x

cover buku Xanana Gusmao

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 2 April 2022 20:27 WIB

Xanana Gusmao - Timor Leste Medeka Indonesia Bebas

Kumpulan wawancara Xanana Gusmao tentang sejarah perjuangan Rakyat Timor Leste lepas dari Indonesia. Xanana berdiplomasi dengan Indonesia dan dunia internasional tanpa kebencian terhadap Indonesia. Ia berargumen bahwa kemerdekaan Timor Leste dari Indonesia justru akan menguntungkan Indonesia di dunia internasional. Selesainya masalah Timor Leste membuat Indonesia bisa berkonsentrasi untuk membenahi demokrasi setelah 30 tahun dalam kekangan Orde Baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Xanana Gusmao – Timor Leste Merdeka Indonesia Bebas

Editor: Tri Agus S. Siswowiharjo

Tahun Terbit: 1999

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Solidamor

Tebal: xiv + 209

ISBN:

 

 

Strategi komunikasi Xanana Gusmao dalam perkara pemisahan Timor Timur dari Indonesia ini sungguh elegan. “Timor Leste merdeka, Indonesia bebas.” Pesan inti dari advokasi internasional Xanana ini tidak menampilkan rasa permusuhan sedikitpun. Ia menyampaikan kepada Indonesia, PBB dan masyarakat dunia bahwa kalau Timor Leste merdeka, maka Indonesia akan bebas dari masalah yang menjadi ganjalan dalam berdiplomasi di dunia internasional. Indonesia juga bisa kembali fokus kepada agenda-agenda dalam negeri yang mendesak untuk diselesaikan pasca reformasi.

 

Siapa Xanana?

Jose Alessandro Gumao, atau Kay Rala Xanana atau lebih dikenal dengan mana Xanana Gusmao adalah seorang pahlawan Timor Leste yang berperang di hutan melawan tentara Indonesia. Ia lahir di Manatuto 26 Juni tahun 1946, Xanana pernah masuk ke Seminari. Namun karena ingin menikah, ia meninggalkan Seminari.

Pada tahun 1975 Xanana bergabung dengan Fretelin dan menjadi pemimpin sayap militer Falintil. Pada saat Portugal tak berminat lagi mengkoloni Timur Timur, rakyat Timor Timur terbelah. Ada yang ingin merdeka, namun ada pula yang ingin bergabung dengan Indonesia.

Menurut Xanana, perbedaan pendapat rakyat Timor Timur ini tak lepas dari pengaruh Indonesia sebelumnya. Keterlibatan Indonesia terhadap Timor Timur sudah terjadi sejak tahun 1959. Xanana menyebutkan bahwa konflik Timor Timur diawali pada tahun 1959 (hal. 18). Ada provokasi di tahun 1965 sehingga terjadi konflik Oekusi. Tahun 1974 ada siaran radio Kupang yang mengguncang Timor Timur, yang membuat beberapa partai ingin bergabung dengan Indonesia, sementara lainnya ingin merdeka. Sehingga terjadilah pertikaian yang disusul dengan masuknya tentara Indonesia ke Timor Timur pada tahun 1975.

Sejak masuknya tentara Indonesia, Xanana bergabung untuk berperang melawan Indonesia. Pada tahun 1983 ia menggantikan Nicolao Lobato sebagai pimpinan Fretelin dan merundingkan perdamaian dengan Kolonel Purwanto. Xanana menjadi pimpinan Fretelin saat Nicolao Lobato mati tertembak oleh tentara Indonesia.

Pada tahun 1987 Xanana keluar dari Fretelin dan mendirikan CNRM (Maubere) dan kemudian pada tahun 1998 berganti menjadi CNRT (Timores). Sebenarnya, wartawan dan penyair ini tidaklah terlalu menonjol, sebelum terjadi peristiwa Santa Cruz. Xanana menjadi musuh utama Pemerintah Indonesia sejak peristiwa Santa Cruz November 1991. Demonstrasi yang marak setelah peristiwa Sana Cruz selalu membawa nama CNRM dan Xanana. Sampai akhirnya ia ditangkap tahun pada tanggal 20 November 1992 di sebuah desa dekat Dilli. Ia diadili sebagai seorang kriminal . Dengan mengadilinya sebagai seorang kriminal, Pemerintah Indonesia berupaya membusukkan namanya. Ia dihukum seumur hidup, kemudian diubah menjadi 20 tahun setelah mendapat grasi dari Presiden Soeharto.

Xanana dibebaskan pada 30 Agustus tahun 1999, seiring dengan tumbangnya Soeharto dan Indonesia memasuki era Reformasi. Pembebasan Xanana adalah konsekwensid ari hasil referendum dimana 78% lebih rakyat Timor Timur ingin merdeka.

 

Posisi Xanana dalam Perjuangan Kemerdekaan Timor Leste

Meski mendapatkan perlakuan yang tidak baik, Xanana tidak membenci Indonesia. Perjuangannya melalui perang dan diplomasi adalah untuk membebaskan rakyat Timor Timur sehingga bisa menentukan nasipnya sendiri. Bahkan seandainya melalui referendum, kelompok integrasi menang, ia akan dengan senang hati menyetujuinya.

Xanana secara tegas menolak opsi otonomi. Baginya otonomi tidak akan membawa manfaat bagi penduduk Timor Leste. Bahkan ketika Vatican melalui Uskup Belo membujuknya supaya menerima otonomi (hal. 41). Tetapi ia kukuh. Dalam wawancaranya dengan Radio Hilversum, Xanana menyampaikan bahwa “tidak ada dan tidak akan ada alternatif lainnya. Patria ou morte artinya tanah air atau mati (hal. 34). Baginya perjuangan kemerdekaan rakyat Timor Leste adalah sama dengan perjuangan Indonesia melawan penjajah Belanda. Sama dengan rakyat di negara-negara Asia dan Afrika yang ingin merdeka (hal. 10).

Xanana ingin membangun Negara Timor Leste dengan sistem demokrasi multi-partai. Timor Leste harus menjadi negara yang konstitusinya secara jelas membela HAM. Ia merasa bahwa Timor Leste mempunyai potensi untuk membangun dirinya sendiri. Pembangunan harus diarahkan kepada kesejahteraan rakyat dan bukan mengejar kemajuan ekonomi saja (hal. 47). Ia menolak bahwa Timor Leste hanya bisa membangun jika bersama dengan Indonesia.

Keinginan untuk melakukan pemisahan dari Indonesia melalui referendum itu akhirnya terlaksana pada bulan Agustus 1999. PBB mengumumkan hasilnya pada tanggal 30 Agustus 1999 dengan 78,5 rakyat Timor Timur ingin berpisah dari Indonesia. Sejak Timor Leste merdeka, Xanana diangkat menjadi Presiden pertama Timor Leste. Padahal sebelumnya Xanana menyampaikan bahwa ia tak ingin menjadi Presiden Timor Leste.

Sejak merdeka, memang janji-janji bahwa Timor Leste tidak akan membenci Indonesia dibuktikannya. Xanana dan Timor Leste menjadi sahabat baik Indonesia. Bahkan saat terjadi tsunami di Aceh, Xanana datang ke Indonesia dan menemui Presiden SBY untuk menyerahkan bantuan rakyat Timor Leste untuk para korban tsunami.

Buku ini berisi berbagai wawancara para wartawan Indonesia, Australia dan Radio Hilversum. Terutama wawancara saat Xanana ditahan di LP Cipinang. Dari berbagai wawancara tersebut, kita bisa mendapatkan sejarah Timor Leste dan berbagai isu terkait dari pandangan Xanana. Kita bisa tahu bagaimana Xanana memandang keterlibatan Indonesia di tahun 1975 dan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Kita bisa mengetahui pandangan Xanana tentang Deklarasi Balibo, pembunuhan 5 wartawan Australia, peristiwa Santa Cruz, dan kekejaman ABRI di tanah Timor Leste.

Kita juga tahu pandangan Xanan terhadap tokoh-tokoh yang terlibat dalam sejarah Timor Leste, baik orang-orang Timor Leste sendiri seperti Lopes da Cruz, Ramos Horta, Uskup Belo, Jose Osorio dan Abilio Osorio Soares dan sebagainya; maupun tokoh tokoh Indonesia seperti Adam Malik, Tomodok, Prabowo Subianto, Benny Murdani, Suharto, Amin Rais, Habibie dan tentu saja Ali Alatas.

Buku ini semakin menarik karena disusun dengan sangat baik oleh Tri Agus Susanto Siswowiharjo, seorang wartawan yang rajin menulis tentang masalah Timot Timur dan pernah dipenjara di Cipinang bersama-sama dengan Xanana. 668

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu