x

Minyak murah, oprasi pasar di Banten, dijual Rp 14.000 per kg. Foto- Ist.

Iklan

dezan news

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Januari 2022

Kamis, 3 Februari 2022 09:59 WIB

Jangan Sampai Gara-gara Kebijakan Minyak Goreng, Elektabilitas Airlangga Makin Seret

Jangan Sampai Gara-gara Kebijakan Minyak Goreng, Elektabilitas Airlangga Makin Seret

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kebijakan subsidi minyak goreng menjadi preseden buruk bagi pemerintah. Terlebih bagi Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto lantaran dinilai gagal mengkoordinasikan kebijakan-kebijakan yang pro terhadap rakyat, khususnya dalam konteks minyak goreng.

Penulis merujuk pada pernyataan Mantan Anggota Komisiioner Ombudsman RI, Ahmad Alamysah Saragih. Menurutnya, Subsidi minyak goreng sejatinya untuk tambahan biodesel, bukan masyarakat.

Pantas ketika kemudian Alamsyah mempertanyakan ihwal pernyataan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang menyatakan subsidi mencapai 1,5 miliar liter dengan dana Rp 7,6 triliun untuk 6 bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Mengapa volume naik 25 persen tapi alokasi dana naiknya lebih dari 100 persen? Apakah Menteri Keuangan sudah menyetujui ini?” kata Alamsyah sambil mencolek akun Twitter Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo @prastow.

Ini merujuk pernyataan Kementerian Perekonomian yang menyatakan subsidi untuk 1,2 miliar liter selama enam bulan pada 5 Januari 2022. Anggaran yang dibutuhkan pun mencapai Rp 3,6 triliun untuk menutupi selisih harga dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Di sisi lain, BPDPKS telah mengalokasikan Rp 51,86 triliun untuk subsidi biodiesel pada 2021 akibat kenaikan harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional. Artinya apakah subsidi bisa menembus Rp 60 triliun pada tahun 2022.

Isu kenaikan harga CPO temporer juga menjadi perhatian, termasuk soal mitigasi dampak pembengkakan subsidi untuk kebijakan biodiesel yang ambisius. Pasalnya hingga 2021, dana BPDPKS untuk peremajaan sawit rakyat hanya mencapai 4,73 persen dari total dana.

Padahal produktivitas sawit rakyat sangat buruk. Sementara untuk 'subsidi' industri biodiesel sejak 2015 sudah dominasi 79,04 persen atau Rp 110,03 triliun dari total dana.

Wilmar Group peroleh porsi paling dominan sebesar 36 persen dari total dana subsidi tersebut. Saya sepakat dengan pernyataan Alamsyah yang menyebut betapa ambisiusnya pemerintah dengan biodiesel.

Mengapa tidak menerapkan kontrak jangka panjang untuk bahan campuran biodiesel. Sebab dengan estimasi harga keekonomian yang wajar, fluktuasi harga pasar tak menguras subsidi dan mengancam alokasi peremajaan sawit rakyat.

Selain itu, meski beban devisa akibat impor minyak meresahkan, namun mengurangi dengan campuran bahan nabati dari sawit tanpa skema kontrak jangka panjang hanya akan mengulang nasib yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebelumnya saat tertekan harga batu bara beberapa waktu lalu.

Ini yang harus dicermati Airlangga. Sebagai Menko, semestinya dia mampu menelurkan kebijakan yang komprhensif terkait Minyak Goreng ini. Jangan sampai, gara-gara 'Politik Minyak Goreng', dirinya makin terpuruk secara elektabilitas maupun popularitasnya jelang Pilpres 2024.(*)

Ikuti tulisan menarik dezan news lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler