x

Presiden Joko Widodo duduk di depan tenda usai memimpin seremoni ritual Kendi Nusantara di titik nol Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Senin 14 Maret 2022. ANTARA FOTO/HO/Setpres-Agus Suparto

Iklan

bambang bujono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 Maret 2022

Senin, 21 Maret 2022 08:49 WIB

Antara IKN Nusantara dan Keraton Surakarta Hadiningrat

Presiden Joko Widodo, para menteri, para gubernur, juga para ketua lembaga tinggi negara berkemah semalam di Titik Nol,  Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Di kawasan itulah bakal dibangun Ibu Kota Negara Nusantara, ibu kota baru Republik Indonesia. Kurang lebih 250 tahun lalu seorang raja menginap di bakal keraton baru yang sedang dibangun. Dialah Sri Susuhunan Pakubuwono II yang akan memindahkan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Apakah persamaan dan perbedaan lainnya?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

oleh: Bambang Bujono, Penulis, Mantan Jurnalis 

Presiden, para menteri, para gubernur, juga para ketua lembaga tinggi negara berkemah semalam di Titik Nol,  Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pertengahan Maret 2022 lalu.  Di kawasan itulah bakal dibangun Ibu Kota Negara Nusantara, ibu kota baru Republik Indonesia. 

Kurang lebih 250 tahun lalu seorang raja menginap di bakal kraton baru yang sedang dibangun. Raja tersebut,  Sri Susuhunan Pakubuwono II, tak hanya semalam menginap. Beliau sekitar setengah bulan tinggal di Desa Sala, tempat yang sedang dipersiapkan untuk kraton baru Mataram, pengganti Kartasura Hadiningrat yang bakal ditinggalkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin karena lama menginap itu Sri Baginda tak membawa serta para petinggi keraton agar aktivitas di kraton lama tetap berjalan. Lagi pula tentulah Sri Baginda tak merasa perlu, misalnya, membuat para petinggi merasa ikut bertanggung jawab menyiapkan kraton baru. Sri Baginda tinggal memberi perintah, dan tak ada yang bakal membantah. Termasuk, pada saatnya nanti, suka atau tak suka, para petinggi dan segenap punggawa kraton harus ikut kata raja, pindah ke kraton baru.

Ketika itu pembangunan kraton baru sudah berjalan beberapa lama.  Sri Baginda tak hanya melihat lahan kosong melompong setelah pepohonan ditebang. Beberapa tembok sudah berdiri, dengan batu bata yang diambil dari tembok di Kraton Kartasura.  Setiba di Sala, Sri Baginda bersemayam di tarub, bangunan rumah sementara, yang sudah disiapkan. Ia dihadap oleh Raden Adipati Pringgalaya dan Pangeran Mangkubumi yang memang sudah tinggal sementara di Sala karena ditugasi  mengawasi yang bekerja. Raja bersabda, “Hai, Pringgalaya, hal-hal yang sudah pasti segera saja dikerjakan. Aku akan pindah kraton pada tahun Dal.” ( Babad Tanah Jawi, Buku VI, halaman 297, Amanah Lontar, terjemahan dari teks R. Ng. Yasadipura I oleh Amir Rockhyatmo, Sri Soekesi Adiwimarta, Sri Timur Soeratman, Parwati Wahjono , editor Sapardi Djoko Damono dan Sonya Sondakh, Jakarta, 2004).

Tahun Dal dimaksud bakal datang pada 1671 Jawa atau 1746 Masehi. Itu berarti, Raja memerintahkan agar kraton baru siap dalam sekitar satu tahun. Pengukuran lahan, menurut teks Yasadipura, dilakukan pada 1670 Jawa.  Sabda pandita ratu harus terwujud. Dan benar, Sunan PB II meninggalkan Kartasura menuju Sala “Hari Rabu 17 bulanMuharram tahun Dal, 1671. Sang Raja meninggalkan istana Kartasura. Para punggawa riuh, tidak ada yang mau ketinggalan. Abdi Raja besar dan kecil, lelaki dan perempuan semua kebingungan untuk pindah, repot mengangkuti barang-barang... “ (Babad Tanah Jawi, Buku VI, halaman 298). 17 Muharram tahun Dal 1671 jatuh pada 9 Februari 1746 Masehi. (Tanggal perpindahan ini ada beberapa versi; teks Yasadipura, yang ditulis pada masa PB II hingga wafatnya PB III pada 1788 jelas menyebutkan seperti dikutip).

Memang, waktu itu kraton baru belum sepenuhnya selesai. Kraton baru selesai sebagaimana direncanakan lebih dari seratus tahun kemudian, di masa pemerintahan Sunan PB X yang bertakhta dari 1893-1939. 

Konon, IKN Nusantara diusulkan selesai dibangun dalam dua tahun, sehingga peringatan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 2024 bisa dilaksanakan di ibu kota baru. Dua tahun, dihitung dari disahkannya Undang-undang IKN pada Februari 2022.  Namun Presiden Joko Widodo bukan Sunan PB II yang tinggal perintah dan harus diwujudkan. Presiden hati-hati menanggapi usul beberapa menteri tersebut, “Nantilah, kita lihat progresnya dulu.” 

Yang jelas, calon ibu kota baru Indonesia sudah disebutkan namanya, Ibu Kota Nusantara. Sedangkan kraton baru, baru sehari setelah boyongan diumumkan namanya oleh Sri Baginda: Surakarta Hadiningrat. Ini, konon karena prosesi Sunan PB II baru sampai di kraton sore hari. Dan baru di hari pengumuman nama kraton itu pula penanaman sepasang pohon beringin, pohon yang merupakan simbol perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan. Pohon beringin ditanam di tengah alun-alun utara dan selatan. Pohon itu dibawa dari Kartasura untuk menandai bahwa antara Surakarta dan Kartasura ada kaitan erat.

Di Titik Nol Penajam Paser Utara, di calon ibu kota baru tersebut, ada juga ritual menanam pohon, siang sebelum malam perkemahan. Di lahan tersebut ditanam 34 pohon, tiap pohon merupakan pohon khas  masing-masing  provinsi. Bukan hanya itu, ada upacara Kendi Nusantara: disatukannya tanah dan air dari 34 provinsi dalam satu kendi besar. Para gubernur atau wakilnya satu per satu menyerahkan tanah dan air kepada Presiden yang lalu menuangkannya ke dalam kendi. Kendi lalu ditanam di kawasan tersebut.

Air dan tanah dari 34 provinsi itu  menyimbolkan IKN Nusantara adalah milik seluruh bangsa, pemersatu seluruh wilayah Republik Indonesia. Sunan PB II tampaknya tak memerlukan hal yang mirip, bisa jadi karena jarak antara kraton lama dan baru hanya sekitar 12 km.

Pemindahan kraton dari Kartasura ke Sala, dipercaya merupakan gagasan Sunan PB II. Di masa itu, pemberontakan, pembangkangan terhadap Sunan PB II hampir tak pernah jeda. Sesungguhnya, seperti dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi, sejarah kerajaan Jawa adalah sejarah perang perebutan kekuasaan. Di masa Sunan PB II itulah Kraton Kartasura jebol, diserbu laskar Cina dan Jawa yang anti-kompeni. Sunan PB II menjadi sasaran kemarahan karena semula Baginda mendukung perlawanan terhadap kompeni. Namun ketika laskar Cina dan Jawa yang dibantu ratusan prajurit Kartasura menyerbu Semarang sebagai pusat pemerintahan VOC wilayah partai utara-timur Jawa terlihat bakal menjadi pecundang, Sunan PB II berbalik, karena khawatir kekuasaannya bisa terancam. Sunan berunding dengan kompeni, dan terpaksa melepaskan sejumlah daerah ke tangan VOC dengan imbalan VOC memberikan perlindungan.  

Beberapa sebab memudahkan penyerbu Kartasura berhasil. Begitu kekalahan di Semarang semakian jelas, antara lain karena prajurit Kartasura diperintahkan kembali ke Kartasura, laskar gabungan Cina-Jawa itu pun mengubah sasaran dari Semarang ke Kartasura. Mereka lebih cepat sampai di Kartasura ketimbang prajurit kraton yang diikutsertakan menyerbu Semarang. Karena itu prajurit yang menjaga kraton tidak banyak, dan bantuan kompeni dari Semarang yang diminta oleh Sunan PB II belum datang (konon memang sengaja diperlambat oleh gubernur VOC di Semarang, khawatir Sunan PB II berbalik lagi bergabung dengan laskar Cina-Jawa).

Selain itu, sejumlah petinggi di kraton pun mendukung penyerbuan dan pemakzulan Sri Baginda karena kecewa bahwa rajanya berunding dengan kompeni. Akhir Juni 1742 Masehi kraton jebol, Raja serta keluarga dan pendukungnya, dikawal sejumlah prajurit dan tentara kompeni, hengkang ke arah timur, ke Magetan kemudian ke Ponorogo.

Ternyata banyak pihak siap mengabdi Sunan PB II untuk merebut kembali Kartasuro.  Selain itu, ada permintaan Sunan PB II kepada adik iparnya, Panembahan Cakraningrat IV di Madura Timur. Sang ipar dulunya tak begitu bersimpati kepada Sunan PB II karena kaka ipar ini dekat dengan kompeni. Namun, membaca surat permintaan bantuan, Panembahan Cakraningrat IV meneteskan air mata. Dipanggilnya patih dan para komandan prajurit. R. Ng. Yasadipura menceritakan laku Panembaan Cakraningat menanggapi surat dari kakak iparnya itu: 

“Tiga ribu orang ditugaskan untuk berangkat; tujuh ratus orang  membawa senapan dan karaben, seribu lima ratus lima puluh orang membawa tombak, enam ratus lima puluh prajurit membawa bermacam-macam senjata: tombak pendek, sumpit, lembing, pedang, ende,  dadap, blorong, kantar, bestrong, kalantaka yang berjumlah enam puluh.”

Panembahan pun bersabda: “Ingat, kalau Kartasura tidak kalah, jangan seorang pun berani pulang. Pulanglah tinggal nama, jangan sampai membuat malu kalah perang melawan Cina yang kere, kudisan yang mengembara di Jawa seperti anjing.”

Singkat cerita, Kraton Kartasura kembali direbut. Dari utara menyerbu pasukan Madura, dari Ungaran datang pasukan kompeni, dan dari timur pasukan Sunan PB II yang masih setia.  Sunan Kuning pemimpin lasykar Cina-Jawa dan para prajuritnya melarikan diri.  Sunan PB II pun akhirnya bertakhta kembali pada  22 Syawal 1667 atau 21 Desember 1742 M. Ketika komandan VOC di Kartasura, Baron von Hondrop, sehabis mengalahkan laskar Cina-Jawa di Randulawang, melaporkan kemenangannya ke kartasura, pada 1668 Jawa (1743 M), ia mencatat kata-kata Sunan PB II. Yasadipura menulis keluhan Sunan:  “Kraton kosong, tak ada kegiatan, tak ada tanda kemujuaran lagi. Pertama dikalahkan oleh Cina dan kedua diinjak-injak oleh orang Madura.”

Tidak ada pernyataan tegas dari Sunan bahwa perlu pindah ke kraton baru. Hondrop-lah, yang tak lama kemudian dipromosikan menjadi Mayor, menyampaikan “keluhan” itu kepada gubernur jenderal di Betawi sambil mengusulkan, sebaiknya dibangun kraton baru.  Gubernur jenderal setuju dan menyerahkan segalanya kepada Hondrop (nama ejaan ini sesuai yang ditulis oleh Yasadipura dalam huruf Jawa; dalam ejaan Latin, Hondorff). 

Tak lama kemudian Hondrop kembali ke Kartasura dan  mengusulkan kraton dipindahkan. Spontan Sunan PB II berang karena beliau masih memikirkan keselamatan diri dan kraton yang masih dirongrong berbagai pemberontakan. Namun, begitu diberitahu bahwa hal itu sudah  disetujui gubernur jenderal, dan gubernur jenderal menyerahkan soal pindah kraton ini ke Hondrop,  Sunan berpikir ulang.  “Baiklah, kalau kemauanmu demikian, bagaimana saya dapat menolak. Namun, pikirkanlah  hal itu bersama  Pringgalaya dan Adipati Sindureja...” 

Tentu saja, kedua petinggi kraton itu mendukung ihwal pindah kraton ini. Apalagi, menurut Priggalaya, hal itu sudah dipikirkan oleh Patih Danurejo sebelum Sunan membuang patihnya itu ke Ceylon pada 1733 M, karena patih itu terlalu anti-kompeni. Alasan Danurejo memindahkan kraton yang waktu itu belum pernah diduduki musuh, karena Kartosura Adiningrat sudah tua, sudah lebih dari 50 tahun, bangunan sudah rapuh di sana-sini. Ini terbukti meriam lasykar Cina-Jawa mampu membobol tembok tak jauh dari kamar tidur Sunan PB II. Lubang ini masih bisa dilihat di bekas kraton yang kini menjadi lahan pemakaman.

Memindahkan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan juga bukan autentik gagasan Presiden Jokowi. Presiden pertama, Sukarno, sudah memikirkannya. Tak jelas, kenapa gagasan itu tak lalu diwujudkan. Kemungkinan besar terbentur biaya –seperti rencanan membikin gorong-gorong di bawah Jakarta yang digagas oleh Gubernur Ali Sadikin untuk mengatasi banjir, tak bisa diwujudkan karena tak ada uang.

Adapun Jokowi mempunyai alasan memindahkan ibu kota yang bisa diterima:  Jakarta sudah sangat padat, lalu-lintas makin hari semakin macet, banjir sulit diatasi, dan ada ancaman Anak Krakatau meletus. Kawasan Kalimantan Timur dianggap aman dari semua itu. Juga, perpindahan ini menyiratkan agar pembaguan tak terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa.  Sedangkan tiga serangkai Pringgalaya, Sindurejo, dan Hondrop memilih Desa Sala sebagai tempat kraton baru karena desa ini subur, dan dekat dengan sungai Bengawan yang mengalir sampai ke Surabaya sehingga lalu-lintas perdagangan dijamin lancar. Memang,  Desa Sala di musim hujan selalu tergenang. Tapi kata Hondrop yang Belanda itu, hal itu mudah diatasi.

Jadi, pembangunan kraton yang kemudian disebut sebagai Surakarta Hadiningrat berlangsung di tengah pemberontakan dan perlawanan terhadap Mataram. Pembanguan IKN Nusantara pun sesungguhnya “terganggu” oleh perang, yakni perang melawan wabah yang menyerang seluruh dunia, Covid 19 beserta dampak sampingnya: perekonomian yang merosot. Sunan PB II pindah sebelum kraton sepenuhnya selesai diwujudkan. Presiden Jokowi, tak mematok tanggal pindah. Tentang usul Agustus 2024, Presiden menjawab “kita lihat progresnya dulu.” 

Yang terlihat, pemerintahan Surakarta Hadiningrat, di tengah ontran-ontran dari berbagai pihak, bertahan, dan setahap demi setahap menyelesaikan pembangunan kraton sepenuhnya pada masa Sunan PB X (1893-1939). PB X-lah yang mendukung  berbagai pembangunan  yang digagas oleh Belanda atau Sunan sendiri yang hingga sekarang terasa manfaatnya bagi masyarakat.

Pasar Gedhe, Setasiun kereta api Jebres dan Sangkrah, Taman Sriwedari, Stadion Sriwedari, Rumah Sakit Kadipolo, kebun binatang Jurug antara lain.  Dalam hal pembangunan nonfisik, PB X memberikan keleluasaan organisasi. Misalnya, beliau mendukung berdirinya  Sarikat Dagang Islam (kemudian menjadi Sarikat Islam, merupakan salah satu pergerakan nasional pertama), dan memfasilitasi kongres pertamanya di Taman Sriwedari, 1913, tanpa ada gangguna dari kolonial. Beliau juga mendukung diadakannya Kongres Bahasa Indonesia I di Surakarta, 1938.

IKN Nusantara pun bisa inspiratif bilamana para gubernur yang sudah secara tak langsung berjanji mendukung spirit IKN ini dengan membawa tanah dan air dari provinsi masing-masing mewujudkan yang tersirat dari ibu kota baru ini. Yakni, salah satu terpenting, pembangunan di daerah sehingga pembangunan fisik dan nonfisik tak terpusat di Jakarta dan Pulau Jawa. 

Barangkali ritual perkemahan semalam dan Kendi Nusantara bakal berlanjut seperti kraton baru yang ternyata berkembang setelah Sunan PB II menginap  dua pekan di Desa Sala.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik bambang bujono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB