x

Iklan

Ilham Pasawa

Penulis
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Selasa, 19 Juli 2022 09:09 WIB

Pelecehan Seksual di Lembaga Pendidikan, Tidak Boleh Dibiarkan

Tulisan ini mengangkat isu kekerasan dan pelecahan seksual yang terjadi di lembaga pendidikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Satu dekade belakangan isu tentang kekerasan serta pelecehan seksual kembali menguat. Bahkan merujuk pada data yang dikeluarkan KPAI di sepanjang tahun 2021 saja tercatat 18 kasus yang terjadi kisaran bulan Januari sampai Desember. Hal yang tak kalah mengejutkan dari 18 kasus pelecehan yang terjadi 55% pelaku adalah orang yang bisa dibilang dekat dan seharusnya membimbing korban. Lebih dari setengah pelaku pelecehan seksual merupakan sosok guru dari korban. Ironisnya korban termuda yang mengalami pelecehan bahkan baru berusia tiga tahun. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bersama, baik orang tua, para pendidik, dan pemerintah. Karena jika hal ini dibiarkan bisa memicu rasa ketidakpercayaan terhadap lembaga pendidikan.

Kenapa pelecehan bisa terjadi di lembaga-lembaga pendidikan? Hal yang paling utama menjadi sebab terjadinya bentuk pelecehan bisa jadi karena kurangnya pendidikan seks yang diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. Lalu efek dari faktor kekuasaan atau otoritas yang disalahgunakan oleh oknum guru nakal yang memanfaatkan statusnya sebagai guru untuk melakukan aksinya. Memang tak jarang, terdapat oknum guru yang kedapatan "genit" dengan murid-muridnya. Seperti terus menerus merayu sang murid dengan iming-iming diberikan nilai bagus atau dengan dalih "murid harus patuh terhadap guru".

Selain itu bentuk pelecehan yang sering terjadi juga bukan hanya sekedar pelecehan fisik saja, bisa dibilang pelecehan secara verbal jauh lebih sering ditemui. Entah itu terjadi antar sesama guru, murid kepada guru, dan guru kepada murid. Bentuk pelecehan secara verbal yang jarang disadari biasanya berupa candaan yang berbau fisik bahkan menjurus kearah sensitif atau vulgar. Contohnya seperti kalimat candaan "Kamu cantik banget, nanti malam jalan sama bapak ya." Atau kalimat "sini temenin bapak, pijetin bapak biar berkah" kalimat-kalimat tersebut mungkin dianggap sebuah candaan atau bentuk keakraban. Tetapi jika hal itu dibiarkan pada akhirnya bentuk pelecahan bisa terjadi, baik disengaja atau tidak sengaja.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Candaan seperti itu juga tak bisa diterima oleh semua pribadi. Satu dua orang mungkin bisa menerima kalimat itu sebagai bentuk candaan tetapi bagi orang yang pernah atau memiliki trauma kalimat itu akan menjadi momok yang menakutkan. Untuk membendung hal itu terjadi tentu lembaga pendidikan mesti melakukan seleksi terhadap calon pendidik yang akan diterima di lembaga-lembaga pendidikan. Pendidik bukan semata-mata orang yang menguasai materi ajar, pendidik selain harus memenuhi kategori intelektual mumpuni ia juga harus pantas secara moral dan etika. Fungsi pendidik bukan hanya sebatas fasilator yang menyajikan materi dan bahan ajar semata. Pendidik memiliki fungsi utama sebagai pengobat atau bertindak sebagai dokter moral dari peserta didik.

Degradasi moral yang terjadi belakangan ini ternyata tak hanya terjadi di kalangan peserta didik, degradasi juga bisa terjadi pada siapa saja tanpa terkecuali para pendidik. Tentu hal itu tak semata-mata saya utarakan tanpa alasan. Coba pembaca ketik di kolom pencarian internet dengan topik kekerasan seksual. Bisa dikatakan yang menjadi tranding dan berada di urutan paling atas adalah kekerasan dan pelecehan seksual yang melibatkan pendidik terhadap peserta didik. Bahkan yang terbaru adalah pelecehan seksual yang dilakukan seorang yang berprofesi sebagai motivator yang seharusnya memberikan motivasi baik secara mental dan sikap. Dan melihat data yang sudah dibeberkan oleh KPAI yang mengatakan lebih dari setengah kasus kekerasan seksual yang terjadi di tahun 2021 pelaku kekerasan dan pelecehan adalah guru.

Selain menimbang data yang disajikan, saya pun pernah menemui aduan dari seorang siswa sekolah menengah pertama di salah satu sekolah di kota besar. Ia mengaku kerap kali mendapatkan pelecehan secara verbal yang dilakukan oleh sang guru. Pelecehan atau lebih tepatnya bisa dibilang bullying ini terjadi hampir di sepanjang semester. Menurutnya sang guru kerap kali melontarkan pernyataan yang cenderung merendahkan secara fisik dan mental. Bahkan ia mengaku tak jarang sang guru mengirim pesan yang bernada ke arah sensualitas. Orang yang saya temui ini mengaku ia dan teman-temannya sebetulnya merasa risih dengan perlakuan guru tersebut, namun dengan alasan takut mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya orang yang saya temui ini kerap menangis akibat pernyataan yang dilakukan sang guru tersebut dan membuat mentalnya jatuh.

Lantas apa yang harus kita lakukan bersama? Tindakan yang mesti kita lakukan tentunya dengan membangun kesadaran dan membentuk atmosfer sehat di lingkungan sosial maupun di lingkungan sekolah. Sebisa mungkin kita harus menghindari candaan-candaan yang berbau fisik dan dewasa. Hal diiringi dengan pembekalan terhadap para pendidik serta peserta soal isu kekerasan dan pelecehan seksual. Selain isu tersebut, kita juga mesti sadar tentang isu kesehatan mental yang juga berkaitan dengan isu pelecehan.

Tulisan ini sama sekali tak bermaksud untuk merendahkan profesi tertentu. Tulisan ini dibuat sebagai bahan perenungan kita bersama bahwa kejahatan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Kita berharap bersama, semoga kedepan lembaga-lembaga pendidikan kita bisa menjadi lebih baik dan sehat sehingga mampu mengeluarkan lulusan yang cerda dan menciptakan generasi yang baik. Hal yang sudah terjadi mari kita jadikan bahan pembelajaran dan evaluasi bersama untuk membenahi sikap kita bersama. 

Ikuti tulisan menarik Ilham Pasawa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler