x

Balai Pustaka adalah tempat dimana buku-buku pada tahun 1920 diterbitkan

Iklan

Anisa Nur Maharani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 April 2022

Jumat, 27 Mei 2022 15:13 WIB

Melihat Potret Budaya Sebuah Bangsa Melalui Kacamata Sastra

Kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa tidak hanya memperlihatkan kondisi sosial tetapi juga bagian dari pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat pada suatu zaman tertentu. untuk lebih jelasnya, mari kita simak bacaan di bawah ini!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sastra tidak hanya sebatas pada sebuah tulisan di lembaran kertas saja, tetapi juga turut berperan penting dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala. Melalui sastra, manusia dapat menyampaikan aspirasinya kepada orang lain, mulai dari masyarakat hingga pemerintah.

Menurut Sapardi Djoko Damono (1979), sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium penyampaiannya. Sastra juga menampilkan gambaran kehidupan manusia dan kehidupan tersebut adalah suatu kenyataan sosial.

Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki oleh sekelompok orang. Kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya. Budaya itu terbentuk dari beberapa unsur yang rumit. Diantaranya yaitu adat istiadat, bahasa, karya seni, sistem agama dan politik. Bahasa sama halnya dengan budaya, yakni suatu bagian yang tak terpisahkan dari manusia. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Secara tata bahasa, arti kebudayaan diturunkan dari kata budaya yang cenderung mengarah pada cara pikir manusia. Terdapat beberapa aspek budaya yang menentukan perilaku komunikatif. Unsur sosial budaya tersebut tersebar dan mencangkup banyak kegiatan sosial manusia.

Proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan budaya merupakan lahirnya sebuah sastra. Sastra juga sering ditempatkan sebagai potret sosial yang mengungkapkan kondisi masyarakat tertentu, yang memancarkan semangat pada zamannya. Dalam hal ini mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan uaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika kesustraan bangsa diabaikan.

Pada hakikatnya kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa tidak hanya memperlihatkan kondisi sosial tetapi juga bagian dari pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat pada suatu zaman tertentu. Pada zaman balai pustaka (1920-1933) misalnya, karya yang muncul pada saat itu masih menunjukkan ketertarikan pada problem kultural ketika bangsa Indonesia berhadapan dengan kebudayaan barat. Tradisi dan pengaruh barat diwujudkan dalam bentuk tokoh-tokoh rekaan yang mewakili golongan tua (tradisional) dan golongan muda (modern). Termasuk tema-tema yang diangkat pada sastra masa itu dan masalah adat yang berkaitan dengan perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel di masa itu.

Sedangkan pada zaman pujangga baru (1933-1942) tarik menarik antara barat dan timur bukan saja polemik kebudayaan tetapi juga usaha dalam menerjemahkan karya-karyanya. Seperti melihat puisi Amir Hamzah cenderung mengungkapkan napas sufisme dan kosa kata melayu kuno. Ia juga banyak menerjemahkan kesusastraan timur khas India.

Berbanding dengan Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisjahbana cenderung menganjurkan agar bangsa Indonesia meniru dan berorientasi ke barat. Menurutnya dengan itu bangsa Indonesia akan mengalami kemajuan. Masuknya pengaruh romantisme barat melalui angkatan 80 (De Tachtiger Beweging) Belanda diterima dengan segala penyesuaiannya, puisi Indonesia pada saat itu jauh meninggalkan pengucapan pantun atau syair. Puisi bukan lagi menjadi alat mengangkat dunia ideal namun juga menjadi sarana penyandaran segala penyesuaiannya.

Perubahan drastis dalam kehidupan sosial budaya dan politik Indonesia terjadi selepas bala tentara Jepang masuk menggantikan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Dalam masa pemerintahan pendudukan Jepang segala potensi diarahkan untuk kepentingan perang. Maka kesusastraan dijadikan alat propaganda pemerintahan Jepang untuk mengorbankan semangat asia timur raya.

Kesimpulan yang bisa didapat dari penjelasan di atas adalah: Sastra juga sering ditempatkan sebagai potret sosial yang mengungkapkan kondisi masyarakat tertentu, yang memancarkan semangat pada zamannya. Dalam hal ini mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan uaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Pada hakikatnya kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa tidak hanya memperlihatkan kondisi sosial tetapi juga bagian dari pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakat pada suatu zaman tertentu.

Pada zaman balai pustaka (1920-1933) misalnya, karya yang muncul pada saat itu masih menunjukkan ketertarikan pada problem kultural ketika bangsa Indonesia berhadapan dengan kebudayaan barat. Termasuk tema-tema yang diangkat pada sastra masa itu dan masalah adat yang berkaitan dengan perkawinan dan kedudukan perempuan hampir mendominasi novel di masa itu. Sedangkan pada zaman pujangga baru (1933-1942) tarik menarik antara barat dan timur bukan saja polemik kebudayaan tetapi juga usaha dalam menerjemahkan karya-karyanya.

Ikuti tulisan menarik Anisa Nur Maharani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler