x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Senin, 2 Oktober 2023 18:55 WIB

Satu Tahun yang Melelahkan: Ambiguitas Penyelesaian Tragedi Kanjuruhan

Posisi mereka sama seperti korban konflik agraria yang semakin meningkat pada era Presiden Jokowi ini. Mereka perlu kepastian penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan, dan bagaimana mereka mendapatkan hak-hak yang layak didapatkan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tidak terasa, saat ini sudah memasuki bulan Oktober. Bulan yang termasuk kuartal terakhir di tahun 2023 ini sepintas dianggap sebagai bulan biasa yang akan dijalani oleh setiap umat manusia. Namun tidak demikian dengan sebagian kalangan, termasuk keluarga korban dan pemerhati hak asasi manusia. Secara tiba-tiba, bulan ini menjadi saksi sejarah dari kisah kelam dalam jagat pesepakbolaan di Indonesia, khususnya jika berkaca dari setahun belakangan. Yap, Tragedi Kanjuruhan itulah yang dimaksud sebagai tragedi terkelam yang pernah ada. Tragedi yang menewaskan 135 orang dan lebih 700 orang luka-luka (catatan resmi dari berbagai pihak) menjadi peristiwa yang secara eksplisit menjelaskan bagaimana dunia sepakbola tidak lepas dari malapetaka.

Selain malapetaka, tragedi ini juga menggambarkan secara jelas bagaimana polisi sebagai aparat keamanan sipil masih kental dengan instrumen kekerasan dalam mengamankan pertandingan sepakbola, yang mana seharusnya bisa dijalankan dengan prosedur yang humanis.

Pernyataan di atas tentu beralasan jika dihubungkan dengan tragedi Kanjuruhan. Pertandingan antara Persebaya dengan Arema yang dimenangkan oleh Persebaya ini pun sejatinya tidak berakhir ricuh karena supporter sebagaimana yang diamini banyak orang, sebaliknya kehadiran supporter Aremania ke lapangan hanya ditujukan untuk memberikan sambutan hangat kepada pemain Aerma yang sudah berjuang sekuat tenaga.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Akan tetapi, kondisi di Kanjuruhan berlangsung ricuh saat polisi menembakkan gas air mata ke hampir seluruh sisi tribun hanya untuk menenangkan massa, sungguh hal yang tidak masuk akal jika supporter yang tenang di tribun harus “dihabisi” oleh gas air mata untuk menenangkan kerusuhan di lapangan. Tindakan ini jelas melanggar ketentuan dalam dunia pesepakbolaan secara global, karena selain penggunaan gas air mata, polisi pun juga menggunakan selongsong gas air mata kadaluarsa yang lebih berbahaya dan tindakan tersebut juga dilakukan di tengah kepadatan stadion.

Alhasil, ratusan nyawa harus menghilang karena terkena efek gas air mata pasca berhasil keluar dari stadion. Tidak hanya korban meninggal, ratusan lainnya juga terluka, baik karena berdesak-desakan di stadion hingga mendapatkan pukulan dari aparat. Secara kasat mata, tragedi ini sudah termasuk pelanggaran HAM berat karena represivitas aparat disatu sisi menumbalkan nyawa yang tidak bersalah. Merespon insiden ini, gelombang gerakan #UsutTuntas mulai “menerjang” satu demi satu dan mereka juga menuntut penegakkan hukum yang seadil-adilnya atas tragedi tersebut.

Tidak hanya menuntut keadilan, mereka juga mendesak Komnas HAM dan Presiden Jokowi untuk menetapkan tragedi tersebut sebagai pelanggaran HAM berat, supaya penanganan kasus ini juga berjalan secara khusus. Usut demi usut, justru bayak kejanggalan yang ditemukan dalam penanganan tragedi. Yang terbaru, Jokowi bersama Basuki Hadimuljono selaku Menteri PUPR berencana untuk merenovasi stadion Kanjuruhan atas rekomendasi FIFA dan renovasi ini sedang dilakukan saat ini dengan anggaran yang fantastis, mencapai Rp 399 miliar berdasarkan data Laporan Pengadaan Secara Elektronik.

Renovasi ini jelas menjadi bentuk pelanggaran terhadap pengusutan kasus Kanjuruhan secara utuh dikarenakan pergantian stadion ini otomatis menghapus bukti lebih lanjut yang diperlukan untuk mengadvokasi lebih lanjut tragedi ini. Selain adanya keputusan untuk menghapus laporan model B, renovasi ini juga akan menghapus upaya lebih lanjut dalam mengusut tuntas kasus ini

Ini artinya, stadion yang disatu sisi menjadi barang bukti dari tragedi ini akan hilang dengan sendirinya dan ini juga dapat menjadi bentuk pengaburan fakta di lapangan, sehingga jelas proses hukumnya tidak akan berjalan secara transparan dan akuntabel sesuai dengan tuntutan kawan-kawan Aremania. Selanjutnya ialah keputusan Mahkamah Agung yang menganulir vonis bebas terhadap terdakwa penembakan gas air mata, yang mana MA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya yang seolah “membebaskan” penembak gas air mata menjadi 1 tahun 6 bulan penjara untuk kedua pelaku. Kasarannya, memang ini “sedikit” mendingan daripada vonis bebas yang kerap didukung dengan alasan ketiup angin.

Namun tetap saja keputusan MA ini tidak memenuhi rasa keadilan terhadap penegakkan hukum tragedi Kanjuruhan, dan ini juga menjadi contoh bagaimana kebobrokan aparat dalam menangani massa di Kanjuruhan justru “didukung” secara halus oleh pengadilan yang seharusnya lebih objektif dan independen dalam mengambil keputusan. Tidak hanya membiarkan penanganan tidak terurus, putusan MA ini juga disatu sisi membuka tabir perih bagi mereka yang dirugikan oleh tragedi Kanjuruhan. Hal ini dikarenakan residu yang ditimbulkan dari tragedi ini masih belum pulih sepenuhnya dari peristiwa, terutama hak-hak keluarga korban yang masih terabaikan oleh negara, dan sikap tersebut juga menjadi pembuka dari pelanggaran terhadap pemenuhan hak-hak yang seharusnya diberikan oleh pemerintah sebagai bentuk kewajiban mereka.

Dari dua peristiwa terbaru mengenai Tragedi Kanjuruhan, bisa ditelisik bagaimana penyelesaian kasus ini seolah dianggap “angin lalu” oleh pemerintah. Penjatuhan tersangka sudah dilakukan, dan hukuman terhadap mereka pun juga sudah dijatuhkan oleh pengadilan, dan yaah, beres sesuai versi mereka.

Tapi kenyataannya, bukan itu yang dicari oleh supporter maupun keluarga korban tragedi ini. Mereka mencari keadilan yang masih belum didapatkan atas kejadian yang mengerikan ini. Posisi mereka sama seperti korban konflik agraria yang semakin meningkat pada era Jokowi, yaitu mereka perlu jawaban atas kepastian perlakuan dari penegak hukum terhadap pelaku kejahatan dan bagaimana mereka mendapatkan hak-hak yang layak didapatkan, seperti hak berpendapat di pengadilan, hak kompensasi, hingga hak untuk berdaulat dengan kaki mereka sendiri. Faktanya, alih-alih menghadirkan keadilan, sikap negara justru seolah “menutupi” tragedi Kanjuruhan dengan hal-hal yang bisa dikompromikan, layaknya hukuman ringan hingga renovasi stadion dengan dalih memulihkan reputasi Indonesia.

Alhasil, waktu yang tersisa menuju satu tahun Kanjuruhan tidak berakhir seperti yang diharapkan. Jika hal demikianlah yang terjadi, maka tidak ada jalan lain selain mengupayakan dua hal, yaitu melanjutkan upaya litigasi secara terus-menerus dan menjadikan tragedi Kanjuruhan sebagai “ingatan publik”. Upaya litigasi sampai saat ini masih dikawal oleh TATAK dan LBH Pos Malang yang masih kencang menggaungkan upaya ini ke ranah nasional dan tentu upaya tersebut bukan hal yang mudah, apalagi berurusan dengan tindak pidana yang jelas dipegang oleh pengadilan dan penegak hukum.

Namun demikian, dengan upaya yang dilakukan secara konsisten dan juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, tentu upaya ini dapat menekan pemerintah supaya lebih serius menangani Tragedi Kanjuruhan. Tidak hanya soal pidana saja, namun pemenuhan hak-hak korban yang belum ditunaikan negara. Selain litigasi yang kontinyu, perlu juga penetapan tragedi ini sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM, agar supaya pemerintah lebih serius menangani tragedi ini dan menjadikan Kanjuruhan sebagai “saksi pilu” yang dikenang semau elemen masyarakat.

Penetapan ini tentu tidak bisa berjalan baik tanpa adanya desakan dari masyarakat sipil untuk membuatnya terjadi. Dengan demikian, segenap elemen masyarakat, tidak hanya dari Aksi Kamisan dan BEM kampus semata yang menyuarakan, namun juga semua individu yang sadar akan timpangnya keadilan di bumi pertiwi ini. Dengan demikian, alih-alih memecah diri masing-masing ke dalam kubu yang berlawanan, konsolidasi dan kesatuan dari semua harus digenjot terus untuk mengawal kasus ini.

Selain itu, penyadaran publik akan tragedi ini juga perlu digaungkan secara kontinyu supaya ingatan akan tragedi ini tidak menghilang, bahkan membekas ke dalam alam bawah sadar masyarakat. Akhir kata, menjelang satu tahun tragedi Kanjuruhan, masih banyak hal yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini dan hal ini akan terjadi bila semau elemen sadar dan terlibat lebih keras dalam menekan pemerintah memberikan keadilan terhadap tragedi ini.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu