Dalam Luka
Kamis, 18 Agustus 2022 23:03 WIBKisah tentang sepasang kekasih yang masih muda belia. Perang Teluk telah memisahkan mereka karena Stefan harus pergi. Tahun berlalu, hampir tigapuluh tahun, Jasmine masih menunggunya dengan setia, hingga suatu hari, Jasmine menemukan ayahnya terjatuh dan pingsan di rumah. Saat Jasmine tiba di rumah sakit, di depan Unit Gawat Darurat, Jasmine bertemu Stefan yang tidak lain adalah dokter yang kini memeriksa ayah Jasmine, yang kini telah memakai cincin di jari manisnya.
riuh hati pun semadi
renung arubiru sunyi
asmara melebur budi
serandu daya serimpi
dalam segara pemimpi
pada angkasa yang sakti
karang sasmita abadi
bahasa mengalir isi
Jasmine masih setia menunggu di bangku teras dalam tatapan yang jauh dan penuh harapan. Tubuhnya serasa mengapung pada syair yang tersimpan erat di dalam hatinya; “renung arubiru sunyi, asmara melebur budi”. Sebuah syair yang akan selalu mengingatkan dirinya kepada kekasihnya: Stefan.
Stefan, seorang pemuda berkewarganegaraan Amerika, yang saat itu sudah mulai menetap lebih dari tiga tahun bersama orangtuanya di negeri Pasifis. Sedangkan Jasmine, yang juga masih belia, adalah seorang pekerja di sebuah pabrik garmen untuk seragam tentara kelautan Amerika.
Hangat air matanya terjatuh dan menggenangi pipinya yang lembut bagaikan kapas. Jasmine tidak ada saat Stefan berpamitan dengan dirinya untuk berlayar. Tahun-tahun terlewati tanpa kabar berita. Bahkan kapal-kapal yang singgah tidak menghantarkan kekasihnya kembali.
“Jika saat itu menjadi satu perpisahan, betapa buruknya diriku yang tak membaca.”
Tegukan terakhir, Jasmine pun merapikan buku catatannya. Sambil membawa cangkir teh serehnya, dia pun berdiri. Langkahnya selalu menjadi beban untuk kembali ke dalam rumah pada setiap senja. Masih melekat kuat dalam ingatannya, di sudut taman ini, dirinya bersama Stefan menghabiskan waktu sore dalam percakapan yang dipenuhi mimpi-mimpi masa depan.
Suatu hari, Stefan datang membawa gitarnya, dan memainkan beberapa komposisi lagu-lagu klasik, hingga Jasmine mulai menulis sebuah puisi yang mereka gubah sebelum matahari tenggelam. Puisi itu tidak sempat diberi judul oleh mereka berdua. Jasmine gemar menulis puisi-puisi dengan bahasa yang sederhana.
“Asmi. Masuklah. Sudah hampir gelap.”
Suara berat terdengar dari dalam rumah. Malam perlahan datang. Jasmine memastikan agar seluruh jendela telah ditutup rapat, dan kedua kalinya, Jasmine memeriksa seluruh pintu terkunci baik. Jasmine tinggal di rumah tua ini bersama bapaknya yang mulai sakit-sakitan. Sedangkan ibunya telah meninggal dua tahun lalu karena serangan jantung.
Jasmine berjalan menuju dapur untuk menyiapkan makan malam sebelum menonton serial televisi kesukaannya.
“Ayah, makan malam sudah siap. Apa daun beluntasnya mau diminum malam ini?”
“Ya... Takaran airnya sudah tahu? Tiga gelas besar lalu.....”
“Sudah, Ayah. Asmi siapin dulu. Ayah makan saja lebih dulu, mumpung masih hangat.”
Jasmine pun berjalan ke luar dapur. Sebuah kebun tanaman obat dengan berbagai tanaman tampak subur d ruang yang tidak terlalu luas. Dirinya menyalakan lampu dan mencari daun beluntas yang akan direbusnya untuk bapaknya. Tiba-tiba.
Brukkk!
Terdengar suara tubuh berat terjatuh. Jasmine berlari tanpa memikirkan daun yang akan dipetiknya menuju arah suara jatuh. Pintu kamar bapaknya masih tertutup, Jasmine mendobrak pintunya tanpa mengetuknya terlebih dulu. Tampak tubuh bapaknya tergeletak tepat di samping dipan.
“Yah! Yah! Ayah!”
Dengan cekatan, Jasmine mencoba mengangkat ayahnya kembali ke dipan, lalu segera berlari untuk meminta pertolongan dari tetangga terdekat. Rudi, anak tetangga di seberang rumah Jasmine keluar dan segera mengikuti Jasmine menuju kamar di mana ayahnya masih terlihat terlelap dan tenang.
“Telponlah ambulan. Segera..... Biar aku yang menjaga ayahmu. Ibuku sedang memberi kabar ke keluarga ayahmu.”
Dalam hitungan duapuluh menit, ambulan dari rumah sakit Pelni datang. Bertiga, bersama petugas, segera berangkat ke rumah sakit Pelni. Namun setibanya mereka di rumah sakit Pelni ayahnya harus segera dipindahkan ke rumah sakit swasta. Tanpa menunggu waktu yang berjalan, Jasmine dan Rudi membawa ayah Jasmine ke rumah sakit rujukan.
“Lekas pindahkan ke Unit Gawat Darurat!”
Waktu berjalan dengan begitu cepat. Seorang dokter berbadan tegap dalam pakaian yang lengkap dengan masker penutup wajah keluar dari dalam ruangan dan menemui Jasmine. Keduanya seketika bertatapan dan suasana mendadak beku. Dokter itu melepaskan maskernya, memberikan jabatan tangannya kepada Jasmine. Jasmine terdiam dan tertunduk. Dalam bahasa yang masih disimpannya, Jasmine seketika meneteskan air matanya.
“Ada benturan yang membuat pembekuan darah di otak. Kami telah melakukan secara maksimal, kini menunggu perawat untuk dipindahkan ke ruang ICU. Saat ini ayahmu koma.”
“Bagaimana kabarmu, Jasmine?”
“Aku baik. Terima kasih. Aku akan menunggu di sini.”
“Ada kafetaria dekat sini, aku bisa mengantarmu ke sana, tapi di sana tidak ada teh sereh.”
Saat Stefan, sang dokter yang menangani ayah Jasmine mengajaknya ke kafetaria. Seorang perawat datang dengan tergesa dan Stefan kembali memasuki ruangan. Tidak lebih dari tujuh menit, Stefan bersama seorang perawat keluar menemui Jasmine.
“Ayah anda tidak dapat terselamatkan. Kami telah berusaha.”
Kali ini Jasmine menatap mata Stefan tanpa tertunduk. Tatapan yang menyimpan kepedihan paling dalam, antara menunggu Stefan dan menerima kenyataan bahwa saat ini, ayahnya telah meninggal. Jasmine tidak lagi meneteskan air mata. Namun ada luka mendalam yang mewarnai kornea Jasmine yang indah. Kesedihan yang tidak lagi dapat dikatakan selain diam dan tersenyum dalam getir.
Stefan mengajak Jasmine duduk, dan meminta Rudi membantu mengurus kebutuhan administrasi. Stefan sudah mengenal Rudi sejak lama. Rudi pun segera mengurus seluruh administrasi dan segala persiapan untuk memulangkan jenazah ayah Jasmine dan menghubungi ibunya untuk mengabarkan berita duka ini kepada keluarga Jasmine dan tetangga.
Di kafetaria, Jasmine dan Stefan memesan kopi susu dan sebuah kue untuk masing-masing. Stefan memilih kopi susu dan kue coklat kering, sedangkan Jasmin memili kopi susu dan lemper. Kedua kekasih yang terpisah itupun kembali duduk berhadapan setelah sekian lama dalam diam. Suasana berbeda dan dipenuhi ketegangan, namun Stefan masih mencoba untuk menenangkan keadaan.
“Aku yang akan mengurus seluruh biaya ayahmu hingga selesai pemakaman. Apa kalian masih tinggal di rumah itu? Aku akan datang pada pemakaman, aku sudah minta tukar jam piketku.”
“Terima kasih. Ya, kami masih di rumah yang dulu.”
“Aku minta maaf. Aku sungguh minta maaf untuk semuanya. Aku benar-benar kehilangan dirimu.”
Jasmine tidak menjawab kalimatnya. Dia masih diam sambil meneguk kopi susunya yang hangat, Stefan terlihat menjawab pesan teks yang baru saja masuk ke selularnya. Tidak berapa lama, seorang wanita dalam usia yang sebaya menghampiri Stefan. Seorang wanita Asia dengan aksen bahasa Inggris yang matang tersenyum kepada Jasmine, duduk di antara Stefan dan Jasmine setelah Stefan memperkenalkannya kepada Jasmine.
“Kenalkan, Kris, istriku.”
Dua hari telah berlalu, proses pemakaman ayah Jasmine berjalan dengan baik dan lancar. Jasmine merapikan bekas kamar ayahnya dan menemukan sebuah kotak jati tua berukiran perada. Sebuah kotak yang Jasmine berikan sebagai hadiah dari gaji pertamanya setelah dirinya sukses menjadi seorang desainer pakaian. Surat-surat yang ditunggu tersimpan rapi dan belum terbuka di kotak jati ukiran perada. Surat dari Stefan kepada Jasmine duapulah tahun yang lalu.
Dengan hati-hati, Jasmine membukanya satu per satu dan membacanya dengan hening. Lalu diriya menuju bangku teras dalam tatapan yang jauh dan tersenyum sambil meneteskan air mata. Jasmine tidak dapat menyalahkan kedua orantuanya, juga Stefan. Dirinya pun tidak cukup kuat membenci masa lalu yang membuat dirinya melewati kesuksesan dengan perasaan sepi.
Stefan harus mengikuti agenda dari sekolahnya, namun dirinya tidak ditempatkan secara langsung di medan perang, melainkan di sebuah laboraturium militer untuk perang Teluk di Timur Tengah.
Perlahan, Jasmine pun membuka surat terakhir. Dengan tenang, dibacanya surat itu, ada basah yang begitu hangat mengalir di kedua pipinya yang sehalus kapas. Ia pun berucap; “pada angkasa yang sakti, karang sasmita abadi, bahasa mengalir isi.”
Senja masih tetap sama dan matahari setia tenggelam di barat.
(Tamat)
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Gremet-gremet Waton Slamet
Kamis, 23 Maret 2023 06:15 WIBMusim Masa
Kamis, 5 Januari 2023 19:28 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler