Demokrasi, Kualitas Institusi dan Kualitas Pemerintahan

Rabu, 11 Mei 2022 20:14 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penanganan pandemi benar-benar merepotkan hampir semua negara dalam dua tahun terakhir. Hal ini menghangatkan kembali perdebatan apakah demokrasi masih merupakan sistem terbaik dalam penanganan krisis secara khusus dan dalam pembangunan secara lebih luas? Dalam pengamatan sekilas, negara-negara non-demokrasi seperti China tampak lebih efektif dalam penanganan krisis.

Oleh Putu Suasta, Alumnus UGM dan Cornell University

Dalam pengamatan sekilas, negara-negara non-demokrasi seperti China tampak lebih efektif dalam penanganan krisis. Di masa puncak pandemi tahun lalu, para pengguna media sosial sering membagikan foto-foto dan vidio yang menunjukkan kemampuan pemerintah China untuk mengendalikan warganya sehingga lebih mudah menjalankan langkah-langkah penanggulangan pandemi. Narasi kebalikannya sering dibagikan dengan mengambil contoh dari negara-negara demokrasi. Paling mencolok adalah India yang sempat mengalami kekacuan hebat dan pemerintah India tampaknya benar-benar kesulitan mengendalikan warganya.

Sebelum pandemi, dua negara tersebut (China dan India) sesungguhnya telah sering dijadikan rujukan dalam diskusi atau studi komparatif yang lebih serius antara sistem non-demokrasi dan sistem demokrasi. Keduanya merupakan negara dengan populasi terbesar di dunia dengan sistem politik yang sangat berbeda.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Putu Suasta

China mewakili sistem non-demokrasi atau sering disebut negara otoritarian. Sementara India mewakili sistem demokrasi. Keduanya sama-sama mencatatkan kemajuan megagumkan dalam pembangunan selama beberapa dekade terakhir. Untuk menarik perbandingan lebih konkrit hasil pembangunan dua negara besar dengan sistem yang sangat berbeda tersebut, mari kita amati angka-angka pengentasan kemiskinan.

Menurut data Pew Research Center, pada periode 2001-2011 China berhasil mengatasi angka kemiskinan penduduknya hingga sisa 12 persen. Ini tentu capaian luar biasa karena sebelum tahun 2000 lebih dari 50 % penduduk China hidup di dalam garis kemiskinan. Capaian luar biasa juga dicatatkan oleh India pada periode tersebut yang berhasil menekan angka kemiskinan hingga tersisa 20 % dibandingkan periode sebelumnya yang lebih dari 50 %.

Jika ditarik ke dalam angka-angka yang lebih konkrit, pada periode tersebut China berhasil mengangkat 356 juta penduduknya keluar dari garis kemiskinan dan India 133 juta. Capaian spektakuler kedua negara ini masih terus berlanjut hingga sekarang tapi jika keduanya diperbandingkan secara head to head, tampak China lebih unggul dari India. Sekilas ini akan menjustifikasi bahwa sistem otoritarian lebih baik dari sistem demokrasi. Tapi para ilmuwan politik sekarang ini semakin condong pada keyakinan bahwa sistem politik atau sistem pemerintahan bukan faktor paling dominan dalam pertumbuhan atau kemajuan pembangunan.

Faktor paling dominan adalah kualitas institusi dan kualitas pemerintahan. Penguasa China lebih leluasa mampu membanguna institusi-institusi yang mapan (stabil), ramping dan efektif dengan karena tidak banyak dipusingkan oleh keharusan mengakomodasi kepentingan dan aspirasi politik. Sebaliknya, India sebagai negara berpopulasi besar dengan sistem demokrasi  harus mengakomodasi berbagai apirasi politik sehingga cenderung membangun institusi yang “gemuk” dan sering berubah seiring dengan perubahan penguasa. Sejalan dengan itu, kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah lebih mudah dijalankan di China karena birokrasi yang ramping. Hal ini menjelaskan mengapa indeks persepsi korupsi China selalu lebih baik dari India menurut data yang dirilis International Transparency saban tahun.

Akan tetapi, kalau kita menggunakan indikator lain dari good governance dalam perbandingan ini, India lebih unggul dari China. Dua indikator yang relevan untuk dibahas selain tingkat korupsi adalah transparansi dan partisipasi. India tentu lebih unggul dalam hal ini karena menerapkan sistem demokrasi sebagaimana tercermin dari kebebasan media, kebebasan sipil dalam politik dan ruang-ruang publik yang lebih terbuka.

Kalau kita berjalan-jalan di kota-kota China akan segera terasa tingginya ketertiban, fasilitas-fasilitas yang rapi dan  layanan-layanan publik yang efektif tetapi akan sulit menemukan aura kebebasan berekspresi seperti pembuatan mural dan aksi-aksi seniman jalanan lainnya. Semua diberi tempat dengan tertip. Di kota-kota India masih mudah menemukan kesemrawutan tetapi dengan mudah juga kita temukan kebebasan warga dalam berekspresi mulai dari seniman, pegiat budaya hingga aktivis-aktivis sosial.

Contoh-contoh dari dua negara besar dengan sistem politik yang sangat berbeda tersebut cenderung mengarahkan diskusi untuk lebih menggunggulkan sistem otoritarian dibandingkan dengan sistem demokrasi. Maka perlu dicatat sekali lagi bahwa faktor paling dominan dalam kemajuan China dan India adalah kualitas institusi dan kualitas pemerintahan.

China adalah contoh terbaik bahwa negara non demokrasi dengan institusi yang baik, dapat menyukseskan pembangunan dan memacu pertumbuhan yang mengagumkan. India adalah contoh negara demokrasi yang juga sukses dalam pembangunan, tetapi kesuksesan India akan bisa mengimbangi kesuksesan China jika berhasil meningkatkan kualitas institusi terutama institusi ekonomi.

Sebagai tambahan rujukan, mari kita lihat hasil pemerintahan non-demokrasi di negara-negara yang lebih dekat dengan kita. Di tahun 1990-an muncul istilah “Keajaiban Ekonomi Asia Timur” (East Asia Economic Miracle) yang merujuk pada potensi pertumbuhan sejumlah negara Asia Timur di mana Indonesia termasuk di dalamnya. Perdana menteri Singapura waktu itu, Lee Kuan Yew meyakini bahwa keajaiban ekonomi itu akan terwujud di bawah pemerintahan non-demokrasi. Terkenal ucapannya yang mengatakan bahwa demokrasi adalah penghambat pembangunan (deprimental to development).

Lee Kuan Yew memang terbukti mampu mewujudkan negara makmur tanpa menerapkan sistem demokrasi. Tetapi Filippina di bawah pemerintahan diktator Markos hanya mencatatkan pertumbuhan yang sangat kecil. Demikian juga dengan Indonesia di bawah rejim otoriter Soeharto. Di sini semakin jelas bahwa kualitas institusi dan kepemimpinan (pemerintahan) memegang peranan lebih dominan daripada sistem politik. Singapura dapat bertumbuh menjadi negara makmur tanpa demokrasi karena didukung institusi yang baik dan pemimpin yang selalu mengedepankan good governance.

Indonesia mulai mengalami pertumbuhan dan pemerataan pembangunan secara nyata setelah menegakkan demokrasi sejak era Reformasi. Namun pertumbuhan Indonesia belum mampu mengimbangi prestasi China dan India karena bangunan institusi dan pemerintahan yang sangat minim dengan visi jangka panjang. Hampir di setiap pergantian pemerintahan, terjadi perubahan bangunan institusi-insitusi vital terutama di bidang ekonomi. Demikian juga dengan pengelolaan pemerintahan yang lebih banyak berpaku pada program-program populis. Demokrasi lebih banyak diisi dengan kebisingan berbau populis.

Sekalipun berhasil mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang baik dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia masih tercecer dalam pembangunan manusia (human development). Indonesia belum mampu menghasilkan tenaga-tenaga ahli seperti India dan China. Demikian juga dengan kualitas pendidikan yang masih berada di daftar bawah kualitas pendidikan negara-negara di dunia.

Banyak ahli (di antaranya Daren Acemoglu dan James Robinson) telah membuktikan melalui berbagai penelitian bahwa tanpa institusi yang baik dan pengelolaan pemerintahan bervisi jangka panjang, pertumbuhan ekonomi (economic growth) akan gagal mewujudkan pembangunan manusia (human development). Hal ini menjelaskan mengapa Indonesia tetap berada di peringkat bawah dalam Human Development Index (HDI) yang dirilis United Nation Development Programme (UNDP), sekalipun menikmati pertumbuhan ekonomi yang sangat baik dalam dua dekade terakhir.

Dari pengalaman Indonesia kita dapat belajar bahwa sistem demokrasi tetap merupakan pilihan terbaik karena telah terbukti kemajuan signifikan Indonesia terjadi setelah berakhirnya rejim otoriter dan demokrasi ditegakkan melalui berbagai upaya. Tapi tanpa insitusi yang baik dan tanpa pemerintahan bervisi jangka panjang, kemajuan ibarat fatamorgana karena hanya statistik tanpa wujud nyata dalam pembangunan manusia yang merupakan muara dari setiap upaya pembangunan di bidang apapun.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Putu Suasta

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler