x

Sumber Foto: Pexels/ Buku

Iklan

Sri Yundiani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 17 April 2022

Senin, 18 April 2022 22:35 WIB

Bacaan Liar dalam Sejarah Sastra Indonesia ?

artikel ini mengulas mengenai mengapa dalam perkembangannya sastrawan dan karya nya dalam sejarah sastra Indonesia ada yang disebut dengan karya liar atau bacaan liar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sastra Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan berlangsung sampai detik ini setelah Indonesia merdeka. Tidak banyak yang tau bahwa Sastra Indonesia telah menjadi salah satu tonggak utama bagi terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini bukanlah sakadar omongan belaka, bukan pula pengakuan dari para sastrawan atau juga orang-orang yang simpati terhadap keberadaan Sastra Indonesia, melainkan sudah tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merampas kemerdekaan dari penjajah yang tidak mempunyai prikemanusian itu. Pada masa perjuangaan munculah berbagai karya sastra baik dalam bentuk prosa ataupun puisi yang isi di dalamnya berupa kobaran semangat rakyat Indonesia dalam melawan penjajah untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia. Sokongan yang sastra Indonesia berikan dalam mengisi kemerdekaan, terimplementasikan dalam wujud nilai-nilai budaya yang diciptakan sastrawan dalam sebuah karya sastra adalah untuk memberikan pendidikan terhadap generasi bangsa Indonesia tercinta ini. Selain itu, sastra juga dipakai sebagai alat kritik sosial terhadap pemerintah maupun masyarakat yang dipandang oleh sastrawan telah menyalahi aturan undang-undang, nilai-nilai kemanusian, bahkan norma yang dianut oleh masyarakat tersebut.

Dengan keberadaan sastra dalam dinamika kehidupan masyarakat yang menjadi alat kritik sosial maupun dalam usahanya untuk memberikan pendidikan itu, muncul-lah pro dan kontra dari kalangan masyarakat. Para kritikus sastra, akademisi, dan penggemar sastra melihat dan menangapi kehadiran sastra sebagai sebuah salah satu gerbang yang bisa dipakai untuk meraih kemerdekaan. Karya sastra juga dianggap sebagai kegiatan kreatif dalam seni juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya. Sedangkan menurut masyarakat umum, mereka memahami dan merespon karya sastra tidak lah bisa berpengaruh terhadap terwujudnya Indonesia yang merdeka.

Hal-hal yang terjadi seperti di atas pada akhirnya menimbulkan sebuah jastifikasi terhadap sastrawan dan karya-karyanya. Problem seperti ini ternyata bukan hanya terjadi pada era sekarang saja, bahkan sudah terjadi sejak era perjuangan melawan para penjajah. Pada masa perjuangan banyak karya sastra dari berbagai rumpun yang lahir dan tersebar di kalangan masyarakat. Karya tersebut itu lahir atau muncul dari berbagai kalangan masyarakat seperti latar belakang  agama, budaya, sosial, serta idiealisme yang berbeda. Peristiwa ini menyebabkan adanya kategorisasi terhadap para sastrawan dan karya-karyanya sehingga memberikan cap berdasarkan pola kelompok masing-masing.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada era perjuangan melawan penjajah dalam rangka merebut kemerdekann jastifiksi atau pemberian cap terhadap karya sastra juga pernah terjadi pada beberapa sastrawan Indonesia. Seperti yang pernah terjadi pada Mas Marco Martodikromo yang pada saat itu  menjadi jurnalis sekaligus wartwan yang mendapat jastifikasi sebagai pengarang liar. Karya beliau yang berupa roman dengan judul ‘Syair Rempah-Rempah’, ‘Studen Hidjo’, dan ‘Rasa Merdika’ telah dicap sebagai satra liar. Hal yang sama terjadi pula pada pada seorang aktivis partai komunis bernama Semaun yang juga dianggap sebagai sastrawan liar, karena karyanya yang berjudul  Hikayat Kadiroen. Pada era penjajahan Jepang nasib yang sama juga terjadi pada Suttan Takdir Ali Syahbana dan para sastrawan lainnya yang menerbitkan karya-karyanya di Pusat Kebudayaan Jepang sebagai sastrawan yang diperbudak Jepang. Karya-karya mereka di jastifikasi sebagai sastra propaganda Jepang dan tidak bernilai sastra. Pada era sekarang pun ternyata masih terjadi pula jastifikasi terhadap sastrawan dan karya sastranya, contohnya yang terjaadi ada pada  Habiburrahman El-siraji penulis novel Ketika Cinta Bertasbih. Sebagian kelompok menganggap bahwa novel karya Habiburrahman El-siraji bukanlah suatu karya sastra karena sudut pandang dan paradigma pada novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El-siraji tidak sesuai dengan sudut pandang serta karakteristik karya sastra yang mereka anut sehingga menimbulkan perbedaan dengan kelompok sastra yang lainnya.

Bacaan liar dimaksud merupakan buku-buku bacaan dengan gaya sosialis-realisme yang tidak diterbitkan oleh Balai Pustaka. Karena Balai Pustaka adalah penerbit yang dikelola Pemerintah maka mengatur peraturan yang telah disetujui oleh Pemerintah Kolonial. Peraturan ini dikenal sebagai Nota Rinkes (1911). Adapun ciri-ciri yang termasuk Bacaan liar menurut balai pustaka adalah apabila, Yulianeta (2008: 171) mengemukakan bahwa ciri-ciri karya sastra yang tergolong bacaan liar menurut Balai Pustaka adalah:

  1. Di dalamnya berisi ide-ide politik tertentu yang bertentangan dengan pandangan politik pemerintah yang berdaulat.
  2. Berisi hinaan atau menyudutkan pada kelompok agama tertentu.
  3. Berisi atau menceritakan adegan yang melanggar nilai moral.
  4. Di dalamnya ada penghinaan terhadap kelompok bangsa tertentu.
  5. Di dalamnya menggunakan bahasa yang bukan Bahasa Melayu Tinggi (Melayu Rendah).

Ikuti tulisan menarik Sri Yundiani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler