x

Iklan

Nur Kholifah Palaloi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 April 2022

Rabu, 20 April 2022 07:31 WIB

Karya Sastra Media Pendidikan Karakter bagi Peserta Didik


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter pun menjadi perhatian dunia pendidikan karena munculnya berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh generasi muda akibat gagalnya pembentukan karakter dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Melalui pendidikan, diharapkan karakter generasi muda dapat terbentuk dengan kuat karena dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan.

Sekolah bukan hanya bertanggung jawab dalam melahirkan siswa yang unggul dalam ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi juga dalam jati diri, karakter, dan kepribadian. Pembentukan watak dan karakter melalui sekolah tidak bisa dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan (kognisi) tetapi juga melalui penanaman atau pendidikan nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Penanaman nilai-nilai akan lebih efektif jika menggunakan media yang dapat langsung dipahami (diketahui), dirasakan, dan dilakukan.

Karya sastra diciptakan sarat dengan makna yang bertujuan memberi pengalaman batin, menghibur pembaca, dan penikmatnya. Oleh karena itu, merupakan kekeliruan besar jika peserta didik tidak dibawa untuk menikmati karya sastra. Berkenaan hal tersebut, diharapkan para guru memberi perhatian khusus agar karya sastra menjadi salah satu media pendidikan jika ingin memberikan kepuasan jiwa pada peserta didik. Hidup di era modernisasi akan membawa dampak terhadap pergeseran nilai budaya, sikap, dan perilaku yang menyebabkan rasa kepekaan sosial semakin berkurang di antara masyarakat. Dengan demikian, diperlukan kearifan untuk mengintensipkan karya sastra untuk mengatasi keterpurukan moral peserta didik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sastra sebagai cerminan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Menurut Herfanda (2008:131) sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial-budaya dari keadaan yang terpuruk dan ’terjajah’ ke keadaan yang mandiri dan merdeka.

Tentulah spirit-spirit tersebut menjadi bagian terpenting dari pendidikan karakter peserta didik. Artinya, sastra tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang mampu memberikan kemenarikan dan hiburan serta yang mampu menanamkan dan memupuk rasa keindahan, tetapi juga yang mampu memberikan pencerahan mental dan intelektual. Dalam keadaan demikian, menurut Ismail dan Suryaman (2006) sastra haruslah sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar kemampuan literasi tumbuh sehingga budaya baca berkembang. Kemampuan literasi tidak dapat tumbuh tanpa usaha sadar dan terencana. Usaha sadar dan terencana itu di antaranya adalah melalui penyediaan sarana dan prasarana baca, seperti buku dan perpustakaan, yang dapat dimulai dari buku-buku sastra.

Selain mengandung keindahan, karya sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, baik bobotnya maupun susunannya; menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayati: kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Ismail dan Suryaman, 2006). Penciptaannya dilakukan bersama-sama dan secara saling berjalinan, seperti terjadi dalam kehidupan yang kita hayati sendiri. Namun, kenyataan ini di dalam sastra dihadirkan melalui proses kreatif. Artinya, bahan-bahan tentang kenyataan telah dipahami melalui proses penafsiran baru dalam perspektif pengarang. Karya sastra memang merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keempat ke Kebenaran: melalui sastra pembaca seringkali jauh lebih baik daripada melalui tulisan-tulisan nonsastra serta dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya. Di sinilah segi keindahan dan kebermanfaatan dari karya sastra, yakni gambaran kenyataan dalam subjektivitas pengarang.

Secara teori, Abrams (1981) telah memberikan pemetaan mengenai karya sastra ke dalam empat paradigma. Paradigma pertama adalah mengenai karya sastra sebagai karya objektif (sesuatu yang otonom, terlepas dari unsur apa pun). Paradigma kedua adalah mengenai karya sastra sebagai karya mimesis (tiruan terhadap alam semesta). Paradigma ketiga adalah mengenai karya sastra sebagai karya pragmatis (yang memberikan manfaat bagi pembaca). Paradigma keempat adalah mengenai karya sastra sebagai karya ekspresif (pengalaman dan pemikiran pencipta). Dengan demikian, karya sastra memang memiliki segi manfaat bagi pembaca, khususnya berkenaan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya agar pembaca lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan hidup melalui kesalehan sosial dan kesalehan ritual.

Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa sastra dengan demikian dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter). Melalui novel, misalnya, model kehidupan dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita sebagai pelaku kehidupan menjadi representasi dari budaya masyarakat (bangsa). Tokoh-tokoh cerita adalah tokoh-tokoh yang bersifat, bersikap, dan berwatak. Kita dapat belajar dan memahami tentang berbagai aspek kehidupan melalui pemeranan oleh tokoh tersebut, termasuk berbagai motivasi yang dilatari oleh keadaan sosial budaya tokoh itu. Hubungan yang terbangun antara pembaca dengan dunia cerita dalam sastra adalah hubungan personal. Hubungan demikian akan berdampak kepada terbangunnya daya kritis, daya imajinasi, dan rasa estetis. Melalui sastra, peserta didik tidak hanya belajar budaya konseptual dan intelektualistis, melainkan dihadapkan kepada situasi atau model kehidupan konkret. Sastra dapat dipandang sebagai budaya dalam tindak (culture in action), dan membaca sastra Indonesia misalnya, berarti mempelajari kehidupan bangsa Indonesia.

Ikuti tulisan menarik Nur Kholifah Palaloi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler