x

Iklan

Elnado Legowo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Jumat, 17 Juni 2022 19:05 WIB

Kengerian Keluarga Durbiska - Bagian 3 (Selesai)

Aliviyah mengungkapan beberapa informasi yang telah terlewatkan oleh Putri. Informasi apa saja itu? Apa yang akan terjadi selanjutnya? Bagaimana akhir dari teror kengerian dari Keluarga Durbiska?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kengerian muncul di tengah ketegangan yang terjadi secara tidak terduga. Ada beberapa informasi yang terlewatkan oleh Putri, sehingga menciptakan kesalahpahaman yang meresahkan. 

"Aku sudah lama mengamatimu, Putri. Aku telah mengawasi setiap pergerakanmu, dari tempat-tempat yang tidak terjangkau oleh mata manusia, ataupun dari ruang dan dimensi yang tidak kasat mata. Aku tahu saat kamu diam-diam menyelinap masuk ke ruang pribadiku, dan membaca setiap bukuku. Tetapi aku juga tahu, bahwa gadis bodoh sepertimu tidak akan bisa memahami isi buku-bukuku!"

Aku menyaksikan tubuh Putri yang kian menggeligis, saat mendengar tiap kalimat yang keluar dari mulut Aliviyah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Aku juga tahu saat kamu merencanakan pelarian. Maka itulah, aku mengundang Vikal untuk makan malam bersama, demi mengacaukan semua rencanamu."

Di akhir kalimatnya, Aliviyah menegaskan bahwa ritual di malam ini bukan ritual Bratastuti-Bandha, tapi ritual Bratastuti-Mangharcana.

Rasa takut, murka, frustrasi, dan perasaan lainnya yang tidak bisa diungkap oleh kata-kata mulai menerjang batin Putri, sehingga aku dapat merasakannya secara langsung. Lantas Putri berteriak;

"Jika kamu ingin menumbalkanku, kenapa tidak kamu lakukan dari dulu?"

Kemudian Aliviyah menjelaskan, bahwa tumbal untuk ritual Bratastuti-Mangharcana harus perempuan yang masih perawan dan baru berusia 17 tahun. Tetapi sayangnya, ketika ayah Putri menjadi Untul Angkarama, dia sudah hampir menginjak usia 18 tahun. Jika itu kasusnya, maka perempuan tersebut dianggap sudah tidak perawan secara spiritual, sehingga persembahan harus dilakukan di malam-malam sakral dari kalender Untul Angkarapandita, yaitu Kalender Nisha Wingit. Berdasarkan kalender tersebut, malam sakral itu tiba pada dua tahun kemudian dan jatuh di akhir bulan kesepuluh.

Kemudian Aliviyah menyeringai durjana yang tidak menyenangkan kepadaku, sambil berkata;

"Terima kasih, Vikal. Karena kamu sudah mau datang di malam yang sakral ini. Sebagai rasa terima kasihku, akan kubiarkan kamu melihat Putri untuk terakhir kalinya. Sekaligus kamu akan melupakan semua peristiwa di malam ini. Jangan khawatir, aku tidak akan membuatmu menderita terlalu lama."

Kemudian lututku terasa lemas dan badanku terasa berat, sedangkan pandanganku mulai kabur. Secara perlahan-lahan tubuhku mulai ambruk dan tenggelam di dalam kegelapan. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan Putri, namun keadaan sangatlah sunyi.

****

Setelah beberapa waktu aku tidak sadarkan diri, seketika aku terbangun di dalam sebuah ceruk yang panjang, gelap, dan tergenang oleh air keruh. Lokasi ceruk itu terletak di sebuah sudut yang paling dalam dan masih di ruang bawah tanah. Perihal yang membangunkanku adalah nyanyian kengerian dan suara serak mengejutkan yang menghiasi atmosfer di sekelilingku. 

Ketika fokusku telah utuh, aku mendapati sebuah seremonial yang tidak biasa dan dipenuhi oleh makhluk-makhluk terkutuk seperti Jejengklek, Mangkara-Dengen, dan pelayan-pelayan kerdil. Mereka semua berkerumun dan menciptakan sebuah lingkaran dramatis; beserta di tengah-tengahnya terdapat Aliviyah yang sedang berdiri, di atas sebuah ukiran simbol dari gabungan berbagai macam objek yang membentuk sebuah lingkaran berisi pentagram abstrak dan asing. Ruang bawah tanah itu juga tampak berbeda, seolah telah dibersihkan dan didesain menjadi sebuah tempat ritual terbenam. Bahkan aku sudah tidak melihat peti-peti kayu besar berisi mayat-mayat dari mantan pelayan rumah.

Kemudian dengan lantang Aliviyah berujar;

"Wahai saudara-saudara malam, engkau yang bersukacita di bawah bulan pucat dan di atas jeritan air, yang berkeliaran di tengah bayangan malam, yang berhasil mengusir dan meneror manusia, yang mengakui Raja Hijau sebagai satu-satunya Dewa kalian!"

Lantas kalimat-kalimat itu disambut dengan teriakan umum yang menenggelamkan keheningan ke dalam teror kultus mengerikan. Lalu Aliviyah melantunkan sebuah mantra dengan bahasa asing yang terdengar seperti gabungan bahasa Sansekerta, Yunani kuno, Latin, Arab, hingga Jawa kuno. Sontak mantra itu menciptakan sebuah serangkaian sinar kosmik di tengah kerumunan, dan membentuk sebuah gumpalan objek yang sulit dideskripsikan. 

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, namun para makhluk-makhluk di tempat itu mulai bersujud menyembah objek tersebut. Dari kejauhan, mataku berhasil menangkap Putri yang terikat di antara dua pilar. Sedangkan tidak jauh darinya, tampak Jiwatma yang juga ikut bersujud menyembah.

Saat semua makhluk itu lengah, aku memanfaatkan momen tersebut untuk melangkah secara perlahan menuju tempat Putri berada. Lalu secara senyap dan penuh kehati-hatian, aku segera melepaskan ikatan Putri.

Sesudah semua tali lepas dan aku hendak membawa Putri pergi secara diam-diam; Jiwatma berhasil menangkapku dan dia segera melempar serangan beringas. Kali ini dia tampak seperti orang majenun; berekspresi tidak keruan; serta menyeringai menakutkan. 

Jiwatma lantas melompat ke tubuhku dan melempar beberapa pukulan ke wajahku. Putri yang menyaksikan itu, dia sangat ketakutan sambil memohon kepada ayahnya, dengan harapan masih ada kesadaran yang tersisa di dalam dirinya. Namun semua itu sia-sia. Lantas Putri lekas berlari ke arah Jiwatma dan menahan pukulannya yang hendak diberikan kepadaku.

Sontak suasana seremonial yang hening, seketika berubah menjadi rusuh. Aliviyah yang menyadari hal itu, dia segera memerintahkan para makhluk-makhluk di sekelilingnya untuk menghentikanku dan juga mengamankan Putri.

Setelah dari itu, tampak seekor Mangkara-Dengen yang terbang ke tempatku berada. Kemudian makhluk itu segera mengarahkan mata cambuk di mulutnya yang berbentuk seekor larva ke arahku; lalu mata cambuk itu terbuka lebar dan tampak seperti mulut cacing raksasa.

Itu adalah pemandangan yang mengerikan, sehingga dengan kepanikan kalut aku segera mendorong dengan kuat tubuh Jiwatma. Alhasil dia terlempar ke arah Mangkara-Dengen dan mulut cambuknya - secara tidak sengaja - menangkap kepala Jiwatma dan melahap separuhnya.

Kemudian aku dan Putri menyaksikan sebuah horor visual; di mana kepala Jiwatma dihisap secara bengis oleh Mangkara-Dengen; hingga kempis dan tidak berbentuk; namun tubuhnya masih kejang-kejang seperti ikan yang terdampar di darat. Sampai akhirnya tubuh Jiwatma dipotong menjadi beberapa bagian, oleh kedua tangan Mangkara-Dengen yang berbentuk sabit bergerigi. Putri hanya bisa menjerit histeria saat menyaksikan secara langsung kematian mengerikan ayah kandungnya. 

Di waktu yang bersamaan, ada beberapa sosok Jejengklek dan Mangkara-Dengen yang menyerangku. Namun dengan sigap, aku berhasil menghindari mereka dan bergegas menarik tubuh Putri untuk menerobos keluar dari kepungan mereka.

Akibat dari kekacauan itu, serangkaian sinar kosmik di tengah-tengah ruangan mulai berkurang secara dramatis, sehingga membuat Aliviyah murka dan berteriak lantang yang membekukan semua makhluk;

"Kurang ajar! Terkutuk! Lihat perbuatanmu! Kamu membayar atas semua kekacauan ini!"

Lantas Aliviyah mengeluarkan sebuah pisau lengkung dari balik jubahnya, lalu merobek urat nadinya demi mengeluarkan darah untuk diteteskan ke dalam ukiran simbol abstrak yang berada di bawahnya. Dia melakukan itu sambil melantunkan mantra.

Walhasil mantra tersebut berhasil menciptakan sebuah gelombang angin yang memorak-porandakan semua objek yang ada di ruangan itu. Semua makhluk segera berlari ketakutan ke arah yang tidak menentu, seakan mereka menyadari sesuatu hal yang buruk.

Sedangkan Aliviyah tampak seperti sedang memerintahkan sesuatu untuk menghabisi kami, dan sesuatu itu dia panggil "Tatangan". Seketika Putri bergidik ngeri setelah mendengar panggilan itu, sehingga dia menjadi kesetanan dan menarik paksa tubuhku untuk berlari ke sebuah lorong yang akan mengantarkan kamu ke arah luar pekarangan belakang rumah.

Namun di waktu yang bersamaan, kondisi lingkungan mulai bergetar hebat, seakan sedang terjadi gempa, sehingga mengganggu langkah kami hingga terjatuh, sekaligus memaksa kami untuk menyaksikan fenomena mencekam yang sedang terjadi. Kemudian terciptalah sebuah gelombang hebat dari dalam tanah yang berbentuk pusaran aneh seperti spiral, dengan diikuti oleh suara gemuruh guntur, beserta nada-nada lain dari amukan alam semesta yang jahat. Secara tidak langsung, fenomena itu mulai mencacati pilar-pilar, sehingga menciptakan ketidakstabilan pondasi yang menyebabkan keruntuhan bangunan secara lamban.  

Lalu secara mengejutkan, keluarlah sebuah makhluk yang belum pernah kami lihat maupun terbayang di dalam imajinasi yang paling liar, dari dalam pusaran aneh tersebut. Makhluk itu menyerupai seekor ular raksasa. Tubuhnya dipenuhi oleh sisik yang terbentuk dari berbagai jenis materi yang tidak ada di bumi, sehingga tampak seperti permukaan aspal yang kasar dan berwarna abu-abu gelap. Tubuh bagian depannya bercabang menjadi tujuh bagian, dengan kepala yang berbentuk tangan bengis manusia, lengkap dengan kuku panjang dan tajam. Makhluk itu mengeluarkan serangkaian suara jeritan setan yang sangat menyeramkan dan menyakitkan telinga.

Dia belum keluar seutuhnya dari dalam pusaran gaib tersebut. Namun setiap pergerakannya akan memberi sebuah dorongan gaib yang menambah guncangan, sehingga membuat langit-langit ruangan mulai runtuh.

"Tatangan! Itu... Itu dia! Tatangan! Algojo Untul Angkarapandita! Anak dari Nyi Antasura! Iblis... Iblis ular! Jangan biarkan dia membunuh kita!" teriak rancu Putri penuh kengerian akut kepadaku.

Lantas dengan kalut, kami bergegas kembali melangkah ke lorong yang mengarah keluar ruangan. Namun secara tidak terduga, Aliviyah segera menghadang kami sembari mengayunkan mata pisau ke arahku. Secara sigap dan penuh keberuntungan, aku berhasil menghindarinya. Akan tetapi, mata pisau itu sukses merobek otot tricepsku. Alhasil secara impulsif, aku segera menyerang Aliviyah dan merebut pisau itu dari tangannya.

Namun Aliviyah segera melantunkan sebuah mantra, sehingga membuat mataku hilang fokus, kepala terasa pusing, dan nafas menjadi sesak. Secara perlahan-lahan, aku mulai roboh ke tanah. Lantas Aliviyah merebut kembali pisaunya dari tanganku, dan memasang kuda-kuda untuk menikam tubuhku.

Ketika Aliviyah hendak mengayunkan pisaunya, seketika Putri langsung meraih tangannya dan mengarahkan mata pisau itu ke perutnya sendiri. Setelah dari itu, Putri segera menarik keluar pisau tersebut dari perut Aliviyah, sehingga membuat darah mengalir deras dan membuatnya bersujud ke tanah. Di waktu yang bersamaan, sihir Aliviyah memudar dan kondisi tubuhku kembali normal.

Di waktu yang bersamaan, Tatangan hampir keluar seutuhnya dari dalam pusaran itu. Itu sangatlah buruk! Lantas aku bergegas membawa pergi Putri ke lorong yang mengarah keluar ruangan, yang jaraknya tidak begitu jauh dari tempat kami berpijak.

Tetapi saat baru beberapa langkah, seketika Aliviyah yang sekarat langsung menahan tubuh Putri. Kemudian dia menarik dan mencium bibirnya. Aku sangat terkejut melihat aksi itu, dan langsung menarik tubuh Putri agar menjauh dari Aliviyah. Lalu Putri segera menendang Aliviyah, sehingga terjatuh dan terguling ke hadapan Tatangan yang sudah keluar seutuhnya dari pusaran gaib.

Dalam sisa pandangan yang dapat kami tangkap, tangan-tangan setan milik Tatangan itu segera menangkap tubuh Aliviyah yang menjerit penuh kengerian dan merobek-robeknya secara keji. Adegan itu akhirnya ditutup oleh reruntuhan bangunan yang deras, sehingga mengubur mereka berdua. 

****

Akhirnya kami berhasil tiba di luar pekarangan belakang rumah dengan selamat. Dari situlah kami menyaksikan keruntuhan dramatis dari rumah Keluarga Durbiska. Berbagai macam perasaan mulai mewarnai batinku, hingga aku segera memeluk Putri dengan penuh kebahagiaan.

"Putri! Kita berhasil! Kita berhasil keluar dari rumah terkutuk itu!"

Belum lama setelah aku berteriak kegirangan, seketika pandanganku menangkap sebuah fenomena aneh yang keluar dari dalam reruntuhan rumah Keluarga Durbiska. Tampak sebuah luminositas berwarna ganjil yang menciptakan sebuah bayangan raksasa yang samar dengan rupa sukar dideskripsikan.

Kemudian para Mangkara-Dengen mulai berterbangan di langit dengan tubuh yang menekuk ke depan, sehingga secara kasar tampak seperti krustasea. Para pelayan-pelayan kerdil mulai bersujud di atas reruntuhan. Sedangkan para Jejengklek mulai mendengkur panjang sambil memberikan sebuah gestur menyembah. Semuanya tampak memberi penghormatan kepada bayangan raksasa tersebut. Kemudian bayangan raksasa itu secara gaib mengeluarkan sinar kosmik dari langit, dan tampak seperti aurora dengan warna-warna ganjil, sambil mengeluarkan sebuah suara yang terdengar seperti perpaduan antara suara ikan paus dan terompet sangkakala yang menggetarkan alam semesta. 

Tidak lama setelah dari itu, luminositas tersebut memudar, serta para makhluk itu mulai pergi dan lenyap di dalam kegelapan malam yang membutakan. Kejadian itu hanya terjadi dalam waktu yang singkat, namun itu sudah membuatku bergidik ngeri setengah mati.

"A... Apa yang terjadi?" tanyaku penuh ketakutan.

Namun Putri hanya tertawa kecil, sehingga membuat batinku makin gelisah. Lantas aku segera menarik wajah Putri, dan mendapati matanya berwarna ungu kecubung. Tidak! Itu bukan mata Putri! Itu mata Aliviyah!

Kemudian Putri mulai menyeringai jahat dan mengeluarkan tatapan yang sangat khas dengan karakteristik Aliviyah. 

"Dasar bodoh! Kamu pikir kamu bisa menggagalkan ritual kami?" ujar Putri dengan nada dan warna suara yang serupa dengan Aliviyah.

Aku bergidik ngeri dan menatapnya dengan penuh kesangsian.

"Tidak! Tidak mungkin! Putri... Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" ujarku penuh kepanikan.

"Putri? Dia sudah mati! Aku membunuhnya! Namun sebelum itu, kami bertukar tubuh melalui sihir di ciumanku." ujarnya sambil menjilat bibir, "Sepertinya itu tidak terlalu buruk!"

Seketika mataku terbelalak dan ingatanku kembali terbang pada kejadian saat Aliviyah mencium bibir Putri. Jantungku berdetak kencang dan nafasku makin berat, terutama saat kuingat detik-detik tubuh Aliviyah dirobek-robek oleh Tatangan, dan dia menjerit penuh kengerian yang memilukan. Namun yang membuatku histeria, itu sesungguhnya adalah jeritan Putri! 

"Betul! Betul sekali!" teriaknya penuh kegilaan terkutuk, " Dia telah dirobek-robek di dalam tubuh cacatku! Dia telah menjadi tumbal ritual Bratastuti-Mangharcana! Meski ritual tidak berjalan lancar, tapi itu tetap terlaksana!"

Seketika seluruh emosi di batinku mulai mencamuk hebat, sehingga aku menjerit tidak stabil dan mencekik Aliviyah yang bersemayam di dalam tubuh Putri.

"Sialan! Perempuan laknat! Penyihir! Apa yang telah kamu perbuat pada Putri?" teriakku sambil menangis. 

Aliviyah hanya menjawab dengan lantang;

"Ing daleme Angkaramerta. Raja ijo sing turu, ngenteni wektu. (Di rumahnya Angkaramerta. Raja Hijau yang tertidur, menunggu tiba waktunya.)"

Kemarahanku kian memuncak dan sudah melampaui batas toleransi, sehingga aku segera mendorong Aliviyah hingga tersungkur di atas tanah. Lalu kurebut pisau di tangannya dan kutikam tubuhnya berulang kali secara membabi buta. Aliviyah sama sekali tidak melawan dan hanya tertawa puas yang menyeramkan, meski darah segar telah keluar memenuhi isi mulutnya.

Para warga yang terbangun dan pergi keluar untuk melihat keadaan sekitar akibat suara keributan, secara langsung mereka menyaksikan aksi beringasku yang sedang menikam Aliviyah. Lantas mereka bergegas memisahkanku dari perempuan terkutuk itu. Aku hanya bisa meronta-ronta seperti orang kesetanan. Sedangkan Aliviyah meninggal di dalam tubuh Putri - beberapa detik setelahnya - dengan ekspresi yang masih menyeringai lebar penuh kebahagiaan terkutuk.

****

Ikuti tulisan menarik Elnado Legowo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler