x

Firli Bahuri. Sumber foto: twitter.com/firlibahuri

Iklan

Ahmad Yunus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 20 Februari 2022

Senin, 21 Februari 2022 16:41 WIB

Membandingkan Penghargaan Pimpinan KPK dengan Kisah Laksamana Aladeen di Republik Wadiya

Perbuatan kontroversial dan komedik dilakukan Ketua KPK Firli Bahuri yang memberikan penghargaan kepada istrinya sendiri Ardina Safitri. Penghargaan tersebut diberikan karena Ardina Safitri menciptakan mars dan hymne KPK. Peristiwa ini mengingatkan pada film komedi politik satire, The Dictactor. Di film ini, ada Laksamana Jenderal Aladeen seorang diktaktor di Republik Wadiya. Seorang pemimpin yang sangat membanggakan dirinya sendiri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Kontroversi demi kontroversi kerap terjadi di negara ini, tingkah pejabat yang diamanahkan sebagai penyambung lidah rakyat dengan rasa tanggung jawab dan integritas rasanya kerap dikhianati dengan tindakan tindakan individualis ekslusif yang menganggap dirinya sebagai pemeran utama yang patut dibanggakan dan personalisasi yang tidak bermanfaat untuk masyarakat yang menjurus ke perbuatan yang “menjijikan” dan komedi. Perbuatan tersebut dapat kita lihat dalam peristiwa baru-baru ini, ketika ketua KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) Firli Bahuri yang memberikan penghargaan kepada istrinya sendiri Ardina Safitri. Penghargaan tersebut diberikan karena sumbangsih Ardina Safitri dalam menciptakan mars dan hymne KPK.

            Kejadian seperti ini lebih bisa dikatakan sebagai gimmick yang mengatasnamakan Lembaga KPK yang dahulu sempat menjadi harapan bagi masyarakat dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Tindakan Filri Bahuri yang memberikan penghargaan kepada istrinya atas nama KPK pun jelas merusak nilai-nilai integritas yang ada dalam KPK apalagi sejak “pembersihan” pegawai KPK dalam tes TWK yang membuat citra KPK di masyarakat semakin menurun. Ini pun dibuktikan oleh kepercayaan masyarakat yang menurun kepada KPK dari tahun ke tahun yang dipaparkan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch). Pemberian penghargaan tersebut nantinya juga akan bisa menimbulkan conflict of interest, trading in influence, dan bahkan nepotisme yang jelas buruk bagi KPK sebagai Lembaga negara yang anti rasuah yang berpedoman atas kepentingan umum dan proporsionalitas.

            Penghargaan yang di berikan Ketua KPK, Firli Bahuri Kepada Istrinya Ardina Safitri sebagai pencipta mars dan hymne KPK ini juga dipatenkan di Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) dengan tujuan terlindunginya hak cipta hymne dan mars KPK tersebut. Mars dan hymne KPK tersebut diserahkan hak ciptanya kepada KPK pada, Kamis (17/02/2022) dengan pengesahan yang diserahkan secara langsung oleh Menkumham Yasonna Laoly kepada Firli Bahuri dan Ardina Safitri. Menurut Firli yang dikutip dari Kompas, kehadiran lagu dan hymne KPK akan semakin menambah kebanggan sekaligus penyemangat setiap insan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Lalu Ardina Safitri pun menyampaikan rasa bangga dan syukur karena ikut berkontribusi dalam pemberantasan korupsi melalui mars dan hymne KPK yang ia ciptakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

             Peristiwa yang dilakukan oleh pimpinan lembaga negara ini mengingatkan saya atas film komedi politik satire yang berjudul The Dictactor. Film Garapan Larry Charles yang diproduksi tahun 2012 ini dibintangi oleh aktor Sacha Baron Cohen. Dalam film ini Sacha berperan sebagai Laksamana Jenderal Aladeen seorang diktaktor dari negara yang bernama Republik Wadiya. Dalam film ini, Laksamana Aladeen diceritakan sebagai pimpinan nyentrik yang memiliki sifat otoriter, anti demokrasi, rasis, dan sangat membanggakan dirinya sendiri. Film The Dictactor (2012) seakan akan-secara terang terangan menyindir pimpinan negara seperti Kim Jong Un sampai Moammar Khaddafi pada saat itu.

           Tentunya jika pembaca pernah menonton film The Dictactor akan ada adegan dimana Laksamana Aladeen menyelenggarakan olimpiade-nya sendiri dengan ia sebagai peserta memenangkan semua perlombaan dan penghargaan dalam olimpiade tersebut. Salah satu lomba yang diselenggarakan Aladeen ialah lomba lari dengan ia membawa pistol dan menembakan pistol tersebut kepada pesaingnya sehingga ia bisa finis pada urutan pertama.

Lalu Laksamana Aladeen juga menciptakan kamus di negaranya sendiri dengan mengganti kosakata yang digunakan menjadi Aladeen sehingga membuat kebingungan dan kekacauan di Republik Wadiya. Melihat apa yang dilakukan oleh Laksamana Aladeen kita bisa membandingkanya dengan penghargaan yang diberikan pimpinan KPK kepada istrinya ialah personalisasi yang berlebihan sehingga membuat seakan KPK bersifat eksklusif yang hanya milik Filri dan keluarganya yang memiliki kesamaan dengan olimpiade yang dibuat oleh Laksamana Aladeen sebagai Pimpinan Wadiya. Lalu Rasa bangga yang berlebihan seakan membuat tujuan penghargaan tersebut tidak sinkron dengan pedoman KPK yang menjunjung proporsionalitas dan integritas yang juga memiliki kemiripan dengan Laksamana Aladeen dalam menciptakan kamus negaranya dengan kosakata Aladeen yang membuat rakyatnya kebingungan.

        Dalam komparasi antara realitas dan dunia film ini, kita bisa melihat bagaimana  yang seyogyanya bisa berseberangan dengan kenyataan yang ada dimana demokrasi seharusnya berpangku pada kedaulatan rakyat yang jauh dari personalisasi individu dan ekslusifitas para pemangku kekuasaan. Nilai demokrasi dan kediktaktoran yang jelas berbeda bisa berujung sama apabila orang-orang yang berkuasa memakainya dengan maksud keuntungan pribadi yang berujung konflik kepentingan tanpa mempedulikan manfaatnya terhadap rakyat.

Ikuti tulisan menarik Ahmad Yunus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler