Malam peringatan Hari Sastra Indonesia 2022, terasa semarak. Hajatan tahun kesembilan ini dihadiri sejumlah sastrawan kondang. Penggagas acara, Taufiq Ismail memberikan sambutan. Tuan rumah sekaligus mewakili Kemendikbudristek NadiemMakariem dan Prof. HE Aminudin Azis, dan budayawan Prof. Salim Said yang menyampaikan pidato kebudayaan.
Ada musikalisasi puisi grup Kosakata dan Rizki Nugraha. Dari halaman panggung Badan Bahasa di Rawamangun Jakarta Timur itu, pada 3 Juli 2022. Tontonan budaya ini juga disiarkan secara daring melalui tautan kanal youtube https://www.youtube.com/watch?v=0Gm0lgp0KJ4
Ada baca puisi, di antaranya dari Niniek L. Kariem dan Iman Sholeh. Ada pula pembacaan cerpen “Kemerdekaan” Putu Wijaya. Cerpen karya Putu Wijaya ini dibacakan langsung olehnya.
Multipemahaman tentang "Kemerdekaan"
Cerpen “Kemerdekaan” karya Putu Wijaya ini mengisahkan tentang juragan burung, yang justru ingin memerdekakan burungnya dengan cara melepaskannya dari sangkar. Akan tetapi, Perkutut itu menolak, karena merasa tidak dimerdekakan, melainkan dibunuh.
Prasangka tersebut timbul karena burung itu tidak terbiasa hidup di luar sangkar. Meskipun demikian, Juragan tetap membuka sangkarnya. Perkutut tersebut malah bergetar, kaget, lalu mati. Saat perkutut tua tersebut mati.
Sang Juragan terkekeh, meledek. Ini mengakibatkan sejumlah perkutut lain jadi gempar. Ia mengetes kesiapan perkutut lain agar tidak mati saat tua nanti diberi kebebasan oleh juragan. Juragan juga memiliki prasangka bahwa perkutut-perkututnya yang lain belum siap “merdeka”. Sebab, menurut dia, kemerdekaan sudah semestinya dihadapi dengan persiapan.
Saat sangkar akhirnya dibuka, seluruh perkutut tersebut serentak terbang. Bahkan, perkutut tua yang mati itu hidup lagi. Kemudian ikut terbang. Sejumlah perkutut menyampaikan bahwa yang mereka rindukan adalah kemerdekaan bersama, bukan kemerdekaan sendiri-sendiri.
Cerpen “Kemerdekaan” karya Putu Wijaya tersebut menyodorkan gagasan bahwa hasil dari kemerdekaan tidak selalu berwujud negara secara material, namun dapat pula tampil dalam bentuk konseptual. Secara simbolik, kemerdekaan yang dikehendaki melalui tokoh Perkutut adalah kemerdekaan bagi semua rakyat.
Monolog Putu Wijaya
Pembacaan cerpen malam itu menanggalkan pesona. Putu Wijaya yang kondisinya sedang sakit, saat pembacaan cerpen, ia duduk di kursi roda dan dibantu oleh dua pemain Teater Mandiri.
Pembacaan yang lebih tepat disebut sebagai monolog tersebut, menampakkan betapa totalnya sastrawan yang juga menulis novel, naskah drama, dan menyutradari sejumlah pementasan Tater Mandiri – yang didirikannya. Aktingnya sejak awal memerankan tokoh Juragan dan bertutur alih-alih juru kisah, mengalir lancar.
Properti seadanya yang dimanfaatkan optimal, membuat monolog ini sedang mendongeng tentang substansi makna kemerdekaan. Sangat disayangkan, suasana ini kurang didukung oleh pelantang yang tidak berfungsi secara maksimal dan properti yang kurang pas.
Vokal Putu Wijaya dalam menyampaikan monolognya kurang tertangkap dengan baik, terutama yang mengikuti secara daring. Demikian pula, dengan properti yang cukup mengganggu yaitu sangkar perkutut. Bentuknya justru meruoakan sangkar burung non-perkutut.
Sangkar perkutut lazimnya berbentuk memanjang dengan menggelembung pada bagian tengah. Pernak-pernik ukiran sederhana menampak pada empat kaki yang berada pada sangkar burung. Selain itu, warna-warni juga menghiasi bagian atap sangkarnya.
Totalitas yang ditunjukkan Putu Wijaya tampak dalam monolog ini, juga dalam berkaryanya. Sakit (stroke) yang sedang dialaminya, tak menyurutkan untuk tetap berkreativitas. Vokalnya masih lantang. Gestur tubuhnya dalam berakting, masih memesona. Apresiasi luar biasa patut dilayangkan kepadanya.
Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.