x

Iklan

Dhien Favian

Mahasiswa Sosial-Politik
Bergabung Sejak: 19 November 2021

Kamis, 6 Juli 2023 06:29 WIB

Siasat Politik di Balik Pengesahan Revisi UU Desa

Hal yang paling disorot ialah sikap beberapa fraksi yang menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa. Gagasan perpanjangan jabatan kepala desa menimbulkan kontroversi sejak pertama kali digaungkan. Usulan tersebut muncul di tengah berhembusnya upaya “licik” elite politik dalam merongrong konstitusi,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Publik kembali disajikan berita yang tidak mengenakkan di media massa. Bagaimana tidak, pada Jum’at lalu, 23 Juni 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pembahasan revisi atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014  tentnag Desa (UU Desa) yang sebenarnya masih menjadi perbincangan publik itu. Hal yang paling disorot RUU tersebut ialah sikap beberapa fraksi DPR yang menyetujui perpanjangan masa jabatan kepala desa.

Isu mengenai revisi UU Desa ini “sengaja” diarahkan pada topik perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun untuk satu periode. Terdapat tujuh fraksi yang menyetujui hal itu, yakni Golkar, PDIP, PKB, Gerindra, PKS, PAN dan PPP.  Hadirnya PKS ini sungguh menjadi kontradiksi, sebab posisi politiknya nya di kubu oposisi. Sementara itu, dua fraksi lainnya, Nasdem dan Demokrat, belum menyatakan sikap.

Ibnu Multazam dari PKB menguslkan perubahan masa jabatan kepala desa langsung berlaku dan hal ini disetuji Muzammil Yusuf (PKS). Ia menyebut perpanjangan ini akan segera dieksekusi setelah revisi UU Desa disetujui DPR dan Pemerintah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Badan Legislatif DPR juga menyetujui pembahasan revisi tersebut ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2023. Ini artinya revisi bisa disahkan dalam beberapa bulan mendatang. Soliditas yang ditunjukkan tujuh fraksi ini memang tidak bisa dianggap sebagai hal yang baru akhir-akhir ini, mengingat sikap DPR yang afirmatif ini kembali ditampakkan bila berhubungan dengan peraturan kontroversial.

Revisi ini tidak bisa dinafikkan sebagai langkah kontroversi berikutnya dari lembaga legislatif sebesar DPR. Revisi UU Desa ini sudah digaungkan sejak massa dari APDESI (Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia) melakukan demonstrasi di depan Senayan bulan Maret lalu.

Revisi pada mulanya diusulkan Ahmad Doli Kurnia dari Komisi II DPR untuk dibahas segera oleh DPR. Revisi ini diekspektasikan akan memberikan kewenangan lebih besar bagi desa dalam mengatur otonominya. Salah satunya merujuk pada peningkatan alokasi Dana Desa yang lebih besar, di mana massa APDESI menuntut peningkatan dana tersebut untuk memaksimalkan program pembangunan desa beserta kesejahteraan perangkat desa yang kerap termariginalkan.

Kendati alokasi Dana Desa kini sudah meningkat di bawah kepemimpinan Abdul Halim Iskandar sebagai Menteri Desa, namun alokasinya kerap tidak seimbang dengan kebutuhan desa. Selain itupemberiannya pun bersifat fluktuatif antara satu desa dengan lainnya. Atas dasar itulah, revisi ini akan membuka pintu bagi peningkatan alokasi anggaran tersebut secara langsung dari pusat, terutama melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi sebagai stakeholder utamanya.

Namun kemudian, satu hal yang menjadi perhatian utama dari upaya revisi ini ialah ide perpanjangan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Sebelumnya, isu ini memang sudah dihembuskan oleh Budiman Sudjatmiko, di mana ia mengklaim telah berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo mengenai perlunya perpanjangan jabatan kepala desa. Budiman mengklaim sang presiden setuju akan ide tersebut dengan alasan bahwa perpanjangan ini akan mendorong pelayanan publik yang lebih berkualitas di tingkat desa.

Akan tetapi, usulan perpanjangan tersebut sarat akan kepentingan politik di dalamnya. Berbagai media nasioanl seperti Tempo maupun Kompas menyebut bahwa usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa ini dihembuskan oleh Istana beserta Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai mayoritas di parlemen. Hal ini didasarkan pada klaim yang disampaikan oleh Budiman Sudjatmiko bahwa masa jabatan kepala desa yang diperpanjang hingga sembilan tahun akan memampukan tata kelola pemerintahan desa secara lebih baik.

Akan tetapi, perpanjangan jabatan kepala desa memang menimbulkan kontroversi sejak pertama kali digaungkan. Hal ini dikarenakan usulan tersebut justru bergaung di tengah berhembusnya upaya “licik” elite politik untuk merongrong konstitusi, baik penundaan pemilu maupun Jokowi tiga periode. Selain itu, dengan munculnya demonstrasi secara sporadis oleh massa yang mengklaim dirinya berasal dari “perwakilan kepala desa dari seluruh Indonesia”, maka ada indikasi bahwa demonstrasi tersebut “digerakkan” oleh narasi politik yang tidak konstruktif untuk meminta perpanjangan jabatan.

Dengan demikian, ketika Baleg DPR resmi memasukkan revisi UU Desa sebagai Prolegnas tahun ini, maka potensi pengesahan undang-undang baru tersebut akan segera lolos dalam waktu dekat, terlepas revisinya bersifat parsial atau total. Melalui kacamata politik, terdapat setidaknya tiga aspek yang menggambarkan bagaimana pengesahan revisi UU Desa oleh DPR ini kental akan unsur politis dan sarat akan kepentingan jangka pendek alih-alih memenuhi kebutuhan nasional jangka panjang. Pertama ialah potensi konflik yang meningkat, di mana perebutan kursi “kepala desa” selalu menjadi pertarungan sengit menjelang Pilkades. Posisi kepala desa memang strategis dalam menjalankan kehidupan politik di desa – terutama pengelolaan anggaran dan kebijakan yang sebagian besar dibebankan kepada kepala desa – dan siapapun yang memegang posisi tersebut akan mampu mengambil keuntungan yang lebih besar.

Akan tetapi, dengan pertambahan masa jabatan kepala desa yang mencapai 9 tahun, potensi konflik untuk merebut posisi kepala desa akan semakin besar. Hal ini dikarenakan pertarungan masa jabatan tersebut dapat menimbulkan kekecewaan warga desa ketika kepala desa yang bersangkutan justru tidak berkontribusi baik terhadap pembangunan desa. Pemegang kekuasaan yang terlalu lama berada di posisi disatu sisi akan memicu oposisi besar dari masyarakat. Hal tersebut dapat memicu konflik antar warga secara lebih tajam, terutama dalam memperebutkan jabatan kepala desa di periode selanjutnya, dan hal ini akan merusak kohesivitas desa dalam beberapa waktu mendatang. Kedua ialah kerentanan akan mobilisasi kepala desa oleh partai politik, di mana “ceruk pasar” konstituen di desa masih menjadi primadona dalam mengkonsolidasikan suara menjelang pemilihan umum, terutama pada Pemilu 2024 dana setelahnya. Hal ini dikarenakan persebaran demografis di Indonesia masih didominasi oleh penduduk desa dengan 40% jumlah penduduknya bermukim di desa terhitung pada tahun 2021.

Kendati jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan penduduk kota, namun militansi penduduk desa justru lebih kuat dalam mendukung tokoh lokal menjelang pemilu. Berkaca pada Pilkada maupun Pilpres yang menonjolkan keterpilihan masyarakat pada tokoh tertentu, mobilisasi massa melalui kepala desa jelas akan menguntungkan satu kandidat yang bersaing karena masyarakat pedesaan cenderung mengikuti arahan dari kepala desa. Hal ini terlihat dari pola politik di desa yang condong mendukung personalitas satu figur, baik karena kemampuan maupun reputasi. Dengan kepala desa yang menjabat selama 9 tahun, maka potensi mobilisasi suara akan semakin besar karena kepala desa memiliki otoritas yang besar dalam mendorong masyarakat. Selain itu, jika kepala desa tersebut memiliki relasi yang kuat dengan partai tertentu, maka besar kemungkinan upaya endorsement dari kades tersebut akan didukung penuh oleh warga sekitar.

Ketiga ialah politisasi anggaran yang semakin besar, di mana perpanjangan jabatan ini berpotensi mendorong terjadinya praktik korupsi yang lebih luas di desa. Sebagaimana diketahui, wacana perpanjangan ini digaungkan bersamaan dengan penambahan porsi dana desa yang “dibalut” dalam revisi UU Desa dan peningkatan alokasi dana desa sendiri juga diambil melalui APBN secara langsung tanpa diturunkan terlebih dahulu ke dalam APBD. Di satu sisi, pengelolaan dana desa secara langsung oleh perangkat desa dapat memaksimalkan pembangunan desa yang kerap “terhambat”. Namun demikian, penambahan dana desa yang cukup signifikan justru membuka peluang korupsi yang lebih besar di internal desa. Hal ini dikarenakan dana yang besar tanpa adanya mekanisme pengawasan yang ketat dari desa maupun pemangku kepentingan cenderung akan menjadi “lahan basah” buat korupsi. Laporan Indonesia Corruption Watch tahun 2020 menyebutkan sedikitnya 330 kasus korupsi justru dilakukan oleh perangkat desa.

Pengelolaan dana desa yang korup menjadi sumber permasalahannya, di mana ICW menemukan bahwa korupsi desa didominasi oleh manipulasi dana desa untuk kepentingan pribadi. Itu artinya ialah pengelolaan dana desa saat ini masih jauh dari transparansi dan akuntabilitas yang digaungkan demi pembangunan desa. Bila anggaran dana desa ditambah berbarengan dengan penambahan masa jabatan kepal desa, maka ada potensi bahwa korupsi desa yang terjadi sebelumnya akan semakin tidak terkendali dan penyalahgunaan wewenang kepala desa juga akan terbuka begitu lebar. Ketiga hal diatas menjadi gambaran bagaimana pengesahan revisi UU Desa akan menimbulkan collateral damage yang besar apabila tidak direncanakan secara matang. Selain itu, dengan revisi yang dibalut bersamaan dengan perpanjangan jabatan kepala desa yang ebgitu lama, besar kemungkinan permasalahan politik juga akan terjadi di setiap desa kedepannya ketika diterapkan tanpa didukung dengan pembenahan sistem dari dalam.

Ikuti tulisan menarik Dhien Favian lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu