Di Tepi O.P
Kamis, 11 Agustus 2022 08:35 WIBKini, mereka kehilangan, hampir seluruh matahari. Satu-satunya sumber pembangkit daya hidup itu berbalik menimpa keseharian mereka, menusuk nalar hingga mematikan intuisinya. Wabah kembali diluncurkan melalui kolagen sebagai pertahanan dalam pembersihan di suatu uji coba yang kedua. Pembangkangan, kecemasan, humor tersatir, dan kematian yang ditumpuk menjadi olahan pupuk sekaligus pendistribusian senjata yang paling canggih. Seluruh negeri kehabisan kayu penjaga mori. Benda-benda yang tercipta dari kesalahan berpikir terfatal. Satelitnya membentur kuasa angkasa.
Ini hanyalah sebuah ruang eksperimen yang jauh dari gangguan. Mungkin perang hingga kelaparan menjadi dampak yang paling nyata dari uji cobanya. Namun pertempuran tidak akan pernah selesai. Tidak ada satu catatan dalam sejarah dunia bahwa perang menemukan jalan damai selain hilang bersembunyi di antara ketakutan dan kedukaan para buronan, dan kematian yang ditumpuk menjadi olahan pupuk sekaligus pendistribusian senjata yang paling canggih.
matikan lampunya sesaat
invansi sel kolagen sekarat
menuntut peristirahatan
di tanah lapang yang sesak
“Ingatlah. Kita akan kehabisan massa penerangan, matahari telah hancur!”
Semua terdiam dengan tatapan yang tajam. Hawa panas pecah di ruangan. Namun tidak satupun dari mereka yang duduk mampu bergerak walau untuk gerakan yang sangat kecil. Seluruh tubuh di ruangan bagaikan patung-patung besi yang telah menghasilkan karat hingga menciptakan kopong. Tertunduk sebagai satu-satunya pertahanan dalam perjanjian abadi menjadi daya hidup atau mati.
Bunyi-bunyian dari olahan organ anatomi kelapa dimainkan dengan penuh lega dari perayaan tanam paksa. Sedangkan di tempat yang sangat jauh, mereka membangun pabrik-pabrik dengan gerbong-gerbong yang diisi oleh belulang manusia. Coanda-1910 dalam suatu pes. Sunggah, inilah rupa dua sisi wajah yang mondar mandir, tertiup oleh angin anabatik menuju pesisir utara hingga selatan.
“Hei! Apakah pangkalan itu masih terasing? Urban legends sialan!”
“Suryadarma?”
“Sepertinya tidak, mereka, warga setempat yang merawat dan tetap menjaganya. Ada apa?”
Dari pengeras suara yang memanggil, seseorang melangkah dengan langkah yang membuat getaran halus di dalam ruangan. Di belakang tubuhnya, tampak beberapa wajah tertutup masker gas dengan otot yang menonjol. Tubuhnya berdiri dalam kesempurnaan yang vertikal mengikat lengan bajunya dengan karet-karet sintesis. Mereka terlihat menggunakan gelang metakreasi. Tanpa terlihat satupun senjata menjadi ornamen di tubuh mereka. Sementara yang terduduk, telah berdiri menatap tajam dalam sorot empatpuluh lima derajat tanpa getar.
Percakapan tipis seputuar kisah-kisah mitologi berganti tegang.
Sekolah ini masih tetap dihormati di seluruh negara. Namun banyak yang tidak belajar, bagaimana memahami rasa kebencian sebagai dendam pribadi menjadi alasan yang sah sesuai kurikulumnya, tidak ada pelajaran untuk meredam serangan ini. Serangan yang meproduksi senjata sel-sel paling mematikan. Suasana riang terlupakan di atas susunan paragraf, di lembar komitmen yang seringkali terlambat menyodorkan permohonan maaf.
Kini, mereka kehilangan, hampir seluruh matahari. Satu-satunya sumber pembangkit daya hidup itu berbalik menimpa keseharian mereka, menusuk nalar hingga mematikan intuisinya. Wabah kembali diluncurkan melalui kolagen sebagai pertahanan dalam pembersihan di suatu uji coba yang kedua. Pembangkangan, kecemasan, humor tersatir, dan kematian yang ditumpuk menjadi olahan pupuk sekaligus pendistribusian senjata yang paling canggih. Seluruh negeri kehabisan kayu penjaga mori. Namun, persiapannya terlalu gegabah. Perhitungan mereka telah membuktikan kegagalan dari otak yang berpikir di atas obsesi dan dendam. Mereka menginginkan koloni tanah-tanah sebab ekonomi mereka hancur lebur. Bayi-bayi mereka dimatikan dengan ijin yang sah.
“Kita menunggu kapal besar di laut utara.”
“Hutan masih disibukkan oleh anak panah!”
Ketegangan pun mereda saat angin memasuki ruangan. Sebuah angin yang digoyangkan oleh ribuan pinus dari sisi barat gedung mereka. Sebuah lentera berkelap-kelip bagaikan cahaya karnaval yang diam-diam digulung ombak dari muntahan gunung Rinjani bersamaan benda-benda yang berjatuhan bagaikan embun di pagi hari. Benda-benda yang tercipta dari kesalahan berpikir terfatal. Satelitnya membentur kuasa angkasa.
Sampah-sampah pemikirin yang demikian terhimpit hutang masa lalu menjadi puing-puing bakteria terbaru yang tidak satupun sanggup meyelesaikanya.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Gremet-gremet Waton Slamet
Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIBMusim Masa
Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler