Cahaya bulan berjalan
di antara bayanganku dan bayangannya.
Bayanganku menyuruh dia berjalan agak ke belakang, persis di belakang bayanganku dan bayangannya.
Dia mengelak, membantah, “sudah tugasku berjalan di antara kedua bayangan kalian!”
Bayangannya terusik dan menyuruh bayanganku memohon kepada cahaya bulan agar bergeser sedikit ke belakang. Dia tetap tidak mau. Dia tetap berjalan di antara bayanganku dan bayangannya dengan bisu.
Bayangannya tetap saja terusik dan berujar kalau dia tak bisa mengatakan sesuatu tentang cinta kepada bayanganku apabila cahaya bulan masih belum mau bergeser sedikit ke belakang.
Bayanganku memohon lagi kepada cahaya bulan agar ia mau bergeser ke belakang dan tak berjalan di antara bayanganku dan bayangannya. Tetapi tetap saja ia tak mau,dengan berbisik, “ini sudah menjadi tugasku!”
Bayangannya mulai merengek manja, mengerutkan wajah manisnya dan menunjukkan ketidaksukaannya dengan menjauhi bayanganku.
Bayanganku mulai bingung dan takut kehilangan bayangannya yang sedikit demi sedikit menjauh dari bayanganku. Sementara cahaya bulan tetap berjalan di antara keduanya tanpa sedikit pun merasa bersalah.
Bayanganku memohon, “bergeserlah sedikit ke belakang, kumohon.”
Cahaya bulan tetap tak mau.
Melihat bayangannya makin menjauh, bayanganku berujar, “mintalah apa saja dariku, akan kulakukan.”
Bayangannya berhenti berjalan, demikianpun dengan bayanganku dan cahaya bulan, mereka pun berhenti berjalan. Bayangannya berkata, “aku mau kau membunuh cahaya bulan agar ia tak berjalan di antara kita lagi.”
Kemudian,
dengan agak takut bayanganku menuruti permintaan bayangannya. Ia membunuh cahaya bulan tanpa jejak darah sedikit pun.
Selesailah sudah! Malam itu bayanganku dan bayangannya berjalan tanpa cahaya bulan. Ia telah tewas.
#LombaPuisiTerokaIndonesiana
Ikuti tulisan menarik Ricko Blues lainnya di sini.