x

Kau adalah bayangan yang hanya bisa terbayang

Iklan

sucahyo adi swasono

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Sabtu, 23 April 2022 13:51 WIB

Menembus Batas Angan

Cerpen tentang perjalanan pikiran dan pergulatan pemikiran dalam proses mendapatkan janin untuk dilahirkan sebagai konsepsi hidup yang objektif ilmiah dalam prinsip-prinsip keseimbangan ...

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sampai saat ini aku masih belum melupakannya, masih selalu mengenangya. Sosok seorang kawan, yang suatu ketika kutasbihkan sendiri sebagai salah seorang guru ajarku, meski dia sendiri menampik manakala pernah kukatakan di hadapan beberapa orang bila dia adalah bagian dari sekian guru ajarku dalam mewarnai langkah perjalanan hidupku.

Walaupun di usianya empat tahun di bawah usiaku, aku tak segan-segan mengakuinya sebagai guru ajarku. Sebab, semenjak masih remaja telah tertanam dalam diriku suatu nilai prinsip, “Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan melihat siapa yang bicara”. Lantaran itulah, di kala dia menukik deras ke alam pikiranku, menggugah kesadaranku, di kala aku terobsesi oleh selimut tanya tentang makna hidup dalam kehidupan, di kala aku berupaya mendapatkan jawabnya, tiba-tiba aku tercengang dan terkesima. Oleh ucap katanya yang menghujam tajam merobek suasana larut malam, meretakkan kebuntuan pencarianku selama ini. Sebongkah tanya tentang makna hidup dalam kehidupan yang sebenar-benarnya hidup dalam kehidupan di alam fana ini. Harus kuakui, harus bisa kuterima meski masih berupa nukilan pembuka pencerah alam pikiranku.

“Belum tidur, Sam?” sapa dia sembari berdiri persis di depan kamar kostku, yang sengaja kubuka untuk mengusir rasah gerah di kala cuaca tengah memasuki musim kemarau. “Belum. Masih baca-baca buku seadanya, “ jawabku menimpali. “Rupanya koleksi buku bacaanya lumayan banyak, ya?” katanya dengan sorot mata mengarah ke jajaran buku-buku yang kutata rapi di dinding kamar, dipangku oleh papan kayu bersangga dua logam siku yang dipaku pada dinding dan papan kayu itu. “Ach, nggak juga, inipun sebagian kudapatkan dari pasar loak, dari pedagang buku bekas”, jawabku apa adanya. “Gak masalah, Sam, yang penting kan esensi isi dari bukunya, bukan dari mana asalnya ...” Komentar dia bernada kelakar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Beranjaklah aku dari dipan, kuisyaratkan kepada dia untuk berlanjut ngobrol di ruang tengah, ruang yang biasa digunakan oleh kawan-kawan serumah kost berkumpul, ngobrol maupun diskusi. Penghuni rumah kostku ada lima orang. Tiga yang lainnya pas pada pulang kampung dengan keperluannya masing-masing. Tinggal aku berdua sama dia.

“Sampeyan ini sudah biasa ya, berdiskusi yang mengedepankan aspek logika rasional, ketimbang perasaan yang subjektif?” Tanya dia mengawali obrolan berdua di ruang tengah.

“Ya, begitulah. Bukankah sebagai bagian dari insan ilmiah berumahkan kampus perguruan tinggi, negeri lagi! Hal yang harus diutamakan adalah logika rasional sebagai dasar berpikir dan bersikap ilmiah?” Timpalku menanggapi tanya dia yang kuyakini sudah cukup lama mengamati aku. “Wah, kebetulan ini, Sam. Sampeyan saat ini mood gak bila kuajak diskusi bertemakan agama?”

Dengan sigap aku pun menjawab, “Dengan senang hati, kawan. Hanya, aku ini gak punya latar belakang pesantren, gak pernah nyantri, bahkan tradisi ngaji di surau maupun di majelis taklim pun hampir tidak pernah sama sekali. Pendidikan agama Islamku, kuperoleh hanya dari bangku sekolah formal sedari SD hingga saat ini, yang di kampus kuharapkan dari MKDU, yakni mata kuliah Pendidikan Agama Islam 1 dan 2. Itu saja, lho?”

“Ach, itu gak masalah, Sam. Yang penting dan utama, ya itu tadi, dasar logika rasional”, lanjut dia meneruskan diskusi ala timbal cakap laksana seorang guru dan muridnya dalam suasana informal. Sang guru yang lebih muda empat tahun dari muridnya yang berklasifikasi Abangan, sebagaimana klasifikasi dari seorang Clifford Geertz, Antropolog Amerika, dalam salah satu buku karyanya bertitel The Religion of Jawa, yang lebih populer titel bukunya dalam terjemahan, yakni Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.               

Iman, itu sebuah terminologi yang di agama Islam menduduki posisi yang paling dasar, pondasinya. Sebelum menuju ke Islam sebagai tatanan atau ad-din, berikutnya Ihsan dan Sa’ah. Nah, apa yang selama ini kita pahami arti kata Iman sebagai dasar? Jujur saja, arti kata Iman oleh massal manusia dimaknai sebatas percaya. Definisinya pada batas percaya saja. Sehingga, hanya bermodalkan percaya kepada keberadaan Tuhan, Allah Sang Maha Pencipta, seseorang sudah berlabelkan mukmin. Merujuk kepada Hadits Ibnu Majah, Al-Imanu Aqdun Bil-qalbi Wa Iqraarun Bil-lisaani Wa ‘amalun Bil-Arkaani, maka arti kata iman itu meliputi tiga hal, yakni pikiran, ucapan dan tindakan, perilaku, atau perbuatan. Itulah iman. Selanjutnya, antara pikiran dan ucapan adalah pandangan. Sedangkan, perwujudan dari pandangan itu adalah sikap. Jadi, iman adalah pandangan dan sikap hidup. Dengan demikian, manakah yang lebih dikata ilmiah atas dasar logika rasionalnya, atau yang secara leksikal bahasanya bermakna percaya? Dan, fakta yang berkembang di masyarakat seumumnya tentang iman, di antaranya adalah percaya kepada Allah, percaya kepada malaikat, dan seterusnya.

Ulasan kawan sekostku yang masih muda ini, memang mencengangkan, dan aku benar-benar terkesima oleh ujarannya yang menurutku begitu revolusioner  dalam menanggapi dan mencermati ulasan ujarannya. Aku sendiri telah diingatkan ketika mendapatkan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam kala di bangku SMP kelas 2, bahwa agama itu sejalan dengan akal dan tidak ada agama yang tidak sejalan dengan akal. Begitulah aku serasa diingatkan atas suatu prinsip dari prinsip-prinsip yang ada dan pernah kuperoleh, dan yang telah menjadi inventarisasi dalam memori alam pikiranku. Kala itulah menjadi tergali kembali. Tidak keliru kan, harus jujur kusikapi berbalutkan nilai ilmiah, bila kala itu pula kutasbihkan dia sebagai salah seorang guru ajar dari sekian guru ajar yang pernah kutemui, yang telah bersumbangsih mencerahkan dan menorehkan cara pandang bermuatkan nilai positif di ruang pandangan dan sikap hidupku. Kutaruh rasa hormat kepada dia tanpa tedeng aling-aling, tanpa ada kecenderungan mengkultuskannya. Meski dia lebih muda empat tahun dari usiaku. Kala itu dia baru memasuki semester 2 dalam studinya, sementara aku jelang mengakhiri studi guna menggapai sarjana.

“Aku yakin tanpa berlebihan, kawan, bahwa apa yang sampeyan sampaikan baru saja itu bukanlah serta merta, palagi sampeyan peroleh dari akibat sebuah perenungan, kontemplasi ataupun intuisi seperti halnya kata gaungnya orang filsafat. Terminologi itu sudah kukubur dalam-dalam dan kukesampingkan, manakala kita hidup di habitat maupun ranah ilmiah, bahkan di hadapan peserta kuliah Dasar-Dasar Filsafat dari mahasiswa tiga jurusan fakultasku, telah kusanggah sang dosen kala menyampaikan kuliah filsafatnya, bahwa filsafat bukanlah induknya ilmu dari semua ilmu yang kita terima yang diajarkan di perguruan tinggi,” begitu komentar tanggapanku setengah menanyakan dari mana dia peroleh ulasan yang telah disampaikan kepadaku yang abangan ini.

“Ya, memang, aku harus jujur ilmiah, bahwa yang kusampaikan kepada sampeyan tadi adalah hasil dari sebuah kajian, dari sebuah studi analisis. Sebab, manusia ini hanyalah mahluk ciptaan Tuhan yang bersifat informatif dan tidak punya kemampuan menciptakan ilmu yang objektif ilmiah. Hanya meneruskan apa yang telah diajarkan oleh Tuhan, Allah, dari endapan dokumen yang bertebaran di muka bumi dan kenyataan alam semesta yang dapat dibaca dan memantulkan aspek ilmiahnya. Itulah fakta sejarah, Sam,” tandas dia, kawanku itu.

Sampailah perantauan alam pikiranku pada suatu ketika, kala aku berupaya mengembangkan diri setelah mendapat pokok-pokoknya saja, tentang nilai-nilai berhikmah kebijaksanaan dalam menatap hidup di kehidupan nyata berdasarkan ajaran Tuhan, bukan ajaran iblis. Sempat dituduhkan kapadaku di kota asalku, bahwa aku adalah satu dari seseorang di Indonesia_Nusantara ini yang dianggap sebagai pelanjut ajaran beraliran sesat?

Dalam satu pertemuan yang merepresentasikan sabagai musyawarah pimpinan daerah, istilah kala itu, setelah aku dipanggil secara resmi, aku bersama kawanku dari ibu kota yang sefrekuensi dengan pemikiranku,  dihadapkan pada sebuah sidang di forum majelis muspida. Kala itu seorang kawanku yang dari ibu kota itu tengah lakukan kunjungan ke kotaku, bersilaturahmi menemui aku dan kawan-kawanku sekota. Kuhadapi para anggota muspida itu dengan tenang tanpa harus merasa dalam kegelisahan, apalagi ketakutan.

Akkhir dari sidang forum majelis muspida di salah satu ruang kantor sospol, syukur alhamdulillah tuduhan sebagai pelanjut aliran sesat terhadap diriku dan kawan-kawanku sekota maupun yang datang dari ibu kota, tak terbukti sama sekali.

Sampaikanlah dan selesaikanlah segala sesuatunya dengan cara yang seindah-indahnya. Karena sesungguhnya, kita sedang sama-sama berada di ruang yang sesat. Maka buat apa kita saling tuding dan menjustifikasi sesat di antara sesama?

Kota Malang, April hari kedua puluh tiga, Tahun dua ribu dua puluh dua,

“Saat malam lengang nan syahdu kucoba menggali ingatanku tentang nilai-nilai kebajikan universal dari ajaran Tuhan yang tertebar di Bumi Indonesia_Nusantara, dalam balutan dasar Bangsa dan Negara, PANCASILA”.

Ikuti tulisan menarik sucahyo adi swasono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler