x

KH Yahya Cholil Staquf, alias Gus Yahya menjadi Ketum PBNU priode 2021- 2026. Foto- Ist.

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Jumat, 21 Januari 2022 08:35 WIB

Kepemimpinan Baru Nahdlatul Ulama dan Pentingnya Ekspansi Islam Nusantara


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terpilihnya Kiai Yahya Cholil Staquf atau lebih dikenal sebagai Gus Yahya sebagai Ketua Umum Pengurus Baru Nahdlatul ‘Ulama (NU) memberikan asa baru bagi umat muslim di Indonesia. Dan wabil khusus juga asa baru bagi warga NU untuk kemajuan yang akan ditempuh sebagai organisasi massa muslim terbesar di Indonesia lima tahun kedepan.

Terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU periode 2021-2026 terjadi setelah pelaksanaan Muktamar ke-34 Nahdlatul ‘Ulama dilaksanakan di Universitas Islam Negeri Raden Intan, Lampung pada 22-24 Desember lalu. Pelaksanaan muktamar ditujukan sebagai musyawarah semua pimpinan NU – dari Pengurus Besar hingga Pengurus Cabang Istimewa di seluruh dunia – untuk memilih pemimpin NU periode selanjutnya. Muktamar NU itu berlangsung begitu dinamis, dimana setiap calon telah mengklaim dirinya mendapatkan dukungan dari berbagai PCNU di daerah. Musyawarah penentuan ketum sempat memanas, meski akhirnya mereda kembali berkat kecakapan pemimpin sidang.

Sepanjang pelaksanaan muktamar, terdapat dua nama yang menjadi calon kuat untuk menjabat sebagai Ketua Umum PBNU selanjutnya. Namun terdapat satu nama lagi yang maju tepat saat muktamar berlangsung. Dua nama tersebut ialah KH Said Aqil Siradj sebagai petahana Ketum PBNU dua periode (periode 2010-2015 dan 2015-2021) dan KH Yahya Cholil Staquf selaku penantang kuatnya. Sementara untuk satu nama yang diajukan saat muktamar berlangung yaitu KH As’ad Said Ali yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum PBNU periode 2010-2015.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kendati ketiga nama tersebut dimajukan sebagai calon ketua umum PBNU menjelang muktamar, namun persaingan diantara NU sendiri lebih mengerucut kepada rivalitas KH Said Aqil dengan Gus Yahya dikarenakan keduanya secara resmi mengajukan diri sebagai calon ketua umum PBNU sekaligus menggalang dukungan dari seluruh daerah. Rivalitas tersebut setidaknya tercermin dalam beberapa ulasan media mengenai prediksi kepemimpinan hingga pengaruh yang dihasilkan dari kepemimpinan salah satu calonnya di masa selanjutnya.

Sementara untuk As’ad Ali sendiri dinilai berada pada dua posisi vis-à-vis terhadap kedua calon sebelumnya. Dia bisa menjadi “kuda hitam” strategis untuk menaklukkan posisi Ketum PBNU. Bisa juga untuk memecah rivalitas antara dua kubu tersebut dengan menggalang suara baru dari kalangan Nahdliyin, sehingga posisi As’ad Ali seolah hanya menjadi “pelengkap” sepanjang pelaksanaan muktamar.

Muktamar akhirnya mendapatkan penentuannya pada tanggal 24 Desember, dimana mekanisme penghitungan suara menjadi agenda terakhir dari Muktamar PBNU yang sekaligus menentukan nakhoda kepemimpinan NU kedepannya dan mekanisme voting atau dikenal sebagai pemungutan suara digunakan sebagai alternatif dari mekanisme musyawarah yang tidak menemui titik temu pada hari sebelumnya. Pemilihan yang dilangsungkan sejak pukul 06.40 hingga 09.30 pagi akhirnya dimenangkan oleh Gus Yahya dengan perolehan 337 suara, sementara Said Aqil hanya mendapatkan 210 perolehan suara yang mana kemudian praktis menjadikan Gus Yahya sebagai Ketum PBNU baru periode selanjutnya.

Seperti diketahui, Gus Yahya yang merupakan anak dari KH Muhammad Cholil Bisri memiliki kedekatan yang erat dengan KH Abdurrachman Wahid atau dikenal sebagai Gus Dur, dimana kedekatannya dengan Gus Dur telah terjalin sejak menjadi juru bicara presiden Gus Dur pada 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001 dan dalam satu kesempatan Gus Yahya pernah mengganti Gus Dur untuk mewakili Indonesia dalam konferensi Organisasi Kerjasama Islam (OKI) di Qatar, yang mana hal tersebut mencerminkan kedekatan Gus Yahya dengan Gus Dur sebagai murid maupun juru bicara kepresidenan. Tidak hanya memiliki kedekatan dengan Gus Dur, Gus Yahya juga memiliki reputasi yang tinggi dalam dunia internasional, dimana beliau sering menjadi pembicara dalam forum internasional sekaligus aktif dalam menyuarakan perdamaian. Salah satu kiprahnya tercermin melalui pendirian institut Bayt Al-Rahmah di Amerika Serikat yang mana pendirian institut keagamaan ini diinisiasi oleh Gus Yahya dan bekerjasama dengan lembaga lainnya untuk merangkul umat muslimin sekaligus menyebarkan pesan perdamaian ke seluruh dunia.

Selain itu, Gus Yahya turut menghadiri forum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2020, dimana dalam forum tersebut beliau menyampaikan tentang pentingnya konsensus nilai keadaban sebagai basis integrasi masyarakat global untuk mencegah adanya perpecahan dan Prakarsa Agama-agama Ibrahimiyah dipandang Gus Yahya sebagai pendorong terwujudnya konsensus tersebut supaya perdamaian dan toleransi antar umat beragama dapat tercipta di seluruh dunia. Berkaca dari pengalaman di kancah internasional terutama sebagai pembawa pesan terhadap moderasi beragama dan toleransi, maka naiknya Gus Yahya sebagai ketua umum baru PBNU dapat dipastikan akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap Nahdlatul ‘Ulama untuk memperkuat nilai-nilai moderasi Islam sekaligus mengekspansikan Islam ala Nusantara dalam menghadapi ideologi Islam transnasional, seperti Wahhabi, Hizbut Tahrir, Khilafahisme, dan lain sebagainya. Sebagaimana kehendak Gus Yahya yang ingin membangkitkan nilai-nilai Gus Dur kedalam organisasi pimpinannya, maka hal tersebut masuk akal apabila Gus Yahya ingin menjadikan NU sebagai “soko guru” pluralisme dan Islam tawasuth, dan berkaca dari Indonesia yang merupakan bangsa multikultural, maka kehadiran Gus Yahya dalam menakhodai NU akan memberikan modal besar bagi bangsa Indonesia dalam mengembangkan Islam Nusantara ke seluruh dunia.

Seperti diketahui, Islam Nusantara yang merupakan representasi dari Islam tawasuth (Islam moderat) dari Nahdlatul ‘Ulama ini telah menjadi identitas eksentrik mengenai bagaimana umat muslim di Indonesia mengedepankan prinsip-prinsip Islam inklusif, moderasi, pluralisme, dan kebangsaan dalam membangun keadaban umat. Selain itu, Islam Nusantara yang dipunggawai oleh NU mengisyaratkan tentang simbiosa agama dan negara dengan menghendaki bentuk negara kesatuan dan sistem politik demokrasi di Indonesia merupakan bentuk final dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana ajaran agama Islam yang tidak memberikan isyarat baku dalam membentuk suatu negara, sehingga paham ini menolak segala bentuk ideologi Islam radikal dikarenakan ideologi ini tidak sesuai dengan ajaran inti dari Islam yang membawa rahmat sekaligus merusak keutuhan bangsa maupun pluralisme antar umat beragama.

Namun demikian, potensi terorisme yang diwakili kelompok Jama’ah Islamiyah dan lain sebagainya masih menjadi tantangan besar untuk mewujudkan perdamaian dunia sekaligus Islam yang rahmatan lil ‘alamin dan inklusif, sehingga NU memerlukan strategi yang tepat dalam menyebarkan Islam Nusantara demi mewujudkan inklusivitas tersebut. Selain pemberdayaan PCINU sebagai representasi di berbagai negara, perlu kiranya bagi NU untuk menyusun Strategic Framework on Global Islam Nusantara yang berisikan tentang rencana strategis yang akan dilakukan NU dalam mempromosikan Islam Nusantara ke seluruh dunia, termasuk negara Islam. Dengan pembentukan kerangka strategis beserta semua komponennya, maka Islam Nusantara tidak hanya akan menjadi identitas Indonesia belaka, melainkan akan berkembang menjadi identitas Islam global sekaligus mencegah penyebaran radikalisme dan terorisme di seluruh dunia.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB