x

Iklan

Rofi' Setia Bekti

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Sabtu, 9 April 2022 18:53 WIB

Hakim Hasil Rampasan

Keberuntunganku hanya sampai detik ini. Bukan, dari awal aku bukanlah orang yang beruntung. Baru kali ini aku terjerumus pada lubang yang kubuat sendiri, meskipun aku tidak pernah merasa membangunnya sama sekali. Mimpi itu tak lagi mengasyikkan seperti dulu. Tangga yang kubangun roboh dan menjelma menjadi kutukan dalam sejarah kehidupan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jika ada yang bilang hidupku bahagia, kuakui itu benar. Jika ada yang bilang aku adalah wanita yang beruntung sedunia, kuakui itu juga benar. Aku cukup bersyukur dengan kehidupan yang kujalani, termasuk lingkungan sekitarku yang sangat peduli. Yah, walaupun fisikku tak sekuat orang-orang, tapi itu tak berarti selagi aku masih punya mimpi.

Bapakku seorang pejabat, aku memanggilnya Rama (sebutan bapak dalam bahasa Jawa). Beliau menjadi bupati untuk lima tahun terakhir dan akan mencalonkan lagi di tahun berikutnya. Dulu, beliau hanya berprofesi sebagai lurah. Namun, orang bilang karena kejujuran dan keuletannya, beliau diangkat. Bagiku, beliau adalah sosok pahlawan, layaknya guru bangsa, Tjokroaminoto atau peran Tui dalam film kartun Moana. Wibawanya, bicaranya, cara mendidik anak-anaknya, membuatku ingin kelak sepertinya. Apalagi, di tengah kesibukannya, beliau masih telaten meladeni rengekanku sehari-hari. Maklum, rama adalah orangtuaku satu-satunya. Biyung (sebutan ibu dalam bahasa Jawa) meninggal sebelum rama diangkat menjadi bupati. Padahal, itu adalah mimpi terbesar biyung untuk melihat rama punya jabatan tinggi.

Deeet… deeet….

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Halo Res,” sapa Bagas, teman kuliahku melalui ponsel.

Beruntung di tengah hiruk-pikuk kehidupan desa, aku adalah salah satu remaja yang bisa melanjutkan kuliah.

“Iya Gas. Gimana-gimana?”

“Aku mau curhat.”

“Kirain mau nanya tugas. Yaudah, sini-sini gue dengerin,” jawabku seraya mengunyah keripik kentang yang sedari tadi kuanggurin.

“Bokap ditangkap.”

“Uhuk… uhuk….” Aku tersedak. Remahan keripik menyangkut di tenggorokan. 

Bagi mahasiswa hukum seperti kami, kata ‘ditangkap’ perihal lumrah. Namun, beda cerita jika menyangkut orang tua Bagas. Sejauh ini, yang kutahu bahwa bapaknya Bagas adalah anggota KPK pusat yang diagung-agungkan namanya berkat kerjanya membasmi tikus berdasi. 

“Kok bisa?” ucapku tak sopan.

“Iya, gue malu Res. Malu banget.”

Aku tidak menjawab.

“Ternyata kecurigaan gue selama ini terbukti. Mana ada PNS tiba-tiba punya empat mobil mewah dalam sebulan. Belum lagi, tawaran jalan-jalan ke Prancis minggu kemarin. Bodohnya, gue nggak seakrab itu untuk tahu kelakuan busuk bokap.”

“Gas, lo nggak boleh begitu. Gue emang nggak pernah berada di posisi lo, nggak tahu seberapa jauh hubungan lo. Bagaimanapun, dia bokap lo, darah daging lo.”

“Nah, itu Res yang ngebuat gue ngerasa udah nggak punya muka. Gue mahasiswa hukum loh, sama kayak lo Res.”

Kudengar desahan berat dari napasnya. Sedangkan aku, masih bingung harus berkata-kata.

“Sabar Gas. Mungkin aja ini cobaan buat ngewujudin mimpi lo.”

“Semoga. Emang manusia jaman sekarang. Mana ada yang nggak rakus. Apalagi, petinggi-petinggi itu. Kalau begini, siapa yang mau percaya kepada pejabat, aparat negara, atau orang penting yang cuma kalau lewat minta didahuluin trus dikawal pakek mobil polisi?”

Celoteh Bagas terdengar kesal. Seakan-akan, dia lupa bahwa bapaknya sudah menjadi tersangka.

“Kamu benar Gas. Coba aja mereka memikirkan akibatnya. Bagaimana rakyatnya, orang-orang terdekat, terlebih keluarganya.”

“Kalau semua koruptor seperti itu, tidak akan ada kasur besar dan pelayanan hotel bintang lima yang masuk ke dalam bui, Res.”

Aku tertawa rendah.

“Ini udah kayak mimpi buruk. Semoga nggak terjadi sama lo.”

Deet… deet….

Seperti biasa, sinyal terputus. Maklum, wi-fi rumah baru saja diperbaiki. Belum lagi, akses sinyal sulitnya minta ampun. Listrik saja tidak stabil, sering mati tiba-tiba. Alhasil, aku harus mencari tempat tinggi atau menunggu sinyal yang bak semilir angin berhembus mengisi garis-garis di ponselku.

Pyarr…. suara benda kaca yang seolah dibanting, menggema hingga melewati dinding kamarku yang terlihat kokoh. Kegaduhan menyapu hening. 

Aku terdiam, mencoba mendengarkan bisikan-bisikan di luar sana. Dua orang sedang bersandiwara, kukenal betul siapa pemilik suara itu, rama, bersama ajudannya. 

Kakiku bergerak perlahan, mendekat ke arah pintu seraya menempelkan telingaku di permukaannya. 

“Kenapa bisa, Dan?” bentak rama dengan lantang.

“M…maaf, Pak. Sulit membujuk mereka. Bapak tau sendiri, tanah itu satu-satunya lahan mata pencarian warga,” jawab Pak Prapto, ajudan rama. Dia berucap sangat lirih, hampir saja lolos dari pendengaranku.

“Gagal sudah rencana kita, gagal.”

“Bapak tak perlu pesimis, pasti ada acara lain.”

“Cara lain kamu bilang?” teriak rama semakin menantang. Ini langka, terakhir kali kujumpai bentakannya kala usiaku SD sebab ulahku menginjak tanaman sawi di pekarangan tetangga.

“Semua sudah saya kerahkan untuk proyek ini. Toh, tidak ada hukum yang mengikat bagi kepemilikan tanah itu. Hanya saja, kenapa membujuk mereka saja sulit? Siapa kirannya yang sudah mengelabuhi otak warga sehingga mereka mengurungkan diri dari niat sebelumnya?”

“Saya juga tidak tahu, Pak. Malahan, mereka semakin berontak. Demonstrasi di beberapa sudut. Mereka mengeklaim bahwa tanah itu milik mereka. Mereka menuntut ganti rugi ke kita.”

“Kacau sudah, kacau. Padahal, keuntungan proyek ini sangat besar. Tidak ada cara lain selain memalsukan tanda tangan atau menggusur paksa perkebunan.”

“Ta… tapi Pak. Itu satu-satunya mata pencarian mereka.”

“Dan, ini kesempatan emas bagi kita. Toh, ini juga untuk kebaikan mereka. Perusahaan rokok itu berjanji akan memberikan akses listrik bagi desa ini.”

Dadaku panas, napasku memburu kala otakku mulai mampu mencerna arah pembicaraan mereka. Tanganku bergetar, jemariku merambat menuju gagang pintu dan sekejap menekannya.

Dua orang menyergapku dengan tatapan intimidasi. Kulakukan hal yang sama. 

“Proyek, proyek apa, Rama?” ucapku tersendat. Air mataku tak kuasa jatuh. “Jawab Rama!” bentakku. 

Rama mendekat, dia memberikan tatapan nanar ke arahku.

“Ndhuk, ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” jawab rama ragu. 

“Apa, Ma? Apa? Rama mau menggusur tanah yang penuh kontroversi itu? Ma, Rama pernah berjanji untuk terus mendukung mereka bukan? Mana janji yang Rama elu-elukan sebelum menjabat?” 

“Res….”

“Jawab Ma!”

“Berani kamu membentak rama? Apa rama pernah mengajarkan kamu membentak orang tua? Hah?” Amarahnya membuat bulu kuduku bergidik. Matanya melotot, tangannya mengepal hingga memunculkan garis-garis urat di lengannya.

“Apa sudah tidak ada lagi sisi kemanusiaan pada diri Rama? Resti kecewa sama Rama. Mereka butuh makan Ma, orang-orang kecil itu berhak hidup. Untuk apa Rama melakukan ini?” tanyaku berusaha tidak memedulikan amarah rama.

“Semua ini rama lakukan untukmu. Kamu ingin menjadi hakim bukan? Kamu ingin sekolah ke luar negeri tho? Belum lagi, penyakitmu itu memerlukan obat yang mahal Res, rama lakukan ini demi kamu Ndhuk, demi kamu.” Matanya menatapku nanar, suaranya mendadak samar, seakan kalimat itu tak kuasa dikatakan. 

Deg. Seolah badai topan menyergapku. Kilasan-kilasan kata ‘ditangkap’ memenuhi relung. Aku merasa, ucapan itu telah menodongku dengan kalimat, “Semua ini salahku, aku penyebabnya.”

“Jika itu mau rama, aku berhenti kuliah. Aku malu Ma. Aku tidak mau menggunakan hak orang lain guna memenuhi keinginanku. Untuk apa jadi hakim kalau sekolahnya pakai uang rampasan. Mulai sekarang aku berhenti,” ucapku terbata seraya memutar badan dan menuju kamar, meninggalkan rama yang masih mematung.

“Resti… Ndhuk…,” teriak rama tak kuhiraukan.

Pintu kubanting dengan keras, tubuh kurebahkan di atas kasur. Wajahku mulai membenam di antara bantal dan selimut.

“Res… halo Res, kamu masih di situ kan? Kapan balik ke Jakarta?” tanya Bagas yang bersuara lewat ponsel.

Ikuti tulisan menarik Rofi' Setia Bekti lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler