x

Image by <a href="https://pixabay.com/users/geralt-9301/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2097358">Gerd Altmann</a> from <a href="https://pixabay.com/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=2097358">Pixabay</a>

Iklan

Kris Ibu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 November 2021

Jumat, 4 Maret 2022 08:15 WIB

Kebenaran Jurnalistik

Kita sampai di era yang acapkali membuat kebenaran pemberitaan mudah dipreteli. Bertita bohong dan palsu menyebar sangat cepat. Di sinilah peran penting dunia jurnalisme di era post-truth tersebut. Jurnalisme mesti terus membawa api kebenaran di tengah tsunami berita bohong. Tapi, mampukah?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dunia dewasa ini sementara berada dalam era post-truth: sebuah era di mana kebenaran akan suatu hal mudah dipreteli, berita bohong/fake news bertebaran di mana-mana.

Dalam artikel ini, saya hendak memosisikan peran sentral jurnalisme sebagai pembawa api kebenaran. Dengan lain perkataan, jurnalisme sejatinya memegang teguh salah satu prinsip dalam pemberitaannya, yakni kebenaran.

Oleh karena itu, tendensi dari artikel ini hendak memberi semacam alarm bagi dunia jurnalisme agar terus menyalakan api kebenaran jurnalistik dalam setiap pemberitaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Kebenaran Jurnalistik

Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Jurnalism menegaskan bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah kebenaran. Prinsip kebenaran yang diartikan di sini lebih pada kebenaran praktis dan fungsional; kebenaran dalam kapasitas yang lebih membumi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, bukan dalam tataran absolut dan filosofis. Artinya, kebenaran tersebut sejauh diletakkan dalam konteks yang bermakna dan memiliki fakta yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Kebenaran jurnalistik ini, lanjut Kovach dan Rosenstiel, merupakan sebuah proses yang dimulai dengan disiplin professional dalam mengumpulkan dan memverifikasi fakta. Inilah fondasi jurnalisme di mana segala sesuatu (konteks, interpretasi, komentar, kritik, analisis, dan debat) dibangun.

Buku Kovach dan Rosenstiel ini dianggap sebagai “kitab suci” jurnalisme karena merupakan pedoman bagi setiap jurnalis dalam pemberitaannya.

Andreas Harsono, misalnya, menegaskan bahwa buku The Elements of Journalism mesti dipelajari oleh orang-orang  media. Harsono mengambil contoh dua contoh: Pertama, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, Suthichai Yoon,  yang menegaskan bahwa ‘refleksi’ dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini patut dibaca oleh wartawan Thailand. Kedua, I Made Suarjana dari Tim Pendidikan majalah Gatra menegaskan bahwa buku tersebut merupakan basic dari jurnalisme (Andreas Harsono, Kanisius: 2010, hlm. 19).

Michael Getler dalam esainya berjudul “The News has Become The News” menegaskan bahwa buku tersebut penting demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap pers. Getler menulis, “Jurnalisme, seperti semua kegiatan lainnya, perlu dilibatkan dan tumbuh seiring waktu. Namun, seperti yang dibuktikan oleh buku Kovach dan Rosenstiel, peran dan prinsip yang telah memandu jurnalisme sukses sejak awal, dan ini mendapatkan kekuatan untuk memulihkan kepercayaan dengan warga negara yang bergantung pada pers untuk membantu mereka mempertahankan masyarakat demokratis” (Michael Getler dalam Essay about The Elements of Jurnalism, Nieman Reports, vol. 55, No. 2, hlm. 8).

 

Agama Jurnalisme: Kebenaran

Berlandasan pada argumentasi Kovach dan Rosenstiel, agama jurnalisme pada dasarnya adalah kebenaran (Saya sengaja menggunakan kata “agama” dengan pengandaian kebenaran adalah perekat bersama dalam dunia jurnalisme; menjadikan kebenaran sebagai basis argumentasi pemberitaan; menjadikan kebenaran sebagai doktrin pers).

Hal ini penting ketika dunia jurnalisme kita konfrontasikan dengan fenomena hari-hari ini yang diliputi berita bohong (hoax/fake news).

Fenomena penyebaran berita bohong ini lazim disebut sebagai fenomena post-truth. Kamus Oxford mengartikan fenomena post-truth sebagai sebuah kondisi di mana emosi dan keyakinan pribadi sangat berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan fakta. Dengan lain perkataan, seseorang lebih suka menonjolkan sensasi, keyakinan, dan emosi dalam menanggapi sebuah berita dan opini yang berkembang, sebaliknya mengabaikan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan (Istilah post-truth bisa dibaca secara mendetail dalam buku The Post-truth Era karya Ralph Keyes).

Fenomena ini merajalela karena kita sementara berada dalam era instan: sebuah era di mana masyarakat mengingikan sesuatu yang gampang dan mudah didapat; sebuah fenomena di mana kebenaran hanya ditafsir dengan satu perspektif, tanpa mempertimbangkan perspektif lain; sebuah fenomena di mana emosi pribadi melampaui fakta; sebuah fenomena di mana kerja keras dan perjuangan dikesampingkan.

Dalam konteks jurnalisme, kebenaran sebuah berita dapat diterima masyarakat umum apabila berita tersebut dibumbui oleh cerita bombastis; cerita yang viral di media sosial. Alhasil, kebenaran itu pun berterima di dalam ruang publik ketika masyarakat enggan menggunakan penyaring rasional. Hal ini tentu disayangkan.

Saya mengangkat kembali pesan Paus Fransiskus (pemimpin tertinggi Gereja Katolik) pada Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-55 tahun 2021. Paus Fransiskus  mengeluarkan pesan dengan tema, “Datang dan Lihatlah (Yoh. 1:46): Berkomunikasi dengan Menjumpai Orang lain Apa Adanya”.

Paus Fransiskus menyoroti krisis industri penerbitan yang hanya mengandalkan berita-berita instan atau asal jadi, tanpa mengklarifikasi berita itu secara akurat. Beliau menegaskan “pemberitaan hanya dirancang di ruang redaksi, di depan komputer, di pusat-pusat berita, di jejaring sosial, tanpa pernah keluar ke jalan” (Lihat Pesan Paus, hlm. 3).

Padahal, lanjut beliau, tanpa turun ke jalan, membuka diri terhadap perjumpaan dan dialog untuk memverifikasi berita tersebut dengan mata kepala sendiri, kita hanya menjadi “penonton” yang bisa terjerumus dalam membuat dan menyebarkan berita bohong. Oleh karena itu, kita mesti “pergi dan melihat” secara langsung situasi dan kondisi apa yang sedang terjadi.

 

Apa yang mesti Dibuat?

Sampai titik ini, jurnalis sepatutnya sadar bahwa agama jurnalisme adalah kebenaran. Kebenaran yang dipahami di sini bukanlah kebenaran parsial, melainkan universal yang digaungkan oleh Thomas Aquinas, “veritas est adequatio rei et intellectus”; kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang dipikirkan dengan realitas yang terjadi. Kebenaran yang diketahui oleh akal budi mesti disesuaikan dengan realitas. Kebenaran macam inilah yang mesti menjadi prinsip jurnalis dalam pemberitaannya. Pelaku pemberitaan (jurnalis) mesti tetap berpegang teguh pada kebenaran dalam pemberitaan, apapun situasi dan kondisinya.

Semoga di tengah gempuran hoax, dunia jurnalisme kita mempu menyuarakan kebenaran.***

 

Ikuti tulisan menarik Kris Ibu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB

Terkini

Terpopuler

Establishment

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Rabu, 10 April 2024 09:18 WIB