Bung bagimu
Kemerdekaan adalah jiwa yang tak pernah semu
Hanya saja ia direnggut
Dan kebebasan ikut larut
Oleh cukong-cukong yang menjilati penguasanya
Oleh penguasa-penguasa yang menindas rakyatnya
Oleh aparatur yang menjadi alat penindasnya
Kemudian penindasan untuk naluri ketamakannya
Seakan akal sehat terpanggang dalam bara neraka
Bukankah gila, menuai usia tanpa menentangnya
Kau temui tak pernah ada kemanusiaan di sana
Satu-dua puisi kau lucuti mereka
Tiga-empat puisi kau cokoli mimpinya
Sebagai catatan pemberontakan
Saat gencar meregas segala penyumpahanmu atas penjajahan
Merampas individualismemu yang menolak Asia Timur Raya
Dan kau memang binatang jalang
Yang tak mati-matinya saat dada dilubang
Peluru serta peri kepedihan
Malahan beranak-pinak perlawanan
Dan bernapas panjang kepeloporan
Sastra, pula pembebasan
Yang bergelora sampai babak penghabisan
Semakin regang di lengan zaman
Hingga akhirnya kau berpeluk dengan udara
Megatruh mengalun realitas yang ada
Bahwasanya kau mampus
Mangkat dari fana waktu yang tirus
Yang tak ayal lagi menyerah menunda kekalahan
Pupus terurai kemauan
Semenjak saat itu, kau sepucuk randa tapak
Yang berjalan pelan-pelan
Dihantar semilir angin ke ruas jalanan
Bersapa dengan hiruk-pikuk keramaian
Mengetuk pintu-pintu kusam
Tinggal sejenak merajut hidup kesusastraan
Dan bunga-bunga tumbuh berakar di hari depan
Adalah Sapardi, Rendra, juga Jokpin
Begitu Goenawan Mohamad, Aan Mansyur, hingga Widji
Dan siapa saja yang hidup dalam puisi
Itu kau, aku, dia, mereka, maka kitalah semua
Yang tumbuh mekar di antara gulma
Mungkin memang kau benar-benar tak mengetahui
1000 tahun yang sempat bergelayut di dahi
Masih melangkah dengan pasti
Melambung tinggi di langit hari ini
Sepersekiannya berlabuh, detik-detik terjatuh
Kau masihlah utuh
Terabadikan di hari jadi yang ke-100
Sebagai pelopor, entah nanti...
Apakah kelak di masa mendatang orang-orang masih membacamu?
Mengingat si binatang jalang dalam 'Aku'?
Memuatmu di kurikulum pendidikan?
Membahas karyamu berulang-ulang di ruang diskusi sekalian?
Tetapi tuan dan puan, seumpama benih di baris rerumputan
Senantiasa terkenang selepas membawa kehidupan
Manakala kelopaknya terbuka, menjalar di kepala sebaik-baiknya
Sedang aromanya menapaki sukma membuat ia berada
Kian di malam gulita, ganggang derita
Setiap hari yang menua, kita perlu memaknainya
Ikuti tulisan menarik Helmi Jaini lainnya di sini.