“Aku ini bukan bagian dari oligarki,” ujar seorang kaya raya, yang punya lahan ratusan ribu hektar, pesawat jet pribadi, dan sebagainya—sebutkan saja! Jika ia mengaku bukan bagian dari oligarki, lantas siapa sesungguhnya para oligark itu? Tidakkah ada wajah-wajah oligark yang kita, rakyat banyak, bisa lihat dan kenali? Memangnya ada oligark yang mengaku-aku dirinya bagian dari geng oligarki?
Orang banyak memang kerap menyebut istilah oligarki, tapi sosok manusianya—para oligark—tak pernah disebut. Entah kenapa begitu, lantaran tak tampak wajah mereka atau karena kita cemas bila menyebut namanya? Khawatir bila dituntut balik karena dianggap mencemarkan nama baik, sebab istilah oligarki punya konotasi kurang bagus?
Apakah para oligark itu lebih menyerupai sosok ‘yang tak boleh disebut namanya’ layaknya tokoh Vodelmort dalam cerita Harry Potter, yang bila disebut namanya orang-orang yang mendengarnya akan gemetar ketakutan. Ataukah mereka sosok ‘the invisible hands’—orang-orang yang tak kelihatan tapi pengaruhnya ada di mana-mana, tangannya merambah ke mana-mana, memindahkan apa saja sesuka hati. Ataukah mereka himpunan ‘the untouchable men’—mereka yang tak tersentuh oleh aturan hukum, sosial, maupun etika. Atau gabungan itu semua?
Barangkali lagu Bento gubahan Iwan Fals dan Niniel bisa membantu kita membayangkan sosok oligark. Tidak persis memang, tapi setidaknya kita dapat membayangkan lagak-lagu mereka, mirip-mirip Bento. Bahkan mungkin malah mereka tidak petantang-petenteng, melainkan terlihat kalem, lembut, ramah, tapi jangkauan pengaruhnya luar biasa dan kemana-mana. Dan kemudian orang tahu bahwa ia sosok yang sukar ditolak keinginannya.
Rakyat banyak hanya bisa menebak-nebak siapa orang-orang yang disebut oligarki itu? Dalam bukunya yang berjudul Oligarki, akademisi AS Jeffrey A. Winters mengingatkan bahwa oligarki pada zaman Orde Baru mampu beradaptasi terhadap perubahan politik di Indonesia. Mereka mungkin tidak suka tampil di hadapan publik, tidak muncul di wawancara televisi, lebih banyak berada di balik layar—the man behind the scene, mengatur cerita tanpa merasa perlu populer.
Menurut Winters, kekuatan oligarki mengalami perubahan wajah: dari oligarki sultanistik di masa Orde Baru menuju oligarki kolektif. Dalam oligarki sultanistik, sarana pemaksaan dimonopoli oleh oligark utama—dalam hal ini Soeharto. Relasi Soeharto dengan oligark lainnya bagaikan patron-klien; semua harus menurut Soeharto. Soehartolah yang mengatur kekuasaan dan hukum di antara mereka, hingga kemudian pada Mei 1998 para oligark meninggalkan Soeharto sendirian ketika tanda-tanda keruntuhannya tiba.
Euforia reformasi sukar dibendung, rakyat terbuai oleh peralihan kekuasaan. Rakyat merasa demokrasi segera tiba, demokrasi sejati, bukan demokrasi seolah-olah. Ketika itulah, para oligark memanfaatkan situasi dan mengonsolidasikan diri tanpa rakyat menyadarinya. Dalam pandangan Winters, masyarakat madani terlampau lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi, sedangkan para oligark bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan demokrasi dan kemudian mendominasinya. Mereka mengincar institusi-institusi penting, termasuk institusi baru yang didirikan sebagai amanah Mei 1998.
Pemilihan legislatif dan kepala daerah secara langsung, yang belum terjadi pada masa sebelumnya—Orde Lama maupun Orde Baru, dilihat oleh rakyat sebagai kembalinya demokrasi ke tangan mereka. Namun, para oligark justru melihatnya sebagai peluang untuk ikut campur dalam memengaruhi siapa yang akan terpilih. Para oligark merasa lebih bebas, sebab tidak ada lagi ‘oligark sultan’. Di dalam menentukan siapa yang menang dalam apa yang disebut ‘pesta demokrasi’ itu, menurut Winters, ada kerjasama dan persaingan di antara oligark, bergantung kepentingan mereka apa.
Kajian Winters itu melengkapi studi mendalam Richard Robison dan Verdi Hadiz (Reorganizing Power in Indonesia, 2004). Robison dan Hadiz memaknai oligarki sebagai sistem pemerintahan dengan seluruh kekuasaan politik berada di tangan sekelompok kecil orang kaya yang memastikan bahwa kebijakan publik berpihak pada keuntungan finansial mereka. Caranya, melalui kebijakan subsidi langsung terhadap perusahaan mereka, kontrak karya pemerintah, maupun proteksi bisnis.
Apa yang terjadi saat ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan rakyat banyak ketika semangat reformasi diembuskan 24 tahun yang silam. Demokrasi yang sehat dan adil belum terwujud, jika bukan terasa semakin jauh dari cita-cita reformasi. Kekuatan warga pro-demokrasi memang terlihat tidak cukup mampu mengimbangi kekuatan oligarki yang memasuki berbagai sendi kehidupan masyarakat, bahkan seakan-akan tanpa tandingan dan tanpa rintangan. >>
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.