x

Iklan

Syarifudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 April 2019

Jumat, 8 April 2022 06:53 WIB

Bahasa Melayu vs Bahasa Indonesia, Mana Lebih Layak Jadi Bahasa Resmi ASEAN?

Heboh soal bahasa Melayu diusulkan jadi bahasa resmi ASEAN. Lalu bagaimana dengan bahasa Indonesia? Siapa lebih layak dan apa yang dilakukan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bak petir di siang bolong, PM Malaysia Sabri Yakob dalam kunjungannya ke Indonesia (1/4/2022) tiba-tiba mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN di depan Presiden Jokowi. Sontak publik di Indonesia mereaksi dan tidak mendukung. Karena yang pantas justru Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN. Twibbon dukungan ke Bahasa Indonesia pun beredar hingga Mendikbud RI merilis sikap tidak mendukung bahasa Melayu menjadi bahasa ASEAN.

 

Sayangnya, Mendikbud RI dalam keterangannya, masih menyebut akan mengkaji lebih lanjut usulan tersebut. Seharusnya tidak perlu dibahas lagi tapi langsung bersikap menolak usulan bahasa Melayu jadi bahas resmi ASEAN. Tegas-tegas saja, untuk bersikap menolak. Indikatornya sederhana, karena penutur bahasa Indonesia jauh lebih banyak daripada penutur bahasa Melayu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saya mencoba untuk mengkalkulasi usulan PM Malaysia. Siapa yang lebih layak menjadi bahasa resmi ASEAN antara bahasa Indonesia vs bahasa Melayu? Maka jawab saya tentu bahasa Indonesia. Alasannya, karena salah satu syarat bahasa bisa dijadikan bahasa resmi di mana pun adalah karena jumlah penuturnya yang banyak. Seperti bahasa Inggris dijadikan bahasa internasional karena penuturnya banyak dan di mana-mana. Tentu dengan segala variannya.

 

Setidaknya ada 5 (lima) alasan penting yang mendasari bahasa Indonesia sangat layak menjadi bahasa resmi ASEAN dibandingkan bahasa Melayu adalah sebagai berikut:

  1. Jumlah penutur bahasa Indonesia yang mencapai 273,5 juta lebih banyak dari penutur bahasa melayu di Malaysia hanya 32,37 juta (2020).
  2. Aset kosakata bahasa Indonesia yang mencapai 110.538 lema (April 2019) lebih banyak daripada kosakata bahasa Melayu.
  3. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun diperkaya oleh 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia (labbineka.kemdikbud.go.id - 2022), sedangkan bahasa Melayu didukung oleh 137 varian bahasanya.
  4. Secara semantik atau makna bahasa, bahasa Indonesia memiliki tingkat keterpahaman lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Artinya, penutur bahasa Melayu lebih mudah memahami bahasa Indonesia dibandingkan penutur bahasa Indonesia memahami bahasa Melayu. Makna harus jadi acuan penting dalam bahasa resmi suatu negara atau wilayah.
  5. Dalam skala internasional, bahasa Indonesia pun menjadi studi khusus yang dipelajari di 47 negara, di samping ada 428 lembaga yang menyelenggarakan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Hal ini berarti universlitas bahasa Indonesia lebih besar daripada bahasa Melayu.


Jadi, kelima alasan di atas harusnya menjadi penegas penolakan untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN. Justru, bahasa Indonesia-lah yang seharusnya menjadi bahasa resmi di Kawasan ASEAN. Sambil tetap mengakui bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu memiliki akar linguistik dari bahasa Melayu yang sama. Namun Sesuai dengan sifat bahasa yang dinamis, tentu bahasa Indonesia dan bahasa Melayu tidak lahgi bisa disamakan.

 
Namun usulan PM Malaysia Sabri Yakob untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN, bagi saya, patut diacungi jempol.  Karena beliau berhasil menjalankan peran diplomasi bahasa yang apik sehingga membuat penutur bahasa Indonesia menjadi geram atau minimal tidak menerima. Bahasa Indonesia dengan jumlah penutur yang ratusan juta justru abai terhadap diplomasi bahasa. Indonesia sebagai bangsa, mungkin kurang memperhatikan bahasa Indonesia sebagai identitas dan jadi diri bangsanya sendiri. Sementara pejabat Malaysia pun berani menulis surat resmi kepada Menlu AS dengan bahasa Melayu, di samping menggunakan bahasa Melayu dalam kunjungan ke berbagai negara. Diplomasi bahasa inilah yang harus dimainkan petinggi dan pejabat Indonesia di level internasional.

 

Faktanya, bahasa Indonesia memang lebih layak menjadi bahasa resmi ASEAN daripada bahasa Melayu. Apalagi bila ditinjau dari aspek historis, linguistik, hukum, dan sifat sistemik – universalitas, bahasa Indonesia jauh lebih kokoh untuk dinobatkan sebagai bahasa resmi ASEAN. Tapi sayang, dari waktu ke waktu, harus diakui sepertinya perhatian pemerintah terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dan nasional kian mengendur. Coba cek saja, penggunaan istilah-istilah asing di ruang publik yang tetap menjalar bahkan hampir tidak ada teguran soal penggunaan bahasanya. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun pun kini hanya sebatas jargon. Makanya hoaks dan ujaran kebencian pun masih terjadi hingga kini,

 

Karena itu sebagai pelajaran dari pernyataan PM Malaysia soal bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi ASEAN tidak cukup hanya sekadar menolak. Tapi ke depan, pemerintah Indonesia harus membuktikan perhatian dan aksi nyata akan eksistensi bahasa Indonesia yang terkait dengan:

  1. Kemauan politik dari pemerintah untuk terus memperkuat kebijakan bahasa Indonesia yang lebih strategis, baik di mata nasional maupun internasional. Masalah-masalah kebahasaan Indonesia harus diperkuat melalui kajian-kajian bahasa yang lebih dinamis dan berterima di era digital seperti sekarang. Bila perlu bikin lagi Gerakan nasional mencintai bahasa Indonesia.
  2. Diplomasi bahasa Indonesia di ruang internasional harus terus diperkuat dan disampaikan kepada khayalak internasional. Pejabat pemerntah harus menjadi contoh dan mempelopori inisiatif diplomasi bahasa dengan cara menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun di acara internasional.
  3. Sikap berbahasa penutur bahasa Indonesia pun harus direvitalisasi. Siapa pun harus bangga berbahasa Indonesia bukan malah sok mentereng bila mampu menggunakan bahasa asing. Bahasa asing sebagai ilmu dan keterampilan bahasa tidak masalah. Tapi bila penggunaan bahasa asing mengganggu nasionalisme sebagai bangsa harus dihentikan.
  4. Pemerintah perlu menertibkan lagi penggunaan bahasa asing yang berlebihan dan bertebaran di mana-mana, seperti di mal, di tempat wisata, atau di ruang publik lainnya. Apa pun alasannya, bahasa Indonesia harus jadi tuan rumah di negerinya sendiri.

 

Jadi tidak usah kebakaran jenggot karena pernyataan PM Malaysia tentang usulan bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi ASEAN. Karena faktanya, bahasa Melayu tidak lebih layak daripada bahasa Indonesia. Tapi lebih baik fokus pada apa yang sudah dilakukan penutur dan pemerintah Indonesia dalam mempertahankan eksistensi bahasa Indonesi sebagai bahasa dengan jumlah penutur terbesar ke-4 di dunia? Karena sejatinya, bahasa itu bakal terancam punah jika masyarakat penuturnya tidak lagi menghormati bahasanya sendiri. Karena hari ini, masih banyak sikap tidak peduli terhadap bahasa Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Syarifudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler