimana karakter perempuan diwakili dalam sastra. Model analisis yang menjadi alat kritik sastra feminis adalah yang mempersoalkan keadilan sosial dari sudut pandang hubungan antar jenis kelamin.

Seperti pada tokoh Kartini dalam novel berjudul Atheis karya Achdiat K. Mihardja yang ditampilkan sebagai tokoh utama perempuan modern dan aktivis ideologi marxis. Selain adanya pertentangan antar ideologi, dalam novel ini juga menceritakan bahwa Kartini telah mengalami dan melihat ketidakadilan gender sejak usianya masih kanak-kanak hingga dewasa. Berikut kutipan dalam novel Atheis mengenai permasalahan perempuan yang dialami Kartini dan di sekitarnya:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

  1. Pernikahan Usia Dini Demi Keuntungan Lain

Pada bagian keempat novel Atheis, Rusli menceritakan kepada Hasan mengenai latar belakang Kartini yang ternyata sudah pernah menikah dengan seseorang yang lebih tua pada saat usianya 17 tahun karena dipaksa oleh ibunya demi mencari keuntungan belaka.

..... Kartini itu telah dipaksa kawin oleh ibunya dengan seorang rentenir Arab yang kaya. Arab itu sudah tua, tujuh puluh tahun lebih umurnya, sedang Kartini baru tujuh belas, gadis remaja yang masih sekolah Mulo, baru naik ke kelas dua. Tapi karena dipaksa kawin, maka gadis itu terpaksa keluar dari sekolahnya. Ibunya memaksa kawin dengan si Arab tua itu, semata-mata untuk mencari keuntungan belaka. Dan entah bagaimana jalannya tapi berhasillah agaknya kepada si ibu itu untuk menggaruk sedikit dari kekayaan si Arab kikir itu: tanah dua bau dan rumah satu, yaitu rumah di Lengkong Besar yang sekarang didiami oleh Kartini. Desas-desus pula, Kartini dan ibunya itu "diborong" oleh si Arab tua itu.” (Mihardja, 2010:34-35).

 

  1. Mencari Nafkah dengan Menjual Kehormatan Perempuan

Di bagian ketujuh novel Atheis, Kartini dan Hasan sedang berbincang di sebuah taman yang sunyi pada malam hari. Kemudian mereka melihat kedua perempuan yang sedang dibentak oleh seorang agen polisi. Tak hanya dibentak, kedua perempuan itu pun didorong dan ditendang hingga menjerit menangis minta ampun. Ternyata agen polisi tersebut sedang melakukan patroli dan memergoki kedua perempuan yang sedang menyelundup sebagai Pekerja Seks.

"Lagi orang-orang yang malang," kata Kartini setengah dalam mulut. Mengeluh ia serta sambungnya, "Korban kapitalisme! Mereka sampai-sampai menjual kehormatannya, karena tak sanggup mencari sesuap nasi. Karena masyarakat terlalu bobrok, tak sanggup memberi pekerjaan yang halal kepada orang-orang yang malang itu! (mendesis-desis suaranya) Cih! Massssyyarakat bobrok kayak gini. Mana jaminan hidup untuk warganya!" (Mihardja, 2010:127).

 

  1. Kekerasan Psikologis Terhadap Perempuan

Mimi merupakan pembantu yang ada di rumah Kartini. Pada bagian kedua belas, Mimi menjadi korban kekerasan psikologis oleh Hasan. Hasan cemburu oleh Kartini karena mengetahui saat ia tidak ada di rumah, Anwar sering bertemu dengan Kartini. Kemudian Hasan melampiaskan amarahnya kepada Mimi dengan memberikan kata-kata kasar yang membentak.

"Mimi! Mimi! Lu goblok! Tuli! Tidak dengar?!"

Si Mimi memburu ketakutan dari dapur. Sanggulnya lepas dalam lari. Dan sambil membenarkan sanggulnya kembali, ia sejurus kemudian sudah berada di hadapanku.

"Kenapa tidak kau angkat terus ini?! Lu cuma bisa ngeloyor saja seperti lonte?!” (Mihardja, 2010:184).

 

  1. Kekerasan Fisik

Di bagian kedua belas, Hasan dan Kartini bertengkar hebat karena kecemburuan dan kecurigaan Hasan kepada Kartini yang terus bertemu dengan Anwar di belakangnya. Kartini juga merasa bahwa Hasan menutupi banyak hal darinya, seperti ia tidak mengetahui bahwa suaminya (Hasan) telah menemui Fatimah, kemudian ia mengetahui itu dari surat anonim. Hal ini membuat keadaan rumah tangga mereka penuh ketegangan dan perkelahian.

Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar! Tar! Kutempeleng Kartini.

"Aduh!" pekiknya, sambil menutup pipinya yang kanan dengan tangannya. Kujambak rambutnya! Kurentakkan dia dengan sekuat tenaga, sehingga ia jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya berdentar kepada daun pintu. Menjerit-jerit minta ampun!” (Mihardja, 2010:185).

 

  1. Kekerasan Seksual

Pada bagian keempat belas, Kartini meninggalkan rumahnya karena berkelahi dengan Hasan. Kemudian Kartini bertemu dengan Anwar di perjalanan dan menceritakan kejadian yang ia alami dengan Hasan. Anwar membujuk Kartini yang tidak tahu kemana tujuannya untuk menginap di penginapan dekat stasiun. Dan ternyata saat di kamar, Anwar mulai mengikuti nafsu birahinya dengan mendekati dan menyentuh Kartini.

Anwar makin bernafsu. Bernafsu seperti gurila yang terlalu lama terkurung, tiba-tiba dilepaskan kepada betinanya. Dipegangnya tangan Kartini, dan pinggang yang lesu itu sudah dipeluknya dengan tangannya yang sebelah lagi, tapi Kartini bergerinjal-gerinjal seraya mengancam, "Kenapa kau begitu, War? Awas, aku akan menjerit minta tolong!" (Mihardja, 2010:223).

Ikuti tulisan menarik Arien Cahyani Putri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB