x

Meteoroids are billions of years old

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 3 Agustus 2022 06:28 WIB

Kiamat Telah Tiba (1): Meteor

Menurut narasumber, ini merupakan kisah nyata. Untuk menjaga kerahasiaan nama tokoh, fakta, dan peristiwa telah diganti. Ketika sebuah meteorit menghancurkan sebuah rumah di desa Prancis yang sepi, tidak ada yang bisa memprediksi rantai peristiwa yang akan membawa narasumber ke dalam pertempuran epik untuk kelangsungan hidup umat manusia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

18 Januari

Ironi adalah aku mengharapkan ledakan supernova sebagai sebuah dentuman besar baru, dan kemudian sebongkah meteor datang.

Aku memimpikan benda yang mengubah hidupku itu menjelajah ruang angkasa selama miliaran tahun, lebih besar dari tabrakan dengan puing-puing kembara lainnya. Dia kemudian memasuki tata surya dan diam-diam menuju bumi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menembus atmosfer bumi, bagian eksterior terbakar habis oleh panas gesekan dengan udara.

Akhirnya, dengan lima puluh kilogram besi yang tersisa saat mendekati tanah, akhirnya menabrak dinding depan rumah di La Guitarderie nr. 17 Outreau, Pas-de-Calais.

Aku sama sekali tidak ingat dampaknya.

Yang kuingat adalah ditandu oleh petugas pemadam kebakaran dari rumah ke udara malam yang dingin dan dibantu untuk duduk di tangga di belakang ambulans yang menanti.

Kepalaku sakit. Aku menyentuh kening, yang berkibat rasa sakit yang menusuk semakin hebat. Aku kemudian menyadari jari-jariku basah, dan oleh lampu ambulans dikonfirmasi sebagai darah.

“Kamu tertimbun ketika atap rumahmu runtuh,” kata seorang paramedis. “Ada berapa jariku yang kamu lihat?”

“‘Tiga,” jawabku. “Berapa banyak yang kamu punya?”

"Baiklah, jangan bercanda," jawabnya. “Kamu mengalami gegar otak. Kami akan membawamu ke Rumah Sakit Umum untuk pemeriksaan yang lebih detail.”

“Bohong!” aku mengumpat dan berdiri, “belum pernah mengalami gegar seumur hidupku.”

Aku melangkah dan jatuh tertelungkup ke aspal. Lalu semuanya menjadi gelap.

***

"Sudah bangun, Jules?"

Suara yang akrab membangunkanku dari tidur.

Aku berada di dipan dalam kamar yang terang oleh sinar matahari. Mireille, yang tinggal di rumah di seberang jalan—tepat di seberang rumahku—duduk di samping tempat tidur.

“Di mana aku?”

“Di Rumah Sakit Umum. Ada benjolan di kepalamu, tak sadarkan diri selama dua hari. Tetapi kata dokter kamu akan sehat dalam satu atau dua hari.”

“Apa yang terjadi?” tanyaku.

Mireille berhenti sejenak seolah-olah memikirkan kalimat yang tidak biasa dan unik yang akan dia ucapkan itu benar adanya.

"Rumah Thom ditabrak meteor."

Aku teringat petugas pemadam kebakaran, puing-puing dan ambulans.

“Ya Tuhan! Bagaimana Thom?"

“Maaf, Jules,” katanya dengan air mata berlinang, “Menurut polisi meteor itu menabraknya dengan telak.”

Dia berhenti. "Dia tidak akan merasakan apa-apa saat itu terjadi."

Kami berdua terdiam beberapa saat. Bagai tak percaya aku membayangkan tidak akan pernah melihat Thom lagi. Pikiran lain kemudian tercetus—bagaimana cara Thom mungkin melihat kematiannya jika melihat akibatnya. Aku tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.

Mireille tampak bingung.

Pardon,” kataku. “Saya benar-benar kesal dengan apa yang terjadi, tetapi mungkin ini adalah cara mati yang dia inginkan. Dengan semua prediksi aneh yang dia lakukan selama beberapa tahun terakhir, ditabrak oleh benda dari luar angkasa entah bagaimana sepertinya cocok.”

Mata kami bertemu, dan Mireille lalu tertawa terbahak-bahak.

 Thom tua yang malang,” kataku dengan air mata sedih bercampur gembira mengalir di pipiku. “setidaknya dia tidak menderita.”'

Kami berdua duduk diam untuk beberapa saat, dan pikiranku kembali ke situasiku sendiri.

"Apakah benar dokter memberitahumu kalau aku boleh pulang satu-dua hari lagi?"

“Perawat yang bilang bahwa mungkin kamu bisa meninggalkan rumah sakit dalam satu atau dua hari. Tapi menurutku mungkin tidak akan bisa pulang ke rumahmu, setidaknya saat ini.”

Aku menatapnya heran.

“Rumahmu dan rumah Thom saling berdekatan, bukan? Meteor itu menembus dinding depan rumah Thom, menerobos kamar kamar tidurnya, menghantam pagar pembatas antara rumahmu dengan rumah Thom, dan merobohkan dinding belakang rumahmu sebelum terkubur di di bawah teras depan." 

“Mereka telah menopang dinding yang masih berdiri dan menggunakan terpal untuk melindungi dari cuaca. Setidaknya memberi waktu untuk menyelamatkan sebanyak mungkin barang-barangmu dan Thom.” Dia berhenti sejenak sebelum menyampaikan kesimpulan. "Rumah kalian berdua hancur, Jules."

Sambil merenung, aku berpikir bahwa seharusnya aku ingat tentang peristiwa itu, dan membuatku bertanya-tanya apakah aku masih gegar otak.

Jadi, sekarang rumahku tampak ... yah, tampak seolah-olah sebuah bom telah menghantamnya.

Saatnya beralih ke mode penyelesaian masalah.

“Tidak punya rumah memang persoalan,” kataku. “Aku akan menghubungi perusahaan asuransi selama masih di rumah sakit. Semoga mereka membayar deposit apa pun yang dapat ku selamatkan dan juga membayar beberapa akomodasi untuk sementara.”

“Atau,” potong Mireille, “aku punya kamar kosong. Kamu boleh tinggal di rumahku sampai sementara semuanya beres.” Dia berhenti. “Dan perlu kamu ketahui,” dia menambahkan, “aku takkan tersinggung kalau kamu punya rencana lain.”

Aku telah mengenal Mireille hampir sepuluh tahun—sejak dia dan suaminya pertama kali pindah ke desa.

Thena dan aku telah mengundang mereka untuk makan malam pada beberapa kesempatan, dan mereka membalasnya.

Rumah tangga Mireille dan David tampak begitu bahagia, membuatku tak menyangka ketika David meninggalkannya untuk perempuan yang dia kenal di Facebook. Kejadiannya sekitar lima tahun lalu.

Awalnya tampak sulit bagi Mireille, tetapi dia tampak dapat mengatasinya dengan baik dan telah menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam kehidupan desa kami.

Kami pernah bertemu di berbagai acara desa dan beberapa kali menikmati makan siang bersama.

Sekali atau dua kali, Mireille secara sepintas mengatakan bahwa dia merindukan memiliki pasangan.

Menurutku dia orang yang sangat baik, perhatian, dan dia wanita yang sangat menarik. Aku tidak mengerti mengapa dia gagal membina hubungan lagi.

Dan kemudian aku menjadi memahami posisinya tiga tahun lalu, ketika aku menemukan bahwa Thena berselingkuh.

Tak lama setelah aku menagkap basah perselingkuhannya, dia meninggalkanku dan pergi bersama kekasihnya di Amerika.

Sebelum aku dan Thena berpisah, aku hanya membayangkan bagaiamana perasaan dan kesulitan yang terjadi karena perceraian. Namun, dampak buruk pada kepercayaan diri dan kemampuanku untuk memercayai orang lain bukanlah sesuatu yang kuperhitungkan. Setelah Thena pergi, aku bertanya-tanya apakah perasaan yang sama mungkin mencegah Mirelille mengambil risiko untuk menjalin hubungan baru.

"Terima kasih, Mireille," kataku. “Kamu sangat baik. Ya, aku menerima tawaranmu.”

 

BERSAMBUNG

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

12 jam lalu

Terpopuler