x

Ilustrasi Kepemimpinan. Pixabay.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 24 Januari 2022 10:26 WIB

Elite pun Ada yang Gagap Mengepakkan Sayap Kebhinekaan

Menjaga kebhinekaan itu proses berkesinambungan, dan proses itu mesti dijalani bersama—tidak bisa yang satu menuntut yang lain, sementara dirinya sendiri gagap. Bila sudah menganggap diri elite politik, bukan berarti tanggung jawab menjaga kebhinekaan itu selesai sehingga merasa bebas berbicara apapun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Jargon ‘kepak sayap kebhinekaan’ memang mudah dikibarkan di baliho-baliho, dikumandangkan dalam pidato-pidato, tapi ternyata tidak semudah itu menjalankannya dalam praktik. Ada saja orang-orang yang gagap mempraktikkan slogan puitis yang menawan itu, dan jadi repot manakala itu berasal dari kalangan sendiri.

Lantaran itu, penting bagi elite politik untuk sesekali becermin diri, melihat kembali ke dalam diri sendiri maupun lingkungan terdekat apakah slogan dan jargon yang dikumandangkan sudah dihayati dan dipraktikkan oleh jajaran elitenya sendiri. ‘Oh, ternyata teman-temanku dan anak buahku juga belum bisa mengepakkan sayap.. Ayoo kita belajar mengepakkan sayap...’

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan sampai sudah berorasi di mana-mana, menyeru kepada banyak orang agar menjaga kebhinekaan, tahu-tahu di rumah sendiri belum beres. Para elite politik maupun politisi di tataran bawahnya juga jangan membiasakan diri menuntut orang lain—rakyat, utamanya—untuk terus mengepakkan sayap kebhinekaan, sedangkan orang-orang dekat sendiri terlihat gagap.

Menjaga kebhinekaan itu proses berkesinambungan, dan proses itu mesti dijalani bersama—tidak bisa yang satu menuntut yang lain, sementara dirinya sendiri gagap. Bila sudah menganggap diri elite atau politisi senior atau politis populer atau jadi pejabat tinggi atau anggota parlemen, bukan berarti tanggung jawab menjaga kebhinekaan itu selesai sehingga merasa bebas berbicara apapun. Semakin tinggi kursi, justru harus semakin luas horison pandangan, dan semakin peka pula terhadap keadaan serta menyadari benar titik-titik mana yang sensitif bila diusik.

Kuncinya menahan diri. Ketika berbicara ihwal kebhinekaan, kita perlu ingat untuk selalu menahan diri agar tidak mudah bla .. bla.. bla: mengomentari ini dan itu secara berlebihan. Justru masyarakat luas akan bersikap simpatik manakala hendak meluruskan apa yang kita anggap kurang pas, kita melakukannya dengan kerendahan hati. Bukan dengan amarah, menuntut ini dan itu, sedangkan orang lain tak boleh bersikap serupa kepada dirinya.

Dalam konteks keindonesiaan masa sekarang, sesungguhnya semakin banyak peleburan yang berlangsung di antara berbagai sukubangsa. Melalui pernikahan, suami keturunan Jawa menikah dengan isteri keturunan Sunda. Tapi Sundanya si isteri pun sudah tercampur darah lain karena ayah si isteri blasteran dari kakek Batak dan nenek Bugis. Hanya ibu si isteri yang asli Sunda. Lha, kalau sudah begini, anak-anak dari suami Jawa dan isteri Sunda itu mau dilabeli suku apa? Jelas sudah ada berbhineka darah yang mengalir dalam diri seseorang di negeri ini.

Lewat bahasa pun begitu. Orang Jawa yang bertahun-tahun menetap di Tanah Parahyangan pada akhirnya juga lancar berbahasa Sunda. Ia tak merasa minder berbahasa Sunda. Tak ada orang Sunda yang terganggu bila sesekali mendengar orang ngobrol dalam bahasa Jawa; dan tak ada orang Jawa yang berkeberatan mendengar orang ngobrol berbahasa Sunda. Keturunan Bali yang tinggal di Jawa Tengah, bahasa kromonya pun mampu mengalahkan yang keturunan asli Jawa. Bila teman Jawanya mendengar ia berbicara dalam bahasa Bali dengan saudaranya, ia menerima itu sebagai kebhinekaan tanpa rasa curiga apakah mereka sedang membicarakan saya. Tak ada prasangka, sebab kebhinekaan dijalani secara tulus tanpa ada urusan politik dan kekuasaan.

Yang terpenting, tidak ada masalah dengan peleburan semacam itu. Rakyat happy-happy saja bergaul antar suku, lantaran semakin banyak yang menikah campur. Sekat-sekat kesukuan itu semakin lebur atas nama pernikahan, persaudaraan, pertemanan, pergaulan. Jadi, tidak perlu bersikap berlebihan dalam menanggapi suatu peristiwa, apa lagi dengan kecurigaan, sebab itu sama saja mengeruhkan kolam yang sudah jernih. Bila tidak mengerti, tinggal bertanya. Bila perlu, belajar bahasa baru—bukankah bangsa ini memiliki kekayaan bahasa yang luar biasa? Kita nikmati kebhinekaan ini dengan lebih santai sebagai rasa syukur atas keberagaman diri kita; bukan malah memantik syak wasangka karena orang berbicara dalam bahasa berbeda.

Jadi, kepakkan sayapmu tinggi-tinggi biar kamu bisa melihat panorama kebhinekaan dengan cara yang lebih menyenangkan, bukan malah menakutkan—termasuk menakut-nakuti diri sendiri. Dan, jangan jadikan kebhinekaan sekedar slogan belaka. >>

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB