x

Presiden Jokowi. Sumber foto: Liputan6.com

Iklan

Samroyani

Penulis Serabutan
Bergabung Sejak: 28 Juli 2022

Jumat, 19 Agustus 2022 14:49 WIB

Jokowi Atau Tidak Sama Sekali

Politik berputar pada nama-nama yang itu-itu saja. Dijalankan oleh orang-orang yang dari tahun ke tahun nyaris tidak berubah. Figur kuat dalam politik bertahan sangat lama dan hampir tidak bisa digantikan, sedangkan regenerasi para pelaku politik praktis masih sangat lambat. Kelompok yang berkuasa ini kemudian menjadi eksklusif, tidak terbantahkan, memiliki banyak pengikut, dan kita akhirnya mengenal mereka sebagai elit politik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jokowi Atau Tidak Sama Sekali

 

Berapa usia anda dulu saat pertama kali mendengar nama Jokowi? Setelah tahun-tahun berlalu berapa usia anda sekarang? Saya yakin nama beliau masih anda dengar, terlebih, Jokowi adalah Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia yang saat ini menjabat. Setidaknya hingga tahun 2024 nanti. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Politikus itu tidak seperti pemain sepak bola, umumnya pensiun ketika usia mereka mendekati 40. Namun politikus tidak, entah ini hal baik atau justru tidak. Semisal buruh saja, ada aturan usia yang mengikat mereka untuk bekerja. Jika terlalu muda, dilarang. Jika sudah mendekati masa tua, harus segera pensiun. Sejauh pencarian tentang regulasi mengenai politik praktis, tidak ada yang mengatur seberapa lama seseorang boleh aktif berpolitik (atau berpartai politik). Maka dimulai dari titik itu, pertanyaan besarnya muncul, sampai kapan nama besar seperti Jokowi akan terus terdengar oleh masyarakat dan terus ‘menari-nari’ dalam dunia politik.

“Jokowi Atau Tidak Sama Sekali” memang tajuk yang sangat kental sekali aroma subjektifnya, namun akan saya jelaskan dari awal beliau dalam tulisan ini hanya akan menjadi satu tokoh pembahasan diantara banyaknya tokoh lain. Pematik meluapnya ide untuk menulis pembahasan ini adalah celotehan salah seorang rekan kerja saya yang (mungkin) pendukung Jokowi garis kental. “Saya kalau bukan Jokowi lagi yang jadi Presiden mau pindah negara, ah…” ujarnya sembari menjelaskan bahwa belum ada lagi tokoh politik yang potensial untuk menjadi Presiden.

Seolah nama besar yang digadang-gadang akan menjadi Presiden selanjutnya seperti Prabowo, Ganjar, Puan, Anies, Emil, AHY, Airlangga, dan lain sebagainya lenyap begitu saja dalam benaknya. Bagi rekan saya yang satu ini, desas-desus Presiden 3 kali jabatan justru adalah angin segar. Padahal, jika memang terjadi, akan ada perombakan besar-besaran dalam konstitusi yang saya yakin akan sangat ‘merepotkan’.

Awetnya nama politikus memang tidak bisa kita bantah. Mari coba kita angkat nama Megawati Soekarnoputri, wanita yang lahir 23 Januari 1947 ini sudah lama menjelajah dunia politik. Memulai perjalanan dengan menjadi anggota legislatif, kemudian melangkah dalam perebutan kekuasaan dalam internal partai kesayangannya, hingga dilantik menjadi Presiden Ke-5 Republik Indonesia pada tahun 2001 silam. masa jabatannya memang tidak terlalu panjang, karena kemudian dikalahkan SBY di pentas pemilu tahun 2004. Namun saat ini, pengaruh beliau atas politik di Indonesia masih sangat besar, terlebih jika mengingat Presiden Jokowi adalah kader partai yang dipimpin oleh Megawati. Keputusan-keputusan yang beliau ambil dalam partainya masih dapat ‘mengguncang’ keadaan politik dalam negeri dari akar sampai pucuknya. 

Contoh lainnya semisal Wiranto, namanya juga awet. Setelah usai mengabdi di TNI dia kemudian melanjutkan perjalanan politik hingga membuat partai sendiri. Berkali-kali dilantik jadi menteri; 1998, 2000, 2016, dan 2019. Dan bisa saja masih dilantik lagi di tahun-tahun mendatang jika tepat memberikan dukungan pada ‘Balon Potensial’. Selain Wiranto, ada juga nama lain semisal Hatta Rajasa. Namanya tentung paling terdengar ketika mencalonkan diri sebagai pendamping Prabowo, namun sebelum itu beliau sangat lincah di dunia politik. Pernah jadi menterinya Megawati dan SBY, menjabat ini itu, dan kini menjadi pucuk pimpinan dalam partainya. Selain mereka berdua masih banyak lagi nama-nama yang panjang umurnya di dunia politik. Melangkah dari satu titik kr titik lain, menjabat dari satu kursi ke kursi lain.

Mari kita angkat contoh lain, kali ini dari luar negeri, Joe Biden misalnya. Sebelum kini menjadi Presiden Amerika Serikat beliau juga pernah Senator, selain itu juga pernah jadi wakil dari Obama. Jauh sebelum menjabat posisi-posisi puncak itu pun dia sudah sangat aktif berpolitik dan menebar banyak pengaruh. Seolah tidak ada habisnya peran beliau dalam politik Negeri Paman Sam itu. 

Figur dalam politik itu lumrah. Simpati masyarakat terhadap seseorang dengan daya tarik tinggi memang jauh lebih mudah dimanfaatkan dalam perebutan kekuasaan dibanding harus secara berkala gunta-ganti tokoh yang mana belum tentu ‘laku’. Namun terkadang hal ini meresahkan. Fanatisme tentu akan lahir, standar idola masyarakat memang abstrak, tapi sekalinya mereka menemukan tokoh idaman maka itu akan bertahan lama dan berpotensi mengaburkan pandangan. Konflik tidak jarang terjadi didalam masyarakat ketika dua kelompok fanatis bertabrakan, contoh jelasnya pada saat pemilu. Berapa banyak grup WA keluarga yang ricuh di masa pilpres kemarin gara-gara sebagian mendukung Jokowi dan sebagian mendukun Prabowo. Perdebatan juga tentu terjadi secara tatap muka, dan tak jarang sayangnya menimbulkan permusuhan. Hal-hal seperti ini besar kemungkinan juga akan terjadi pada pilpres besok. Semoga saja tidak.

Dalam politik ada yang namanya Otoritas Karismatik - wewenang yang dimiliki seseorang yang didapat dari kemampuan atau kualitas pribadi. Dalam tulisan M. Ridoi (2016) dijelaskan bahwa otoritas karismatik ini muncul disebabkan kualitas luar biasa yang dimiliki seorang pemimpin, di luar kebanyakan masyarakat umum  meliputi kepribadiannya, karakternya, cita-cita dan idealismenya. Namun, tentu otoritas ini memiliki kelemahan karena biasanya hanya bertumpu pada satu individu saja. Wewenang ini dengan sendirinya bisa hilang apabila figur karismatik-nya melakukan kesalahan fatal atau pola pikir dan pradigma masyarakat sudah berubah.

Contoh nama-nama di atas tadi adalah segelintir manusia yang ‘diberkahi’ kemampuan atas otoritas karismatik, diantara mereka semua tentu yang paling besar karismanya adalah Jokowi. Beliau dengan gaya yang merakyatnya dapat memenangkan hati kebanyakan masyarakat Indonesia. Saking popularnya nama beliau, bahkan setelah hampir habis 2 masa jabatan masih saja ada orang-orang yang mengisyaratkan sinyal agar menambah lagi usia kekuasaan Jokowi. Otoritas Karismatik memang seperti itu, bisa sangat memabukan. Kepatuhan masyarakat kepada pemimpin karismatik memang diatas rata-rata.

Loyalitas masyarakat terhadap pemimpin karismatik sungguh luar biasa, mereka dalam situasi tertentu memiliki loyalitas yang tinggi, pengorbanan para loyalis kadang di luar perkiraan banyak orang, bahkan mereka (bisa jadi) rela menyerahkan jiwa dan raganya kepada pemimpin yang sangat dikagumi itu. Pemimpin karismatik biasanya sulit melakukan regenerasi kepemimpinan bila sudah habis masa jabatan atau meninggal. Para pengikutnya sulit untuk mempercayai penggantinya, meskipun pemimpin itulah yang memilihnya. Karena penerusnya harus meyakinkan para pengikutnya bahwa kemampuannya kurang lebih sama dengan pemimpin sebelumnya (Ridoi, 2016). Spesifik contoh seperti rekan saya yang diceritakan di awal tulisan tadi, kepercayaannya terhadap pemimpin selain Jokowi itu sangat rendah. Baginya yang sudah menjadi Loyalis; hanya Jokowi yang layak memimpin. Padahal belum tentu demikian.

Seorang sosiolog sekelas Max Weber bahkan mengakui dan menjabarkan bahwa pada diri seorang pemimpin karismatik ada hubungan khusus dirinya dengan sang ilahi sehingga diberkahi daya tarik yang sangat tinggi. Ini menunjukan betapa luarbiasanya pengaruh seseorang yang memiliki otoritas karistamtik terhadap para pengikutnya. Kata “karisma” juga sebenarnya dulu Weber cetuskan dengan landasan bahwa ada kesan bahwa kemampuan dari sesuatu atau seseorang itu unik dan bahkan magis. Hal inilah yang membuat pemimpin karismatik punya daya tarik khusus di mata para pengikutnya.

Fanatisme, Loyalitas, dan Kepatuhan memang sangat bermanfaat bagi para politikus untuk terus menggaungkan nama mereka. Namun, di sisi lain banyak konflik sosial yang terlahir ketika masyarakat yang berbeda pandangan bergesekan. Lambatnya regenerasi dalam dunia politik juga mendorong tumbuh-kembangnya seseorang dengan otoritas karismatik agar terus memperkuat pengaruhnya dalam benak masyarakat. Ini juga yang terjadi pada kekuasaan otoriter, setidaknya selalu dimulai dari seseorang atau satu kelompok elit politik dengan otoritas karismatik yang tidak pernah merasa puas dan akhirnya memperpanjang kekuasaan dan menancapkan pasak oligarki sedalam-dalamnya dan merusak demokrasi sedari dasarnya. Seperti yang pernah terjadi pada zamannya Soeharto yang semoga tidak terjadi kembali di zaman-zaman mendatang (?).



***

 

Daftar Referensi:

 

Jurnal

Muchtarom, Z. (2000), Konsep Max Weber Tentang Kepemimpinan Kharismatik, Refleksi Vol. II, No. 3

Skripsi

Ridoi, M. (2016), Kekuatan Figur Dalam Partai Politik, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Artikel

Wikipedia: Megawati, Wiranto, Hatta Rajasa, Joe Biden.

Ikuti tulisan menarik Samroyani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB