x

Iklan

Meftahuda

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 16 Desember 2020

Minggu, 15 Mei 2022 19:27 WIB

Penguatan Eksistensi Trias Politika dalam Upaya Check and Balances di Indonesia

Lord Acton yang merupakan pakar sejarah terkemuka Britania Raya dan hidup pada abad ke-19 M pernah mengatakan: “Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely” Dimana pada hakikatnya kekuassaan cenderung memiliki tendensi untuk membawa pelakunya terhadap korupsi dan kekuasaan yang tak terbatas, maka korupsi yang dilakukan juga tanpa batas. Hal ini menggambarkan dan mengajarkan dengan jelas kepada kita semua, bahwa dalam suatu sistem ketatanegaraan yang ada harus terdapat check and balances guna menghindari kemerosotan penyalahgunaan kekuasaan yang ada untuk kepentingan segelintir pihak saja. Karena sejatinya substansi dari check and balances adalah pengontrolan kekuasaan yang mengkehendaki agar terciptanya suatu keseimbangan di dalam tubuh kekuasaan dan tidak terjadinya kekuasaan yang absolut tanpa kendali sehingga berujung kepada kekuasaan yang korup dan menyengsarakan kehidupan bermasyarakat yang ada.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Lord Acton yang merupakan pakar sejarah terkemuka Britania Raya dan hidup pada abad ke-19 M pernah mengatakan:

“Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely”

Dimana pada hakikatnya kekuasaan cenderung memiliki tendensi untuk membawa pelakunya terhadap korupsi dan kekuasaan yang tak terbatas, maka korupsi yang dilakukan juga tanpa batas. Hal ini menggambarkan dan mengajarkan dengan jelas kepada kita semua, bahwa dalam suatu sistem ketatanegaraan yang ada harus terdapat check and balances guna menghindari kemerosotan penyalahgunaan kekuasaan yang ada untuk kepentingan segelintir pihak saja. Karena sejatinya substansi dari check and balances adalah pengontrolan kekuasaan yang mengkehendaki agar terciptanya suatu keseimbangan di dalam tubuh kekuasaan dan tidak terjadinya kekuasaan yang absolut tanpa kendali sehingga berujung kepada kekuasaan yang korup dan menyengsarakan kehidupan bermasyarakat yang ada.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerapan check and balances sejatinya sudah terimplementasikan dengan adanya teori trias politika yang mengkehendaki supaya terjadinya pemisahan kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga yang lainnya. Dimana awal kemunculan teori ini sejatinya adalah sebuah kritikan seorang John Locke pada tahun 1690 M yang merupakan seorang filsuf terkemuka Britania Raya di dalam karya bukunya yang berjudul Two trities of government  terhadap teori yang dikemukakan Thomas Hobbes yang mengemukakann bahwa kekuasaan sejatinya harus di pegang oleh kekuasaan mutlak seorang raja. Lantas bagaimana mungkin kekuasaan mutlak dapat di pegang dalam kurun waktu yang tak terbatas tanpa menghasilkan kesengsaraan dan kemerosotan kekuasaan yang ada sehingga merugikan banyaka rakyat.

Sejatinya yang perlu dipahami juga adalah bahwa kontrak sosial ataupun kondisi alami manusia mengkehendaki sebuah rasionalitas untuk membuat hukum dengan tangan kekuasaan dan menjalankan hukum yang telah di buat sehingga muncul sebuah pemisahan kekuasaan untuk mencegah kekuasaan yang absolut tanpa kontrol. Oleh karena hal tersebut John Locke membagi kekuasaan atas tiga unsur, yaitu: kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan federatif. Dimana kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang yang ada, kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang dan kekuasaan federatif adalah kekuasaan untuk membuka jalan hubungan ke luar negeri, memaklumkan sebuah peperangan, perdamaian, aliansi dan transaksi ekonomi antara satu negara ataupun lebih.

Teori mengenai trias politika dalam perjalanannnya kemudian dikembangkan kembali oleh seorang pemikir asal Prancis Baron Secondat de Montesqueu pada tahun 1748 M dalam bukunya L’espirit des louis/The spirit of laws mengenai pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dimana perbedaan dari teori yang dikemukakan oleh John Locke salah satunya adalah hadirnya lembaga yudikatif yang berfungsi sebagai lembaga kekuasaan yang menafsirkan hukum atau mengawasi jalannya suatu roda kekuasaan yang ada berdasarkan ketentuan hukum atau perundang-undangan yang mengaturnya. Sehingga diharapkan dengan adanya pemisahan kekuasaan dalam tubuh suatu negara dapat membawa negara tersebut kepada welfare state yang di idam-idamkan oleh masyarakat luas.

Mengenai teori pemisahan kekuasaan sendiri apabila kita melihat di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tercinta ini sejatinya lebih spesifik mengatur mengenai pembagian kekuasaan. Dalam artian tidak ada pemisahan lembaga kekuasaan dalam menjalankan tugasnya secara mutlak. Hanya saja setiap lembaga yang ada di masing-masing rumpun eksekutif, legislatif dan yudikatif menjalankan tupoksi tugasnya masing-masing untuk menciptakan sinergitas harmoni yang membawa masyarakat Indonesia terhadap kekuasaan yang terbatas. Sehingga diharapkan dengan sistem yang ada terdapat check and balances dan berakibat tidak ada kekuasaan yang dinodai oleh kepentingan pribadi atau segelintir kelompok semata. Kemudian apabila kita spesifikasikan lebih lanjut di Indonesia lebih kompleks mengenai pembagaian kekuasaan tidak hanya terbagi atas kekuasaan eksekutif, legislatif ataupun yudikatif semata. Namun kita bisa melihat kekuasaan eksaminatif dan kekuasaan konsultatif sebelum amandemen UUD 1945. Adapun kekuasaan eksekutiif di Indonesia seperti (presiden), legislatif seperti (DPR, DPD & MPR), kekuasaan yudikatif seperti (MA & MK), kekuasaan eksaminatif (BPK), dan kekuasaan konsultatif yang ada sebelum amandemen UUD 11945 adalah (DPA).

Sejatinya sejarah juga telah mengajarkan kepada kita semua mengenai kekuasaan yang superpower telah membawa negara tersebut kepada suatu sistem yang tirani dan tidak terkontrol sehingga berakibat kepada korupsi yang besar-besaran dan membawa masyarakat kepada jurang kemelaratan. Selain itu juga kita belajar apabila roda kekuasaan yang ada antara lembaga kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif berjalan atas dasar determinansi intervensi politik maka hal itu juga tidak baik bagi tubuh suatu negara. Oleh karenanya sistem ketatanegaraan ataupun kekuasaan yang baik biarkan berjalan atas dasar tupoksi kinerja masing-masing berdasarkan rambu-rambu undang-undang yang mengatur. Jangan biarkan politik mendeterminansi hukum, karena apabila politik mendeterminansi hukum maka hasil yang di capai hanyalah ketidakseimbangan sistem sehingga mengorbankan kesejahteraan masyarakat untuk keuntungan segelintir pihak saja. Dan kita mempedomani bersama bahwa terdapat adegium hukum mengatakan:

“Politiae legius non leges politii adoptandae”

Yang berarti politik harus tunduk terhadap hukum, dan bukan sebaliknya. Sejarah di Indonesia juga telah mengajarkan banyak kepada kita semua bahwa ketika politik sudah mendeterminansi kekuasaan yang ada, maka rekaman sejarah menunjukan banyaknya peristiwa kudeta, reformasi ataupun impeachment yang menggulingkan kekuasaan yang ada. Lantas ketika tradisi ataupun rekam jejak masa lalu tidak kita pahami kemudian terulanng kembali peristiwa determinansi politik atas kekuasaan yang ada, maka kita akan terus berada dalam lingkarang kejumudan sehingga lupa akan cita-cita bernegara kita yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dalam hal melindungi segenap bangsa Indonesia & tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Lantas dengan perkembangan zaman yang ada sistem penerapan konsep teori trias politika sejatinya harus dikuatkan, baik dengan cara pengembangan lembaga kekuasaan ataupun penguatan dalam segi pengertian formil mengenai pemisahan kekuasaan yang berarti pembagian kekuasaan. Dimana antara berbagai rumpun kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif bisa saling bersinergi untuk menciptakan stabilitas roda kekuasaan yang harmonis dan mendukung kinerja kekuasaan antara satu sama lain berdasarkan tupoksi kinerja kelembagaanya masing-masing. Dan terakhir determinansi politik dalam kekuasaan juga harus dibatasi oleh ketentuan hukum atau perundang-undangan yang ada sehingga tidak menciptakan superpower kekuasaan yang dikendalikan satu golongan saja, akan tetapi kekuasaan terbagi dan berjalan secara merata serta optimal sehingga dapat dijalankan dengan baik dan membawa bangsa Indonesia kepada welfare state yang di cita-citakan bersama.

Ikuti tulisan menarik Meftahuda lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler