(1)
Setelah hujan petang berlari seperti hewan tunggangan,
maka terbitlah cahaya itu. Cahaya seratus tahun memapah
sayap-sayap burung berpulangan. Cahaya yang menyapih
daun-daun dan benih-benih yang mulai tunas.
Tungkai-tungkai rusa mengenal jalan pulang dari makna
pohon-pohon dan setapak yang bermandikan
keringat puisimu yang sublim. Membentuk sajak putih
yang lain dalam sebuah ruas abad tertata rapi dalam
bentang semesta ini. Komposisi udara, bersama
hutan-hutan tropis menghadap mata angin yang jingga.
Segenap aroma rempah bagai mengenal aroma darah
bohemian yang telah jauh lewat di rel yang panjang.
Seekor kedasih telah lama meninggalkan senja
di pelabuhan dengan menggemakan alunan sunyi
menyelimuti hari-hari yang silih berganti dalam luka
dan tawa manusia. Di dunia ketiga, perang dan sekam hari
yang merah telah lama berlalu dengan para serdadu
berhamburan bagai manik-manik lepas
di ladang-ladang keniscayaan.
2)
Dengan penuh haqqul yaqin, bahwa akulah sajak yang kini
melintasi kebun-kebun ranum. Bagai seekor kuda putih
kemiri di bawah langit Tuhanmu. Tak hilang bentuk
dan tak remuk, tapi hela napas dan keras tapal berlari
menapak jalan sunyi yang lembab ini, sungguh ingin melepas
dahaga dalam timbunan makna doa yang pernah kau
ucapkan penuh khidmat. Aku ingin terus berlari menuju
pedalaman negeri asing. Menyibak pintu musim
dan meletakkan keping riwayatmu yang masyhur dalam
sebentuk misykat di dinding-dinding petilasan manusia.
Sekalipun sebesar dzarrah perjuanganmu, sekalipun sebesar
roti jewawut impianmu menggenggam peta sebuah pagi
sebening porselin dengan seekor kuda beserta pelananya,
maka semua telah disimpan, maka semua telah dicatat.
Di negeri zamrud khatulistiwa, orang-orang akan
senantiasa mengenangmu dalam api puisi, dalam api cinta,
dalam makna yang kekal beribu tahun matahari menyiram
segenap tanah perjuangan.
2022
.
Ikuti tulisan menarik Budi Saputra lainnya di sini.