Drama Utuy Tatang Sontani: Cinta yang Menggelora dan Korban Revolusi
Kamis, 14 Juli 2022 11:18 WIB
Drama percintaan antara lelaki menak dengan pemilik kedai kopi yang cantik. Mereka saling menyintai, tetapi gadis itu selalu menolak untuk diajak keluar dari kedai. Sampai akhirnya ia tahu apa sesungguhnya yang terjadi.....
Drama satu babak karya Utuy Tatang Sontani (Awal dan Mira) ini kelihatannya sederhana tapi sangat mengesankan. Naskahnya pertama kali dimuat di majalah Indonesia tahun 1951, kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Balai Pustaka (BP) tahun 1957. Drama ini sudah sering dipentaskan oleh berbagai kelompok teater di Indonesia. Saya sendiri merasa beruntung sempat menonton pertunjukan drama ini (entah oleh teater apa, saya lupa) pada pertengahan 1980-an di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Saaya sangat terkesan dengan ending drama ini. Kali ini saya hanya ingin memberikan semacam ikhtisar saja.
Kisahnya tentang cinta Awal, pemuda bangsawan, pada Mira, gadis cantik pemilik kedai dari kalangan rakyat biasa yang menjadi korban perang kemerdekaan. Mira tinggal bersama ibunya. Kedai kopi itu didirikan di atas bekas runtuhan rumah-batu yang hancur oleh peperangan. Letaknya terpencil, jauh dari keramaian. Rumah itu terbuat dari bambu, dan serambinya dibuat sebagai kedai kopi.
Cinta Awal begitu besar terhadap Mira. Baginya, Mira adalah satu-satunya orang yang sempurna, tidak seperti orang-orang sekitarnya yang dianggapnya semata-mata badut. Awal yang romantik itu berkali-kali meminta kepada Mira untuk bertemu di luar kedai. Tetapi Mira selalu menolak ajakan itu dengan berbagai alasan. Hal itu terjadi terus-menerus hingga Awal merasa dipermainkan Mira. Kedatangan dua pemuda, si Baju Putih dan si Baju Biru, membuat Awal cemburu sehingga timbullah perkelahian. Awal terjatuh. Meski Awal terjerambab begitu keras, Mira tetap duduk dalam kedai kopinya.
Awal merasa kecewa pada sikap Mira yang acuh tak acuh itu. Awal mengajak Mira pulang bersama-sama. Hal itu pun tidak ditolak oleh Mira sehingga Awal menganggap bahwa kedai kopi itulah yang menjadi penyebab mengapa Mira selalu menolak tidak memenuhi ajakan Awal.
Di akhir cerita, Mira yang sebenarnya juga menyintai Awal itu berkata: “Aku cinta padamu.. Tetapi aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri. Tidak! Aku tidak percaya. Tidak percaya!”
Awal yang akan meninggalkan kedai jadi bimbang. Tapi akhirnya ia menghampiri lagi. Dan katanya: “Jadi kau masih juga menuduh aku sama dengan orang banyak yang suka omong kosong di hadapanmu?”
“Kalau kau cinta padaku,” jawab Mira, “bunuh aku! Bunuh dengan segenap cintamu.”
“Gila kau! Aku cinta padamu karena ada cita-cita, karena menginginkan hidup bersma.”
“Tidak! Kau dan aku mesti mati. Mati bersama. Sebab aku tidak percaya klau dan aku bisa hidup bersama. Aku tidak percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri.”
Awal terdiam. Bingung ia. Tetapi tiba-tiba ia berkata lagi dengan suara menurun: “Mari, mari kita tinggalkan kedai ini. Kita bicara di alam luas, di bawah cahaya bintang>’
“ Bicara di bawah cahaya bintang memang nikmat,” jawab Mira.
“Ya, mari kita pergi.”
“Tetapi saya tidak dapat meninggalkan kewajiban sebagai tukang kopi.”
Mendadak tegak lagi Awal yang sudah mengendurkan suara itu. Tegak dengan tangan terkepal. Dan katanya dengan suara mengeras: “Mira! Rupanya kedai ini mesti kuhancurkan, ya? Mesti kuhancurkan untuk membuktikan bahwa kau bagiku bukan tukang kopi?’
“Mas,” jawab Mira. “Jangan mencoba pula hendak menimbulkan kepercayaan, dalam hatiku dengan mengatakan yang bukan-bukan. Kedaiku ini duniaku. Dan kedaiku ini kuat. Sedang tenaga jasmanimu lemah.”
“Katakanlah, bahwa kau mau kubawa hanya jika kedai ini kubongkar!”
“Kau tak akan mempunyai tenaga sampai ke sana. Dan jika kau mengatakan sanggup membawa aku dari sini dengan membongkar kedai ini, itu hanya omong kosong belaka. Omong kosong seperti orang banyak.”
“Bilanglah tidak percaya!”
“Bagaimana saya mesti percaya, kalau bagi saya di dunia sekarang ini sudah tidak ada lagi yang mesti dipercaya?”
Awal tidak membalas lagi. Tangannya yang sudah dikepalkan terus saja dijangkaukan kepada meja dan rak dagangan yang menghalangi dia dan Mira. Kemudian meja dan rak dagangan itu digoncang-goncang, direnggut-renggut dan diangkat-angkat.
“Sudah, Mas,” kata Mira. “Kau kemasukan.”
Tetapi Awal terus merenggut-renggut meja dan rak dagangan. Terus mengeluarkan tenaga. Dan terus mengekuarkan tenaga, Dan napoanya megap-megap.
“Sudah, Mas, sudah,” kata Mira lagi seraya menyapu-nyapu mata, “kau capai.”
Tetapi Awal seperti tidak mendengar. Ia terus mengeluarkan tenaga. Dan terus mengeluarkan tenaga.
Akhirnya meja dan rak dagangan yang menghalangi Mifra itu pun terbongkar. Tetapi yang membongkarnya jatuh. Tangannya berdarah. Dan jika ia bangkit lagi, sempoyongan ia berdiri. Dan napasnya pendek-pendek.
“Ma...Mari Mira,” katanya teranga-engah, :ke...keluar!”
Mira bangkit berdiri, terus berjalan ke luar kedai, mendapatkan Awal. Berjalan dengan menggunakan kruk pada kedua ketiaknya.
Dan melihat itu, Awal yang sudah bernapas pendek-pendek itu mundur. Tangannya yang berdarah meraba kepalanya. Matanya yang berkeringat dikedip-kedipkan.
“Oh...” katanya hampir tidak kedengaran. Dan ia mnudur ;lagi. Mundur dengan langkah sempoyongan akan jatuh.
“Ya, Mas,” kata Mira seraya menyapu-nyapu air mata di pipi, “inilah kenyataanku. Kakiku buntung. Buntung karena peperangan. Tetapi lantaran inilah, Mas, lantaran ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, selama ini ini aku bagimu merupakan teka-teki. Tetapi sekarang....”
Awal yang berbadan kurus itu mundur lagi. Dan mundur lagi. Tangannya yang gemetar berdarah diacuhkan. Mulutnya menganga.
Tetapi tiba-tiba suaranya terus memekik: “Mi..... Miraaaaa!”
Dan setelah mengucapkan kalimat itu, ia jatuh tertelungkup. Segera Mira mendapatkan. Badan Awal yang kurus itu dirangkul. Dan katanya seraya mengisak:
“Aku percaya, Mas, aku percaya...”
Dan setelah itu, di depan kedai kopi yang sudah berantakan itu pun terus sunyi. Yang kedengaran hanya isakan Mira.
***
Sebuah ending yang mengharukan. Dan mengesankan. Utuy berhasil mengaduk-aduk emosi pembaca atau penonton dramanya. Naskah ini, menurut saya, masih layak dipentaskan kapan saja.
Tentang naskah atau drama ini, sudah banyak tokoh-tokoh sastra Indonesia yang memberikan ulasan atau komentar.. Sebut misalnya Boen S. Oemarjati. Menurut Boen S. Oemarjati (1971), drama ini memperlihatkan suatu usaha untuk menyatukan kaum bangsawan dengan rakyat biasa walaupun usaha penyatuan itu belum memberikan hasil yang memuaskan. Watak tokohnya berada dalam suatu simbol yang diwujudkan dengan runtuhnya kedai kopi. Simbol itu tidak hanya mengenai keraguan dan pengingkaran watak masing-masing, tetapi juga melambangkan gugurnya penghalang yang memisahkan lingkungan menak dengan lingkungan rakyat jelata. Walaupun jalinan alur mengesankan dramatik, kenyataan yang diungkapkan lakon ini cukup lancar dengan mengetengahkan momen-momen penanjakan ketegangan dan puncak krisis yang agak tidak logis.
Lalu, menurut Umar Junus (1986), drama satu babak ini berisi kritik terhadap keadaan waktu itu, tanpa ada hubungan langsung dengan suasana yang dialami sebelumnya. Suasana revolusi hanya dijadikan sebagai latar belakang dan keadaan sekarang dilihat sebagai epilognya. Persoalan yang diangkat ialah persoalan yang diakibatkan oleh revolusi dan tidak ada penyelesaian.
Sedangkan menurut Jakob Sumardjo (1992), drama ini memiliki struktur yang sangat baik, pelukisan wataknya jelas, serta mempunyai masalah aktual dan mengandung simbolisme. Kisahnya masih menyangkut situasi aktual masa revolusi, yakni runtuhnya feodalisme dan kebanggaannya dari zaman kolonial. Hanya saja, unsur kejutan di akhir kisah agak kurang logis dan merupakan kelemahan kecil drama yang banyak dipuji kaum kritisi ini.
***
Kok beda-beda pendapatnya? Tak apa. Seperti bunyi peribahasa, “kepala sama hitam berbulu, pendapat berlain-lain”, maka setiap orang bisa punya pendapat sendiri-sendiri. Di dalam dunia sastra, juga dikenal dengan Teori Resepsi (resepsi sastra). Pada dasarnya Resepsi Sastra ini memberikan keleluasaan kepada pembaca untuk menginterpretasikan, menghidupkan, atau menjelaskan tentang sebuah teks. Seorang pembaca teks (sastra), tidak perlu selalu bertanya kepada penulis apa sebenarnya maksud dari tulisannya atau karyanya. Dalam resepsi sastra, arti suatu teks ada dalam interaksi antara teks dan pembacanya.
Seperti dikatakan oleh Umar Junus, resepsi sastra dimaksudkan bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya, sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mngkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau melihat hakekat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif, yaitu bagaimana ia “merealisasikannya”. Karena itu, pengertian resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan. Kalau demikian, menurut saya, teori resepsi ini juga sangat mungkin untuk diterapkan dalam “membaca” sebuah film, misalnya.
Karya sastra – dan seringkali juga film – bersifat polisemi atau ambigu. Maka selalu ada usaha untuk menemukan “arti yang sebenarnya” dari karya tersebut. Selama ini, untuk “memahami” teks tersebut seorang “peneliti” pergi atau merujuk langsung kepada penulis teksnya. Maka apa yang dikatakan penulisnya itulah kebenaran satu-satunya. Tetapi, dalam resepsi sastra, “arti” teks itu bisa “ditemui” berdasarkan dunia yang dihidupi oleh khalayak. Jadi, bukan tidak mungkin seorang pembaca dalam suatu waktu tertentu, hanya akan melihat satu “arti” saja. Atau ia memberikan tekanan kepada suatu “arti” tertentu, dengan mengabaikan atau menganggap tidak penting “arti” lainnya. Barangkali inilah yang menjelaskan mengapa tiap orang (pembaca) bisa berbeda pendapat tentang sebuah teks – juga film – yang sama. Tokoh-tokoh awal Teori Resepsi ini misalnya Wolfgang Iser dan Hans-Robert Jauss. Bahkan Roland Barthes, eksponen terpenting strukturalisme (sekarang lebih populer disebut sebagai tokoh semiotika), juga memberikan tekanan yang kuat pada “kewenangan” pembaca. Roland Barthes bahkan pernah membuat maklumat “kematian pengarang”, sebagai pijakan dasar strukturalisme. Itu dikatakannya ketika ia membahas salah satu bagian novelet Honore de Balzak, Sarrasine.
Saya sendiri, selain cerita dan plot-nya, cukup terkesan dengan karakter para tokohnya serta beberapa dialog yang mereka lontarkan. Awal, misalnya, terlihat sebagai orang yang pencemburu dan sinis. Semua orang, terutama yang datang ke kedai kopi itu, dianggapnya sebagai badut atau orang yang asal omong.
Beberapa kali Awal juga menyebutkata jiwa” dalam konteks yang berbeda-beda. Misalnya, kepada Mira, dia pernah berkata: “Datangku ke sini untuk mempersoalkan jiwa kita, Mira. Itulah soal kita.” Kali lain, kepada salah seorang tamu kedai yang sempat berbicang namun belum berkenalan, Awal berkata: “Dengan mendengar omongan Saudara, saya sudah mengenal jiwa Saudara. Dan itu bagi saya sudah cukup, lebih cukup daripada mengenal nama atau jabatan.”
Ketika si tamu itu mengatakan bahwa kini bukan lagi waktunya menempatkan diri sebagai dewa, dan sudah bukan waktunya bicara dengan menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami, Awal pun membalas: “Kalau perkataan saya tidak dimengerti orang, bukan saya yang menempatkan diri sebagai dewa, tetapi orang itu yang mesti disesalkan jiwanya. Tetapi di masyarakat kita sekarang, orang-orang yang kering dan dangkal jiwanya itu banyak. Banyak sekali!”
Mira yang tidak berterus terang tentang kondisinya kepada Awal sejak mula itu membuat Awal geram. Kata-kata Mira kepada Awal sering terlihat ambigu. Akibatnya memang bisa terkesan dia sedang mempermainkan cinta Awal yang menggebu. Padahal Awal merasa perlu kepastian, ketegasan, dan ingin meminta Mira keluar dari kedai kopi itu. Intinya Awal ingin Mira hidup bersamanya, menikah dengannya. Cinta Awal kepada Mira bahkan melebihi cintanya pada diri sendiri.
Soal cinta yang menggelora, jiwa yang kosong, rasa percaya, dan egoisme adalah hal-hal yang sebenarnya menarik untuk dibicarakan lebih jauh. Tapi itu bisa panjang kali luas kali lebar dan tergantung dari sudut mana kita memandang. Pokoknya, kali ini, selamat membaca dan “menghidupkannya” sesuai dengan pemahaman masing-masing....
###

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Drama Nano Riantiarno: Kejujuran dan Penyesalan
Sabtu, 28 Januari 2023 06:50 WIB
Aum Teater Mandiri: Imajinasi yang Meneror
Senin, 9 Januari 2023 18:24 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler