x

lovepik

Iklan

Agus Sanjaya

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Juli 2022

Senin, 22 Agustus 2022 11:24 WIB

Menanti Senja

Sebuah cerpen karya Agus Sanjaya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kampus Adiputra adalah salah satu perguruan tinggi unggulan di Jawa Timur. Memiliki audiotorium mewah, kolam renang berlantai tiga lengkap dengan tempat bersantai. Mulai kafe dengan berbagai menu dan fasilitas wifi yang terhubung di tiap sudutnya. Hingga tempat nge-gym yang dipenuhi beragam alat kebugaran, misalnya triedmill dan alat pembentuk badan ideal.

Aku masih duduk di sudut kafe, memandangi suasana luar dari jendela lantai dua. Banyak berlalu-lalang kendaraan, juga anak muda yang berjalan santai menunggu waktu berbuka puasa. Teringat olehku kejadian enam bulan lalu, saat berbuka puasa ditemani oleh seorang yang spesial di hidupku. Siapa lagi jika bukan Kak William. Buka puasa kami habiskan dengan menikmati nasi uduk yang ditambah rendang. Dinginnya malam menambah keromantisan kami, diselingi dengan beberapa perbincangan yang memecah sunyi.

"Kamu habis ini kakak antar pulang ya?" tanya Kak William padaku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Nggak usah kak! Rani nanti naik angkot kayak biasanya aja."

"Tapi Rani, ini sudah malam biar kuantar!" kata Kak William yang kubalas dengan anggukan.

Beberapa menit kemudian, mobil yang dikendarai Kak William sampai di rumah. Lelaki itu langsung kembali, karena hari sudah terlalu malam. Aku melambaikan tangan padanya, Kak William membalasnya dan kembali fokus menyetir. Aku masuk ke dalam rumah, suasananya begitu sepi mungkin semua orang sudah tidur. Tapi rupanya ibu masih asik duduk di sofa sambil menonton tv, hingga tak mengetahui kedatanganku. Namun bunyi pintu kamarku yang terbuka membuatnya menyadari kehadiranku.

"Rupanya kamu sudah pulang Rani?"

"Iya, aku baru sampai Bu."

"Memangnya kamu tadi diantar siapa?"

"Kak William, temanku di sekolah."

"Lain kali jangan pulang terlalu malam! Ibu khawatir."

"Baik Bu, maafkan Rani"

"Ya, tidurlah! Ini sudah malam, nanti harus bangun sahur kan?"

"Ya Bu, selamat malam."

***

Kak William menjemputku untuk ke kampus bersamanya, aku segera bergegas memakai pakaian terbaik hari ini. Mempersilahkan laki-laki tampan itu masuk ke rumah, membawanya untuk ikut makan. Beruntung waktu itu belum memasuki bulan ramadan. Di meja sudah tersaji beberapa menu, mulai pepes tongkol hingga tumis kangkung yang dimasak oleh ibu sendiri. Aku mengambilkan Kak William sepiring nasi, lalu menyuruhnya untuk mengambil lauk yang disukai. Ia terlihat canggung, aku hanya bisa memberikannya senyuman agar tenang.

"Masakan tante enak sekali." kata Kak William terlihat senang dengan masakan ibu.

"Terima kasih nak, kalau kamu mampir lagi ke sini, pasti ibu buatkan masakan spesial untukmu."

"Wah, dengan senang hati Tante."

Aku naik mobil dengan Kak William, jarak rumah ke kampus memang lumayan jauh. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai ke sana. Hanya perbincangan singkat antara kami, tak ada yang spesial. Kami hanya membicarakan tentang mata kuliah, juga dosen yang terkenal disiplin di kelas. Kebetulan kami sekelas, masuk fakultas pendidikan di prodi Bahasa Indonesia. Aku seorang pencinta sastra, suka menulis cerita ataupun puisi dengan gaya bahasa yang menyentuh hati. Sedangkan Kak William adalah penulis ilmiah, berupa artikel, essai, ataupun opini publik.

Aku terkejut menemukan secarik kertas di dalam tas. Seperti surat dengan pita merah muda sebagai hiasan, cukup membuatku penasaran untuk membukanya. Ada tulisan dear Rani, lalu sebuah puisi yang terangkai dengan indah. Tapi aku belum sempat membacanya, karena sebentar lagi ada mata kuliah yang harus aku ikuti. Jadi kuputuskan untuk membacanya di rumah saja. Aku naik angkot lagi hari ini, Kak William tidak bisa mengantarku karena harus menemani ibunya ke swalayan.

Aku sudah sampai di rumah, setelah mandi dan makan siang lalu menuju kamarku. Sudah tak sabar untuk membaca puisi itu.

Dear Rani

Aku bukanlah penulis sajak-sajak penyentuh hati sepertimu

Aku juga bukanlah pelangi yang mampu membuatmu terpesona

Tapi yang harus kau tahu, cintaku padamu ini nyata

Ketika melihatmu aku sudah jatuh dalam pesonamu

Bungaku yang indah, kumohon tetaplah bersamaku!

Menjadi teman hidupku, sampai akhir yang memisahkan kita

William.

Aku terharu membacanya, mungkinkah kita memiliki perasaan yang sama. Semoga saja aku tak salah mencintainya. Ada sebuah tiket di kertas itu, rupanya tiket nonton film yang selama ini kuinginkan. Aku sangat bahagia dapat menonton bioskop dengannya. Aku menunggu malam itu, kugunakan pakaian terbaik yang kumiliki. Sebuah gaun berwarna merah muda, rambut kubiarkan terurai tersisir rapi, dengan pita merah menjadi aksesoris tambahannya. Tak lupa kupakai sepatu hak tinggi yang serasi dengan gaunku, juga tas berwarna merah yang berisi dompet dan gawaiku. Tak berselang lama Kak William sampai juga di rumah.

Seperti biasanya ia menjemputku dengan mobilnya. Namun yang berbeda, ia terlihat sangat tampan malam ini. Kemeja putih dan jas hitam itu sangat serasi, apalagi dengan celana panjang dan sepatu pantofel hitam, menambah kemaskulinannya. Rambut yang disisir rapi, juga matanya yang agak sipit dan wajahnya yang putih bersih. Membuatnya semakin mempesona terkena cahaya lampu. Ia menggandengku setelah kami berpamitan dengan ibu dan adikku.

"Kamu sangat cantik Rani." kata Kak William membuatku tersipu malu.

"Terima kasih, kakak juga tampan kok."

Film yang kami tonton bergenre romantis. Mengisahkan kekasih yang harus terpisah, karena cowoknya harus melanjutkan studi ke luar negeri. Namun setelah cowok itu pulang ke Indonesia, kembali bertemu dengan Anita. Namun, kekasihnya itu terus mencoba menghindar. Cinta membuat mereka kembali bersatu, akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia. Ceritanya membuatku terbawa perasaan, andai saja kami yang berada di dalam film itu, pasti rasanya bahagia sekali.

***

Aku membantu ibu mengantar kue buatannya hari ini, ke salah satu pelanggannya bernama Bu Diah. Kue yang dipesan berupa donat, aku harus segera mengantarkannya dengan menaiki sepedaku. Terik mentari cukup membuatku kehausan, apalagi mengayuh sepeda dengan jarak yang lumayan jauh. Tapi aku harus kuat, tak boleh membatalkan puasaku karena hal sepele seperti ini. Sampailah aku di rumah Bu Diah, rumah yang lumayan megah menurutku. Berlantai dua dengan tembok berwarna oranye yang menyegarkan mata.

Setelah aku menekan bel, keluarlah seorang ibu memakai daster. Rupanya beliau pembantu Bu Diah, beliau mempersilahkanku masuk dengan ramah, "Tunggu sebentar ya Neng, saya panggilkan Ibu dulu."

"Baik Bi, terima kasih," kataku sambil duduk di sofa panjang, yang berada di ruang tamu bergaya klasik itu.

Tak beberapa lama, seorang wanita cantik keluar. Kulitnya putih bersih, tingginya semapai dan mempesona siapapun. Beliau adalah Bu Diah, tersenyum saat melihatku, "Eh ini Rani kan, anaknya Bu Lastri?"

"Benar Bu saya Rani, saya mengantarkan kue donat pesanan Ibu." kataku mengulurkan kantong plastik berisi dua kotak kue donat.

"Wah terima kasih sekali, sayangnya kamu belum bisa ketemu dengan anak ibu, namanya William."

Aku terkejut, "Sama-Sama bu, semoga saja lain kali bisa bertemu, saya pamit dulu ya bu."

"Baik nak."

Aku pulang ke rumah, melalui jalan biasanya. Juga taman yang biasanya aku dan Kak William singgahi. Tempat yang begitu romantis, hingga tak mungkin aku dapat melupakannya. Apalagi ketika ia memberikanku sebuah kalung dengan huruf W sebagai liontinnya, sementara Kak William sendiri memakai kalung dengan huruf R yang berarti huruf depanku, Rani. Aku masih menyimpannya sampai sekarang, kejadian yang membuatku menangis bahagia di pelukannya.

Tapi saat ini pemandangan di depanku membuat perih di hati, bisa-bisanya Kak William berpelukkan dengan seorang gadis. Hancur sudah perasaan bahagia yang terlintas di benakku. Aku mendekati dua tubuh yang bermesraan di taman itu. Menatapnya nanar, batinku terisak, "Kak."

Laki-Laki itu menoleh, "Rani, kamu ada di sini?"

"Siapa dia kak?"

Gadis yang baru saja dipeluk Kak William menatapku cuek.

"Dia Anita, mantanku, tapi cinta kami bersemi kembali."

"Baik Kak, aku mundur, lebih baik kita putus daripada semakin menyakitkan!" kataku berlari menuju sepeda, mengayuhnya dengan cepat meninggalkan dua orang yang masih menatap kepergianku.

***

Sudah enam bulan setelah aku putus dengan Kak William. Aku menjalani kehidupan seperti biasa di kampus, kuliah dan juga aktifis organisasi. Aku tak mau memikirkan seseorang yang telah menyakitku, apalagi untuk mengejar cita-citaku menerbitkan antologi puisi di ekstra sastra ini. Memang benar aku adalah kepala bagian kepenulisan, memanajemen segala sesuatu yang berhubungan dengan antologi karya semua anggota. Jadi lebih baik untuk fokus mengerjakannya, meski ia tak pernah bisa menjauh dari hidupku. Kami sekelas dan kuliah di kampus yang sama, tapi setelah putus tak pernah ada perbincangan di antara kami seperti dulu lagi.

Aku bertemu seorang laki-laki, namanya Denis. Ia terkenal sebagai penulis puisi, kelakuannya terlihat lucu di pikiranku. Denis sering menggombali temannya dengan rayuan-rayuan receh. Jadi aku sering tertawa, mungkin menjadi hiburanku saat sedih seperti ini. Kami yang sama-sama menyukai dunia sastra, menjadi sangat dekat semenjak menulis antologi puisi bersama. Ia sering menceritakan hobinya menulis, juga pengalamannya dalam hal cinta yang pahit.

Denis pernah berpacaran dengan gadis bernama Lita, hubungan mereka berjalan harmonis. Banyak kenangan indah antara mereka, seperti saat makan di warung berdua. Lita yang menjenguk Denis saat sakit, juga yang menyemangati Denis saat tak bergairah menulis. Tapi rupanya Lita meminta putus dengannya, ketika ujiannya gagal dan akhirnya menyalahkan Denis. Menganggapnya sebagai pembuat konsentrasi belajarnya hancur, padahal tidak seperti itu. Denis lah yang menyemangati dan mendoakan kesuksesannya, namun Lita tetap pada keputusannya. Hubungan mereka harus berakhir saat itu juga. Tapi hati Denis sangat hancur, ia belum rela melepaskan gadis yang sangat disayanginya itu. Hingga mengirimkan bunga mawar untuk yang terakhir kali pada Lita, dan tak ada komunikasi lagi diantara mereka.

"Kamu yang sabar ya." kataku menenangkan Denis.

"Iya makasih."

"Sama-Sama, mari kita teruskan menulisnya!"

***

Ibu membuat kue lagi, pesanan dari beberapa ibu-ibu yang akan mengadakan pengajian. Apalagi saat bulan ramadan seperti ini, akan membawa berkah banyak bagi orang yang melakukan kebaikan. Ibu memintaku mengantarkan kuenya, jenis kue pastel, lumpia, dan dadar gulung. Tapi yang membuatku terkejut, aku harus mengantarkan kue itu ke rumah Bu Diah. Tahu sendiri, jika anaknya adalah penyebab sakit hatiku yang belum bisa terobati sampai sekarang. William nama yang membuatku menangis setiap malam, rasa cintaku yang semakin besar, hancur dan aku belum bisa memaafkannya. Mampukah diriku bertemu dengannya? Kakiku terasa sulit melangkah, padahal tinggal sedikit lagi aku bisa menekan bel pintu rumah Bu Diah.

Bel itu berhasil kutekan, Bu Diah langsung keluar untuk menemuiku, "Rani mari masuk dulu!"

"Baik Bu, ini kue yang Ibu pesan." kataku mengulurkan kuenya.

"Terima kasih banyak ya, kamu waktu itu kan belum kenalan dengan anak Ibu, sekarang akan Ibu panggilkan, tunggu sebentar ya!"

"Tidak usah Bu, saya sudah diminta untuk segera pulang, karena akan menyiapkan menu berbuka."

"Jangan buru-buru dulu! Nanti akan kusampaikan pada Ibumu, sebentar ya Ibu panggilkan William!"

"Baik Bu." Kataku dengan terbata, jantungku berdegub tak karuan, sebentar lagi Kak William akan menemuiku.

Benar saja, laki-laki itu keluar dengan memakai kaus bertuliskan New York dan celana jeansnya. "Ya Bu ada apa? Willi sudah keluar sekarang."

"Coba lihat! Ada Rani di sini, ayo kenalan!" kata Bu Diah meminta Kak William mengulurkan tangannya padaku.

"Aku Rani, senang berkenalan denganmu." Kataku menjabat tangannya dengan canggung.

"Aku William." kata Kak William tersenyum paksa.

"Ibu tinggal dulu ya!" kata Bu Diah meninggalkan kami, melangkah ke dapur.

"Rani." Kata Kak William memanggilku, tapi aku memilih mengalihkan pandangan.

"Kamu pasti masih marah denganku, aku mohon maaf telah menyakitimu, tapi yang perlu kau tahu, aku sudah putus dengan Anita dan masih mencintaimu, apa tidak sebaiknya kita balikkan?" tanya Kak William padaku, sontak air mataku menetes, hatiku terasa semakin perih.

"Maaf Kak, aku nggak bisa, aku pamit pulang sekarang!" kataku melangkah keluar dari rumahnya.

"Tunggu Rani!" kata Kak William menahan tanganku. Aku menepisnya dan segera menaiki sepedaku, "Sampaikan salam pada ibu kakak!"

***

Sejak saat itu, aku tak pernah lagi mau mengantar kue ke rumah Bu Diah. Ibu mungkin bertanya-tanya tentang keanehan sikapku, tapi beliau tak mau menanyakan sebabnya. Hubunganku dan Denis semakin dekat, hingga ia menyatakan perasaannya padaku. Itu terjadi sore saat semua mahasiswa sudah pulang. Ia mengajakku duduk di lorong kelas, menatap bunga yang ditanam di depan sana. Mengembuskan napas sejenak, lalu menggenggam erat tanganku, "Aku menyukaimu Rani, apa kamu mau menjadi pacarku?"

"Maaf Denis, bukannya tidak mau, aku hanya belum siap, hatiku masih terluka dan trauma dengan yang namanya cinta, apa kamu masih mau menungguku?"

"Tentu, aku siap menunggumu." kata Denis sambil memelukku.

Kejadian-Kejadian itu masih membekas hingga kini. Aku belum bisa melupakan semuanya, juga sakit hati yang masih terlalu dalam. Aku masih trauma dengan cinta dan pengkhianatan. Bukannya menolak cinta Denis padaku, namun aku masih belum siap untuk membuka hatiku kembali. Aku hanya tak mau perasaan nyaman antara kami, akan menjadi luka kembali. Biarlah perasaan ini ada, hingga aku kuat untuk menahan sakit. Meski kutahu bahwa Denis tak mungkin menyakitiku, namun tak ada yang mengerti cinta.

Menurut pepatah, "Jika kamu belum siap untuk terluka, jangan pernah mengenal atau bermain-main dengan cinta!"

Senja telah datang, raja siang sudah menuju peraduannya. Warnanya sangat indah, oranye kekuningan. Aku masih menatapnya dari jendela kafe ini, seperti mentari pagi. Cinta juga akan terbit dan terbenam. Aku memutuskan pulang, karena melamun tak terasa kafe ini sudah mau tutup saja.

(Juga terangkum dalam antologi cerpen di UKM Penalaran, Stkip Pgri Jombang)

Biodata Penulis

Agus Sanjaya lahir di Jombang, 27 Agustus 2000. Juara 2 Lomba Menulis Cerpen Nasional (Komunitas Sekolah Seru, 2019), Juara 3 Event Menulis Puisi Nasional (Arras Media, 2021), serta Juara 2 Lomba Menulis Puisi Ramadan COMPETER Indonesia. Buku pertamanya berjudul Akar Kuning Nenek, serta keduanya berjudul Lima Sekawan terbit di Guepedia tahun 2020. Saat ini ia tengah sibuk kuliah, menimba ilmu di COMPETER Indonesia dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Karya-karyanya banyak terangkum di antologi bersama, juga di media online.

Ikuti tulisan menarik Agus Sanjaya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler